800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Api yang Tak Padam
Athena tiba di Pulau Mistik beberapa jam setelah Kaiden menemukan Elora. Ia berdiri di atas bukit kecil yang menghadap ke reruntuhan, matanya menatap kosong pada kehancuran di hadapannya.
“Mereka benar-benar menghancurkan segalanya…” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Di belakangnya, Kaiden muncul, membawa Elora yang tampak lemah di pelukannya. Ketika Athena berbalik dan melihat mereka, ia terdiam. Tatapan Elora yang kosong, tubuh kecilnya yang rapuh, dan luka-luka di sekujur tubuhnya membuat Athena terpaku.
“Mereka membunuh semua orang,” kata Kaiden dengan suara berat. “Tidak ada yang tersisa, Athena. Hanya dia.”
Athena mendekati mereka, berlutut di depan Elora. “Elora,” katanya lembut. “Apa kau melihat apa yang terjadi?”
Elora mengangguk pelan. Matanya mulai basah oleh air mata. “Mereka datang… menembak semuanya… membakar semuanya…” suaranya pecah di tengah kalimat.
Athena mengepalkan tinjunya. Tubuhnya gemetar oleh campuran amarah dan rasa bersalah. Ia seharusnya bisa menghentikan ini. Ia seharusnya bisa sampai lebih cepat.
“Kenapa… kenapa mereka melakukan ini?” tanya Elora, suaranya penuh kepedihan.
Athena tidak menjawab. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa ini adalah akibat dari keserakahan dan ketakutan Atlantis terhadap kebenaran. Sebaliknya, ia menatap langit, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
Setelah beberapa saat, ia berdiri, memandang reruntuhan di depannya. “Ini sudah cukup,” katanya dengan suara rendah, tetapi penuh tekad. “Atlantis telah mengambil terlalu banyak. Mereka telah menghancurkan terlalu banyak kehidupan. Aku tidak akan membiarkan mereka terus melakukan ini.”
---
Sumpah yang Membara
Malam itu, Athena duduk di dekat api unggun kecil di dalam gua tempat mereka berlindung. Di depannya, Elora duduk dengan tubuh menggigil, memeluk lututnya sendiri.
“Elora,” panggil Athena pelan.
Elora mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.
“Kau adalah satu-satunya yang selamat dari pembantaian ini,” kata Athena, suaranya lembut tetapi penuh emosi. “Itu artinya kau memiliki tujuan. Kau di sini karena kau punya peran dalam perjuangan ini.”
Elora tidak menjawab, tetapi di matanya ada kilatan harapan yang bercampur dengan kesedihan.
Athena melanjutkan, “Aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah mereka ambil darimu. Tapi aku bersumpah, aku akan menghancurkan mereka. Aku akan memastikan bahwa tidak ada lagi anak-anak seperti kau yang harus kehilangan segalanya.”
Air mata Elora kembali mengalir, tetapi kali ini ia tidak menunduk. Ia menatap Athena dengan penuh rasa percaya, meskipun tubuhnya masih diliputi ketakutan.
Kaiden yang duduk di sudut memperhatikan momen itu. Ia tahu Athena sudah membuat keputusan besar. Dan ia tahu bahwa keputusan itu akan membawa mereka ke jalan yang penuh bahaya, tetapi juga harapan.
---
Membangun Revolusi
Athena mulai bergerak ke desa-desa kecil di sekitar Pulau Mistik, berbicara dengan para penduduk yang hidup dalam ketakutan di bawah kekuasaan Atlantis. Ia menggunakan kehancuran Pulau Mistik sebagai pengingat akan kekejaman mereka, tetapi juga sebagai panggilan untuk melawan.
“Kita semua tahu apa yang terjadi di Pulau Mistik,” katanya kepada sekelompok buruh tambang yang dipaksa bekerja oleh Atlantis. “Mereka tidak peduli dengan kita. Mereka tidak peduli dengan nyawa kita. Tapi jika kita bersatu, kita bisa melawan. Kita bisa mengakhiri semua ini.”
Awalnya, hanya sedikit yang percaya. Namun, ketika berita tentang keberanian Athena menyebar, semakin banyak orang yang bergabung dengannya.
Di setiap tempat yang ia kunjungi, Athena mengajarkan para penduduk cara melawan, cara menggunakan senjata sederhana, dan cara melindungi diri mereka sendiri. Ia membangun jaringan rahasia yang tersebar di berbagai desa dan kota kecil, mengubah ketakutan menjadi harapan.
---
Elora: Simbol Harapan
Elora yang awalnya hanya seorang anak kecil yang trauma mulai tumbuh menjadi simbol perjuangan. Meski usianya muda, keberaniannya menginspirasi banyak orang.
“Aku kehilangan segalanya,” katanya dalam sebuah pertemuan kecil dengan para buruh. “Tapi Athena memberiku harapan. Dan aku ingin membalas apa yang telah mereka ambil dariku.”
Kata-kata Elora menggugah hati banyak orang. Dalam dirinya, mereka melihat masa depan yang lebih baik.
---
Sumpah Revolusi
Beberapa minggu kemudian, Athena berhasil mengumpulkan ratusan orang di sebuah lembah yang tersembunyi. Mereka datang dengan senjata seadanya, tetapi dengan semangat yang tak bisa dipatahkan.
Athena berdiri di depan mereka, memandang wajah-wajah yang penuh harapan tetapi juga rasa takut.
“Kita semua di sini karena satu alasan,” katanya lantang. “Kita telah melihat kekejaman Atlantis. Kita telah merasakan bagaimana mereka merampas kehidupan kita. Tapi sekarang, saatnya kita melawan.”
Ia mengangkat tinjunya ke udara. “Aku bersumpah di sini, bersama kalian semua, bahwa kita akan menggulingkan Atlantis. Kita akan membangun dunia baru, dunia di mana anak-anak seperti Elora bisa hidup tanpa rasa takut.”
Suara sorakan menggema di lembah itu. Malam itu, Athena tidak hanya membangun pasukan—ia membangun sebuah gerakan. Dan dengan Elora di sisinya, ia bersiap untuk memimpin revolusi yang akan mengguncang dunia.