Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hasutan
Rangga memejamkan matanya lebih lama, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Air mata yang jarang muncul di wajahnya kini mengalir perlahan.
“Bagaimana dia bisa memperlakukanmu seperti itu, Kirana? Kau anaknya. Darah dagingnya sendiri,” ucap Rangga dengan suara gemetar. “Ada apa dengan dia? Apa yang membuatnya berubah sejauh ini?”
Kirana menundukkan kepala, menghindari tatapan ayahnya. “Aku juga tidak tahu, Pa. Sejak kita kehilangan semuanya, Mama berubah. Dia seperti orang lain. Mama yang dulu hangat dan penuh kasih... sekarang hanya memikirkan uang.”
Rangga menggenggam tangannya erat, matanya penuh dengan rasa bersalah dan amarah. “Papa menyesal, Nak. Kalau saja Papa tidak membuat kesalahan besar... kalau saja Papa bisa ada di luar sana untuk melindungimu. Maafkan Papa.”
Kirana menggeleng, suaranya lirih namun penuh keyakinan. “Ini bukan salah Papa. Semua ini terjadi karena pilihan Mama. Aku hanya ingin hidup seperti dulu lagi. Tapi aku tahu itu hanya mimpi.”
Rangga menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Kirana, kamu harus kuat. Jangan biarkan Mama, atau siapapun, mematahkan semangatmu. Kamu berhak atas hidup yang layak. Jangan pernah lupa itu.”
Kirana tersenyum kecil meskipun air matanya terus mengalir. “Aku akan mencoba, Pa. Terima kasih sudah mendengarku.”
Mereka berbicara beberapa menit lagi sebelum waktu kunjungan habis. Rangga terus memberikan semangat dan janji bahwa ia akan mencari cara untuk memperbaiki keadaan meskipun dari balik jeruji besi.
Saat pulang dari penjara, Kirana merasakan hatinya sedikit lebih ringan. Kata-kata ayahnya memberinya kekuatan, meskipun ia tahu kenyataan di rumah tetap akan sulit. Langkah kakinya mantap, menandakan bahwa ia akan mencoba bertahan dan melanjutkan hidup, bagaimanapun caranya.
...----------------...
Di sebuah bar dengan lampu remang-remang dan alunan musik pelan, Arini duduk di meja kecil di pojok ruangan, menunggu Mirna yang baru saja selesai mengatur "urusan bisnisnya." Tak lama kemudian, Mirna datang dengan senyum lebar sambil membawa segelas anggur.
“Arini, kau terlihat tegang. Apa yang terjadi?” tanya Mirna sambil duduk.
Arini menghela napas panjang, menyesap minumannya sebelum menjawab. “Ini tentang Kirana. Dia sangat marah padaku. Aku sudah mencoba membujuknya untuk menerima lamaran Haryo, tapi dia benar-benar tidak mau mendengar.”
Mirna menaikkan alisnya, lalu tersenyum samar. “Itu wajar. Anak muda seperti dia pasti butuh waktu untuk menerima situasi ini. Tapi, Arini, kau tidak boleh menyerah. Kau tahu betapa besar keuntungan yang bisa kita dapatkan dari Haryo. Kau tidak akan menemukan pria lain seperti dia yang rela mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk seorang gadis.”
“Tapi Kirana terlalu keras kepala!” ujar Arini dengan nada frustrasi. “Dia bahkan mengungkit soal malam itu di hotel. Aku sudah mencoba menjelaskan bahwa semua ini demi masa depan kami, tapi dia tetap tidak mau mengerti.”
Mirna mendengarkan sambil mengangguk pelan. “Arini, dengar. Anak muda seperti Kirana hanya butuh sedikit dorongan. Kau harus lebih pintar dalam mendekatinya. Jangan terlihat memaksa. Cobalah bermain dengan emosinya. Katakan padanya bahwa Haryo adalah kesempatan terakhir kalian untuk bangkit dari keterpurukan.”
Arini menggeleng pelan, merasa ragu. “Aku sudah mencoba segala cara. Bahkan kubilang Haryo bisa jadi mentor atau penyelamat, tapi dia tetap menolak. Dia bilang dia lebih baik hidup susah daripada menerima bantuan dari Haryo.”
Mirna tertawa kecil, menyesap anggurnya. “Anak itu keras kepala, tapi dia hanya gadis muda. Dia belum tahu bagaimana dunia ini bekerja. Kau hanya perlu bersabar, Arini. Biarkan waktu berjalan, dan terus tanamkan ide itu dalam pikirannya. Lama-lama dia akan menyerah. Haryo tidak keberatan menunggu, selama akhirnya dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Arini menggigit bibirnya, merasa tertekan. “Aku hanya ingin semuanya segera selesai. Aku tidak tahan melihat Kirana menatapku dengan begitu penuh kebencian.”
Mirna meraih tangan Arini, menatapnya dengan tatapan tajam. “Kau harus tegas, Arini. Kalau tidak, semuanya akan berantakan. Kau tahu apa yang dipertaruhkan di sini. Kau juga tahu bahwa Haryo bukan orang yang suka bermain-main. Jika kau mengecewakannya, kau tahu apa yang akan terjadi, bukan?”
Arini terdiam, wajahnya pucat. Ia tahu ancaman Mirna bukan hanya kata-kata kosong. “Baiklah,” ujarnya akhirnya, suaranya terdengar lemah. “Aku akan mencoba lagi. Tapi jika Kirana tetap menolak... aku tidak tahu harus bagaimana.”
Mirna tersenyum puas, mengangkat gelasnya. “Itu baru sahabatku. Percayalah, Arini. Semua ini akan berakhir baik. Haryo akan senang, kau akan mendapatkan uangmu, dan Kirana… dia hanya perlu waktu untuk menerima semuanya.”
Arini tidak menjawab. Hatinya dipenuhi keraguan, tapi tekanan yang terus menerus dari Mirna dan situasi keuangan mereka yang semakin sulit membuatnya tak punya pilihan lain. Sambil meminum anggurnya hingga habis, ia tahu malam ini akan menjadi malam panjang yang penuh dengan rencana baru untuk membujuk putrinya.
...----------------...
Di sebuah ruangan mewah dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota, Haryo duduk di kursi kulit hitam di balik meja kerja besar. Dia menatap sebuah foto Kirana di tangannya, ekspresinya serius. Tidak lama kemudian, seorang pria berbadan tegap mengenakan jas hitam masuk setelah mendapat izin.
“Pak Haryo, Anda memanggil saya?” kata pria itu, membungkuk hormat.
Haryo meletakkan foto Kirana di mejanya dan menatap pria tersebut dengan tatapan tajam. “Andi, aku butuh kau menyelidiki seseorang. Gadis ini,” katanya sambil mendorong foto Kirana ke arah Andi.
Andi mengambil foto itu, menatapnya sesaat, lalu mengangguk. “Apa yang ingin Anda ketahui, Pak?”
“Segalanya,” jawab Haryo tegas. “Latar belakangnya, siapa saja orang-orang terdekatnya, kebiasaannya, bahkan tempat-tempat yang sering dia kunjungi. Aku ingin tahu segalanya tentang dia.”
Andi mengangguk dengan serius. “Baik, Pak. Tapi, jika saya boleh tahu, kenapa Anda tertarik dengan gadis ini?”
Haryo menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Dia spesial, Andi. Sangat spesial. Aku sudah menginvestasikan cukup banyak untuknya, jadi aku harus memastikan dia sesuai dengan rencana.”
“Dimengerti, Pak,” jawab Andi tanpa ragu. “Apakah ada batas waktu untuk pengumpulan informasi ini?”
“Secepat mungkin,” ujar Haryo. “Aku tidak ingin ada yang luput. Jika perlu, awasi setiap gerakannya tanpa membuat dia sadar.”
Andi memasukkan foto itu ke dalam saku jasnya dan berdiri tegak. “Akan saya urus, Pak. Anda bisa percaya pada saya.”
Haryo mengangguk puas. “Bagus. Jangan buat kesalahan. Gadis ini terlalu penting untuk aku abaikan.”
Andi membungkuk hormat lagi sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan Haryo yang kembali menatap pemandangan kota dengan senyum penuh arti.