Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah
***
Aku merasa benar-benar menyesal karena tidak mengiyakan tawaran Mas Yaksa, semisal aku ingin mengundang Velly, salah satu sahabatku yang kini sudah berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Kalau aku iyakan, setidaknya aku tidak akan gabut sendirian di kamar seperti sekarang. Semua orang nampak sibuk di lantai bawah menyaksikan acara ijab qobul yang sebentar lagi akan dilaksanakan, sedangkan aku harus di kamar menunggu para saksi dan tamu undangan meneriakkan kata 'sah'. Aku semakin berdebar kala Pak Penghulu memulai acara.
Astagfirullah, ini bagaimana aku kok tetiba mules dan pingin ke kamar mandi. Tapi tidak mungkin karena sekarang aku mengenakan kebaya dan rok jarik yang super ribet saat memakainya. Tadi dipakaikan saja ribet apalagi nanti kalau aku lepas sendiri dan harus memakainya ulang. Enggak kebayang betapa ribetnya nanti.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku kurang suka memakai kebaya ini, yang meski kata Ibu ini harganya sama dengan gaji pokokku tiga bulan. Tapi apa mau dikata, kita kalau nggak suka sama sesuatu mau semahal apapun itu barang, kalau nggak suka ya nggak suka aja kan? Seperti yang sedang aku rasakan. Dibandingkan memakai baju kebaya seperti sekarang, aku lebih ingin mengenakan pakaian adat melayu, yang nampak simple namun tetap anggun itu.
Sebenarnya, bisa saja aku bilang ke Mama Mas Yaksa, tapi aku nggak enak karena beliau sudah terlanjur memesan baju kebaya untukku. Jadi, meski aku kurang suka aku tidak boleh terlalu memperlihatkannya. Toh, kalau dipikir-pikir lagi, aku menikah juga bukan atas kemauanku sendiri. Jadi tidak mengenakan baju impianku saat menikah pun, aku rasa bukan masalah besar.
"Saya terima nikahnya ananda Geya Gistara binti Lukman Hidayat dengan mas kawin uang sebesar 2042024 dollar dibayar tunai."
"Bagaimana saksi?"
"Sah!!"
Tanpa sadar aku menitihkan air mata saat itu juga. Kak Runa, sekarang aku udah resmi jadi suami Mas Yaksa, bantu aku supaya bisa mengemban tugas sebagai istri sekaligus ibu buat anak-anak kalian ya. Tolong, bantu aku! Aamiin.
Tak berselang lama, pintu kamarku terbuka. Ibu datang lalu menghampiriku.
"Udah, nggak usah nangis," ucap Ibu sambil membantu menahan air mataku yang menggenang di pelupuk mata, "yang nikahi kamu itu duda dengan wajah ganteng dan duit banyak, bukan duda dengan duda jelek dengan perut buncitnya. Harusnya kamu ngerasa bersyukur, Ge, bukannya malah nangis begini."
Meski apa yang dikatakan ibu adalah sebuah fakta, tapi tetap saja, bukankah wajar kalau aku merasa sedih karena ini bukanlah pernikahan yang kuinginkan?
"Ayo, sekarang kita keluar udah ditungguin sama suami dan tamu lainnya."
Aku mengangguk seadanya dan ikut berdiri saat Ibu membimbingku agar berdiri. Lalu kami keluar kamar dan turun ke lantai bawah.
Aku langsung disuruh menanda tangani buku nikah kami, setelahnya aku mencium punggung tangan Mas Yaksa, yang kini sudah resmi jadi suamiku. Kedua mataku mendadak terasa perih kembali.
Ya Allah, tolong permudah semuanya. Agar aku dapat menjalankan peran sebagai istri dan ibu sambung bagi kedua ponakanku dengan baik.
Aamiin.
***
Selesai acara, aku langsung diboyong oleh Mas Yaksa menuju rumahnya. Hanya berdua. Tanpa mengajak Alin dan juga Javas. Jangankan mereka, Pak Yayan, supir Mas Yaksa saja tidak mengantar kami. Jadi sekarang kami benar-benar hanya berdua dan aku merasa canggung luar biasa, karena ini pertama kalinya kami satu mobil berdua.
Suasana benar-benar canggung, tidak ada suara yang keluar dari masing-masing mulut kami. Mas Yaksa nampak tenang dan kalem seperti biasa, lain halnya denganku yang sudah ketar-ketir setengah mati. Mencoba mencari topik agar ada obrolan tapi sampai lima belas menit lewat, aku belum menemukannya juga.
"Kalau ngantuk bisa tidur," ucap Mas Yaksa tiba-tiba memecah keheningan.
Spontan aku langsung menoleh. Ekspresiku terlihat seperti orang kebingungan.
"Kamu bisa tidur, Geya, kalau mengantuk," ucap Mas Yaksa mengulang kalimatnya.
Aku tersenyum samar lalu menggeleng. "Enggak, Mas, nggak ngantuk. Oh ya, Mas, besok kita jemput Javas sama Alin jam berapa kira-kira?"
Aku tahu pertanyaanku barusan sangat lah random, tapi serius, aku tidak menemukan hal lain selain itu.
"Enggak usah dijemput," balas Mas Yaksa santai.
"Maksudnya?"
"Ya, nggak usah dijemput nanti juga dibalikin sendiri sama Mama. Kamu nggak usah khawatir. Minimal mungkin Mama bakalan balikin mereka seminggu kemudian."
Aku melotot kaget. "Hah? Minggu depan, Mas? Enggak kelamaan itu?"
"Kan kita masih dalam suasana pengantin baru, Geya, masa kamu udah harus sibuk ngurusin mereka?"
Tanpa sadar bibirku tersenyum kecut. "Tapi bukannya kita menikah karena itu ya, Mas? Biar aku ngurusin mereka?"
Tidak sedang lampu merah, Mas Yaksa tiba-tiba menghentikan mobilnya dan menatapku dalam.
"Mas salah ngomong?" tanyanya hati-hati.
Aku langsung menggeleng cepat sebagai tanda jawaban. "Maaf, kayaknya Geya ya, Mas, yang salah ngomong."
"Enggak, kamu pun nggak salah." Mas Yaksa mengangguk tak lama setelahnya, "kalau gitu besok kita jemput mereka," sambungnya kembali melajukan mobilnya.
"Kalau memang Mas ada salah ngomong, tolong kasih tahu, Mas, ya!"
Sambil tersenyum aku mengangguk untuk mengiyakan. Meski aku tidak benar-benar yakin dapat melakukannya.
***
Sesampainya di rumah aku tidak tahu harus ngapain. Mau bongkar bawaan, tapi baju dan semua barang-barangku bahkan sudah dipindahkan ke sini seminggu yang lalu. Mau masak, Ibu bahkan sudah membekali kami makanan sisa acara.
Akhirnya karena tidak tahu mau ngapain, aku memilih untuk membuka sosmedku. Bukan untuk melihat postingan teman-teman atau artis favoritku, melainkan hanya untuk melihat orang makan. Agak aneh memang kebiasaanku, tapi daripada melihat postingan mereka yang menimbulkan perasaan iri, mending liat orang makan kan?
"Lagi ngapain?"
Tak berselang lama Mas Yaksa kembali turun ke bawah dan menyusulku. Dia duduk di sebelahku, tapi tetap ada jarak di antara kami.
Aku kemudian menunjukkan layar ponselku. "Nonton."
"Mau?"
"Maksudnya?" Aku balik bertanya.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Yaksa malah menunjuk layar ponselku.
"Oh, enggak, emang seneng aja liat orang makan, Mas. Hehe, daripada gabut liat postingan orang yang bikin iri, mending nonton orang makan."
Mas Yaksa manggut-manggut paham. "Keberatan kalau Mas minta waktu kamu buat ngobrol?"
"Lah, bukannya kita lagi ngobrol ya?"
"Yang lebih serius."
Mampus! Aku nggak siap kalau diajak ngobrolin malam pertama kami nanti. Aku harus jawab apa nih?
"Bukan itu yang mau Mas bahas, Geya."
Aku meringis malu. Bahaya, suamiku ternyata bisa baca pikiran.
"Mas nggak bisa baca pikiran, Geya."
Maksudnya apa? Bilangnya nggak bisa baca pikiran, tapi sesuai banget sama apa yang aku pikirin. Ini sebenernya yang aneh siapa sih?
To be continue