Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konsultasi
***
Sebelum berangkat ke rumah sakit aku dan Mas Yaksa kembali berdebat soal rumah sakit yang hendak kami kunjungi. Mas Yaksa ngotot ingin konsultasi di rumah sakit miliknya, sementara aku menolaknya. Jelas saja aku menolak, aku sudah bekerja di sana selama beberapa tahun, meski tidak semua perawat atau staf rumah sakit aku kenali, tapi setidaknya tidak sedikit yang kukenal dan kukenali. Bisa bahaya kalau kami konsultasi di sana.
"Lagian kenapa sih? Kan kamu juga sudah berhenti."
Aku tersenyum tipis. "Mas inget kesepakatan kita? Kalau seandainya aku nggak jatuh cinta sama Mas selama satu bulan itu artinya aku akan kerja lagi."
"Menurut kamu, Mas nggak mampu bikin kamu jatuh cinta dalam waktu sesingkat itu?"
Aku hanya merespon pertanyaan Mas Yaksa dengan mengangkat kedua bahu secara bersamaan. Karena kalau boleh jujur, meskipun Mas Yaksa tampan dan mapan, bagiku dia bukanlah tipeku. Dan aku cukup optimis kalau bisa bekerja lagi.
"Terus kalau kamu bekerja lagi bagaimana dengan Alin dan Javas?"
"Kita bisa mengurusnya secara gantian, Mas. Ini yang disebut dengan team work."
"Tapi kamu setuju untuk mengurus Alin dan Javas, Geya." Mas Yaksa terlihat tidak terima. Aku pun memakluminya.
"Benar dan aku akan tetap mengurus mereka, Mas. Sesuai kesepakatan kita berdua."
"Haruskah Mas menerima kekalahan dari sekarang?"
Aku kembali mengangkat kedua bahuku secara bersamaan. "Intinya aku nggak mau konsultasi di sana."
Mas Yaksa menatapku pasrah. Mau tidak mau akhirnya mengabulkan permintaanku.
***
"Nanti aku masuknya sendiri kan, Mas?"
Mas Yaksa langsung menatapku datar. "Maksudnya apa?"
"Nanya doang, Mas."
"Iya, Mas tahu kamu lagi nanya, Geya. Tapi maksud dari pertanyaan kamu apa nanya begitu?"
Aku menggeleng cepat lalu sedikit menggeser tubuhku agak semakin berjarak dengannya. Serius, walau hanya sedang memasang wajah datar tapi tetap saja auranya menyeramkan bagiku.
"Mas butuh jawaban, Geya."
Aku kembali menggeleng cepat. "Enggak, Mas, aku tadi cuma asal bicara aja kok. Ngasal. Hehe," cengirku salah tingkah.
"Kamu takut sama Mas lagi?"
"Enggak, bukan takut, Mas, lebih ke mencoba menghormati Mas Yaksa aja. Iya, itu maksudnya." karena tidak ingin membahas ini lebih lanjut, aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan, "ini antrinya lama banget ya, Mas. Aku pikir nggak banyak loh yang bakalan konsul soal laktasi begini, eh, taunya rame juga."
"Ya, soalnya banyak yang pengen konsultasi soal laktasi," jawab Mas Yaksa.
Sebenarnya jawabannya benar sih, tapi entah kenapa terdengar agak menyebalkan bagiku. Aku memilih diam dan tak kembali membuka suara. Sampai akhirnya namaku dipanggil dan aku beserta Mas Yaksa langsung bangun dari posisi duduk dan masuk ke dalam ruangan.
"Selamat siang, Ibu, ada yang bisa dibantu?"
Jujur, meski sekarang aku sudah resmi menjadi ibu sambung untuk kedua ponakanku. Tapi tetap saja aku masih agak tersinggung saat dipanggil ibu. Memangnya aku kelihatan setua itu ya sampai dipanggil ibu?
Meski sedikit kesal, aku mencoba untuk tetap tersenyum dan mengingat kalau memang sekarang aku sudah jadi ibu, jadi tidak boleh sensi kalau dipanggil ibu.
"Anu, dok, mau konsultasi soal induksi laktasi."
"Baik. Tapi kalau boleh tahu apa faktor yang membuat ibu ingin melakukan induksi laktasi?"
"Soalnya saya belum pernah hamil dok, dan saya ada rencana mau menyusui anak sambung saya."
Sang dokter tersenyum sambil manggut-manggut paham. "Kalau boleh tahu anaknya yang mau disusui umur berapa?"
Kali ini aku menoleh ke arah Mas Yaksa. "Alin umurnya berapa sih, Mas?" bisikku kemudian.
"Belum ada setahun, dok."
"Kalau boleh tahu tepatnya berapa bulan, Pak?"
"Saya lupa."
Gemas. Ingin sekali menepuk jidatku sendiri, masa iya anaknya sendiri lupa?
"Kayaknya sekitar delapan bulan mau sembilan bulan, dok," sahutku kemudian, "ya sekitar itu sih, dok."
"Kalau boleh tahu ibu kandungnya ke mana?"
"Sudah meninggal, dok," sahut Mas Yaksa tanpa ragu-ragu.
Jujur aku agak kaget sedikit. Kok Mas Yaksa ngomongnya tanpa ragu begitu sih? Padahal juga ditinggal belum lama, aku aja mau ngomong begitu tidak tega sedangkan dia kayak enteng banget.
"Oh, maaf. Saya tidak bermaksud."
"Enggak papa, dok, almarhumah istri saya sebelumnya memang sakit sebelum nggak ada. Anak bungsu saya belum mendapatkan asi eksklusif karena kondisinya yang tidak memungkinkan kala itu."
"Kalau boleh tau anaknya udah pernah dapet donor asi mungkin?"
Mas Yaksa menggeleng. "Enggak, dok, belum pernah. Selama ini cuma dikasih susu formula."
"Baik, saya mengerti." dokter tersebut manggut-manggut paham lalu fokusnya beralih padaku, "tapi sebelumnya boleh saya tanya. Kira-kira ibu Geya beneran siap kan jadi ibu asi untuk anak sambungnya?"
Ditanya demikian, aku mendadak gugup. Bukannya menjawab, aku malah menoleh ke arah Mas Yaksa seolah meminta bantuan darinya. Meski nggak ngerti juga sih kenapa aku harus minta bantuan padanya, masalahnya Mas Yaksa juga sama sekali tidak membantuku.
"Mohon maaf sebelumnya ibu, menjadi ibu asi itu salah satu syaratnya harus memiliki kemauan kuat, karena kalau si ibu tidak memiliki tekad tersebut tingkat keberhasilannya akan rendah."
Aku seketika langsung panik. Cepat-cepat aku mengangguk. "Iya, saya mau kok, dok. Saya nggak dipaksa, ini memang kemauan saya sendiri."
Dokter bernama Ajeng tersebut tertawa renyah. "Enggak begitu maksud saya, ibu, maksudnya memang ini atas kemauan ibu sendiri, tapi kalau kemauannya setengah-setengah nanti hasilnya juga kurang maksimal. Begitu."
"Insha Allah kemauan saya kuat, dok, soalnya kasian juga pona--" aku menggeleng cepat dan buru-buru meralat, "maksud saya, anak saya. Kasian juga dia, dok, masih terlalu kecil tapi nggak pernah dapet asi."
"Sebenarnya bayi di atas enam bulan nggak dapat asi eksklusif nggak terlalu masalah karena mereka sudah dapat MPASI. Selama ini tumbuh kembang baby bagus juga kan?"
Aku manggut-manggut dan mengiyakan. Meski tidak mendapat asi sejak kecil, tumbuh kembang Alin memang tergolong bagus, dia aktif, gesit, dan juga ceria. Sama sekali tidak membuat orang khawatir kalau dia belum sempat mendapatkan asi dari ibu kandungnya.
"Jadi, kira-kira mau tetap coba induksi asi atau coba cari donor asi atau tetap dilanjutkan dengan pemberian susu formula? Soalnya terkadang susah juga karena anak sudah terbiasa dengan susu formula dan tiba-tiba disuruh minum asi. Perlu penyesuaian lagi, karena mengASIhi itu tidak mudah ya, ibu, apalagi ini pengalaman pertama tanpa proses kehamilan dan baby sudah umur berapa tadi? Delapan bulan ya?"
Aku mengangguk cepat.
"Kalau saran saya coba dipikirin sekali lagi, diyakinin betul-betul sebelum nanti kita mulai treatmentnya. Nanti kalau udah betul-betul siap baru ke sini lagi. Gimana?"
Aku mendadak bimbang lagi. Kutoleh Mas Yaksa yang kini sedang memasang wajah datarnya.
"Mas?"
"Terserah," balasnya singkat. Membuatku gemas dan ingin sekali melemparinya sesuatu.
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺