Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Arumi memilih untuk keluar rumah. Melihat beberapa orang tengah membongkar dekorasi sisa pernikahannya kemarin. Ia masih tidak menyangka jika dirinya telah menikah, bahkan dengan pria asing yang sama sekali tidak ia kenal.
“Eh, ada manten baru,” sapa tetangga Arumi yang kebetulan lewat di depan rumahnya.
Rumah Arumi berada di pinggiran kota
Berada di sebuah desa yang lumayan jauh dari keramaian.
“Habis dari mana, Mak?”
“Ini, beli gula di warung. Mana suamimu, kalau senggang, main-mainlah ke rumah, ajak sekalian suamimu biar Mamak bisa kenal juga,” sahut Wati, wanita paruh baya yang biasa di panggil Mamak oleh Arumi dan Ari.
“Ada di dalem, Mak. InsyaAllah, ya, Mak, kalau ada waktu luang nanti kami mampir.”
Arumi melambaikan tangannya pada Wati yang pamitan untuk segera pulang. Dilihatnya kembali, teras rumahnya masih lumayan berantakan sebab ada beberapa kursi yang belum dibereskan. Tidak ingin mengganggu mereka yang masih bekerja, Arumi kembali masuk dan berjalan menuju kamarnya.
Ceklek!
Arumi masuk ke kamarnya, ia terkejut ketika mendapati Narendra yang sudah rapi dengan kemeja putihnya yang kemarin sempat dicuci oleh ibunya.
“Mau ke mana?” tanya Arumi basa basi.
Narendra yang tengah berdiri di depan lemari kaca sambil merapikan kancing di pergelangan tangannya pun menoleh.
“Kerja.”
Arumi menaikkan sebelah alisnya. Duduk di pinggiran kasur, menatap Narendra.
“Bentar, deh. Memangnya kamu kerja dan tinggal di mana, sih? Sejak aku kenal sama Mas Vino, aku belum pernah sama sekali ketemu sama kamu.”
“Tumben kamu kepo? Kenapa?”
“Ya, nggak kenapa-kenapa, sih … cuma penasaran aja. Masak punya suami, tapi nggak tahu rumah sama kerjaannya apa,” celetuk Arumi membuat pria itu terkekeh kecil.
Narendra telah siap, ia berjalan ke arah Arumi dan duduk di sebelahnya.
“Udah inget kalau sekarang udah punya suami? Kirain masih amnesia.” Narendra kembali menyindir Arumi membuat wanita itu cemberut.
“Iya, iya … maaf, soal yang tadi pagi. Habisnya kamu tiba-tiba tidur di sampingku, segala nggak pake baju, lagi! Kan aku terkejut,”
“Kamu nggak inget kalau semalam kamu yang peluk-peluk aku? Harusnya aku yang marah karena kamu sudah berani menjamahku, bahkan dadaku ternodai dengan tanganmu itu! Lagian kenapa bisa di dalam kamar nggak ada AC atau kipas, sih, kan gerah. Jadi, jangan salahin aku kalau aku tidur tanpa baju,”
Ah, Arumi baru sadar. Kemarin ketika dirinya dirias di luar kamar, kipas yang ada di kamarnya dibawa ke ruang tengah agar udara di sana tidak terlalu panas. Ia lupa untuk membawanya kembali ke kamar.
“AC emang nggak ada, hanya ada kipas. tapi aku emang lupa bawa masuk ke kamar setelah dipakai acara kemarin. tuh, masih di luar!"
“haish, pasti kamu sengaja, ‘kan, biar aku bisa buka baju? Sudahlah, aku mau berangkat kerja dulu,”
“Bodo!" Arumi mendengkus kesal. "eh, tunggu sebentar … kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi!”
“Yang mana?”
“Halah, masak lupa, sih? Jadi siapa sekarang yang amnesia? Kamu kerja di mana, sih?”
Narendra menaikkan sebelah alisnya, merasa aneh karena Arumi begitu penasaran dengan tempat kerjanya. “Aku kerja di perusahaan Dandelion.”
“Hah? Loh, kok?” Arumi melongo mendengar jawaban dari Narendra. “kamu serius, sebagai apa? ” cegah Arumi yang melihat Narendra akan segera beranjak.
“Kamu kenapa, sih? Nggak jelas banget, deh. Ya, serius, lah. Nggak perlu aku beritahu pun, nanti kamu akan tahu sendiri. ”
“Masalahnya aku juga kerja di sana. Tapi, kenapa aku nggak pernah lihat kamu, ya?”
“Itu karena kamu yang terlalu sibuk sama pacar kamu, jadi yang lainnya kelihatan seperti hantu!” setelah mengucapkan kalimat itu, Narendra segera keluar kamar untuk menemui mertuanya sekaligus sarapan bersama.
Arumi memicingkan matanya, mencoba mengingat-ingat sesuatu yang masih samar di pikirannya.
“Narendra? Namanya memang nggak asing, sih, tapi aku pernah dengar di mana, ya?” gumam Arumi.
***
Selesai sarapan bersama, Narendra berpamitan untuk berangkat bekerja seperti biasanya. Awalnya Dimas memintanya untuk bercuti, tetapi karena mendadak, Narendra tentu tidak bisa sebab ada pekerjaan yang sedang menunggunya di kantor.
Pria itu telah memesan taksi online dan saat ini tengah menunggunya di halaman rumah, sementara Arumi hanya berdiam diri di ruang makan setelah sang suami berpamitan.
“Kamu itu, Rum, kalau suami berangkat kerja, seharusnya kamu antar dia sampai ke depan, bukannya malah diem kayak patung di sini.” Tari terlihat menegur putrinya yang termangu.
“Buat apa, Bu. Toh, dia juga tahu jalan keluarnya.” Arumi cemberut karena masih sepagi ini sudah dua kali sang ibu mengomentari dirinya.
“Arumi!” tegur Dimas yang merasa putrinya sudah keterlaluan. “Suka ataupun tidak, sekarang Narendra sudah resmi menjadi suami kamu, dan kamu sudah seharusnya patuh dan menghormati dia.”
“Tapi, Yah-”
“Cukup! Nanti sore, sambut suamimu dengan senyuman. Awas saja kalau sampai kamu berulah lagi!” Dimas beranjak pergi dari ruang makan.
Tari hanya menggeleng pelan melihat putrinya yang keras kepala. Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan Arumi sebab pernikahan itu ada karena paksaan dari ayahnya.
“Kamu jaga rumah, Ibu sama Ayah mau berangkat ke toko dulu.” Tari berpamitan pada Arumi kemudian melenggang pergi menyusul sang suami.
“Iya, Bu ….” Arumi mengangguk patuh.
Rumah sudah dalam keadaan sepi karena sang ayah dan ibu telah pergi membuka toko sembakonya sementara Ari sudah berangkat kuliah sedari pagi. Kini, tinggallah Arumi sendirian di rumah. Ia jadi menyesal karena sudah mengambil cuti menikah empat hari.
“Ah, masuk kerja masih dua hari lagi. Ngapain, ya, enaknya?” Arumi bergumam pelan.
***
Perusahaan Dandelion.
Narendra tampak memasuki sebuah bangunan berlantai tiga dengan tenang. Terlihat seorang pria muda turut menunggu dan tersenyum setelah melihat pria itu tiba di kantor.
“Tuan,” sapa Satria, sekretaris Narendra.
“Bagaimana, Sat, sudah dapatkan apa yang saya minta?” tanya Narendra tanpa basa-basi.
“Sudah, Tuan. Memangnya ada apa, Tuan? Tidak biasanya Anda menyelidiki sepupu Anda sendiri?”
Jam masuk kerja masih kurang lima belas menit lagi, tetapi Narendra sudah sampai di kantor lebih cepat dari pada para pegawainya.
“Ke ruanganku saja, Sat.”
“Baik, Tuan.” Satria mengangguk patuh.
Perusahaan Dandelion adalah perusahaan yang dirintis oleh Bagas dari nol yang kemudian dikembangkan oleh Narendra dan kembarannya sejak lima tahun yang lalu. Perusahaan properti miliknya masih terbilang kecil, tetapi mampu bersaing dengan perusahan besar lainnya karena kinerja Narendra dengan karyawannya yang kooperatif.
Dulu, keluarga Narendra dikucilkan oleh keluarga besarnya setelah sang kakek meninggal dunia. Mereka dikucilkan karena ayah Narendra—Bagas—hanyalah anak angkat di keluarga besar Pradipta—keluarga Vino. Namun, berkat kepintaran dan ketekunan Bagas dalam melakukan banyak hal, membuat Narendra dan adik kembarnya, Galendra, mampu membangun perusahaan untuk keluarganya sendiri meskipun masih perusahaan kecil. Dan kini, mereka bisa menampar semua orang yang pernah menghina mereka dengan kerja kerasnya.
“Silakan dilihat, Tuan.”
Sesampainya di ruangan Narendra, Satria segera menyerahkan ponselnya untuk diperlihatkan pada Narendra. Di sana, terlihat seorang pria, tengah berjoget bersama seorang wanita dengan pakaian minim hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya di sebuah kelab malam.
“Sepupu Anda saat ini berada di Singapura, Tuan, mereka satu keluarga berlibur di sana,” beritahu Satria.
Narendra mengeraskan kepalan tangannya, kesal. “Cih … Dia kabur dari pernikahannya dan memilih bersama seorang jalang?!”
“Ya, Tuan?”
🤪🤪🤣🤣🤣🤣