"Karena kamu yang menggagalkan acara pernikahan ini, maka kamu harus bertanggung jawab!" ucap pria sepuh didepannya.
"Bertanggung jawab!"
"Kamu harus menggantikan mempelai wanitanya!"
"APA?"
****
Bagaimana jadinya kalau seorang siswi yang terkenal akan kenalan dan kebar-barannya menjadi istri seorang guru agama di sekolah?!?
Yah dia adalah Liora Putri Mega. Siswi SMA Taruna Bangsa, yang terkenal dengan sikap bar-barnya, dan suka tawuran. Anaknya sih cantik & manis, sayangnya karena selalu dimanja dan disayang-sayang kedua orang tuanya, membuat Liora menjadi gadis yang super aktif. Bahkan kegiatan membolos pun sangatlah aktif.
Kalau ditanya alasan kenapa dia sering bolos. Jawabnya cuma satu. Dia bolos karena kesetiakawanannya pada teman-teman yang juga pada bolos. Guru BK pusing. Orang tua juga ikut pusing.
Ditambah sikapnya yang seenak jidatnya, menggagalkan pernikahan orang lain. Membuat dia harus bertanggung jawab menggantikan posisi mempelai wanita.
Gimana ceritanya?!!?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cahyaning fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Kamu Harus Bertanggungjawab
"Jadi Liora ini putrinya om Arian dan Tante Mirna?" tanya Agam pada Arian dan Mirna. Liora diam sambil mengigit bibir bawahnya, tak berani menatap mata Pak Gurunya.
"Iya. Dia putri kami," jawab Arian merasa tidak enak sendiri.
"Dia juga yang sudah merusak acara pernikahan Nak Agam. Maaf-kan anak kami ya!" ucap Arian, meminta maaf atas nama Liora.
"Liora ini emang agak sedikit bandel, Nak Agam!" timpal Mirnawati, "Tapi sebenarnya maksud dia baik. Tapi memang caranya yang salah...!" sambungnya lagi.
"Mohon maafkan anak Tante. Karena Liora memang masih remaja, Nak Agam! Pemikirannya masih labil!' ujarnya lagi.
Agam sampai ternganga mendengarnya. Bingung mau menanggapi apa.
Mereka kini sedang berada di kantin RS. Duduk berempat, dengan Liora di sana. Awalnya mereka ingin masuk ke ruangan Pak Yai, namun tiba-tiba kedua orang tua Sarah datang, bersama dengan Sarah-nya.
Agam membiarkan para orang tua berbicara dan menyelesaikan masalah yang ada.
Pikirannya seketika langsung melayang pada rekaman yang telah ia lihat barusan. Keinginannya untuk bertemu dengan Sarah dan keluarganya meredup drastis.
Sejak pertama kali bertemu, firasat Agam tentang Sarah memang tak begitu baik. Gadis itu terlalu agresif dalam mendekatinya, dan bahkan diam-diam sering tertangkap basah mencuri pandang ke arah Agam sebelum mereka benar-benar mengenal satu sama lain. Hatinya merasa risih dengan perasaan itu. Semakin dalam, perasaan risih itu akan semakin menjadi-jadi apabila mereka sampai menikah.
Liora duduk terdiam, jari-jarinya bergerak lincah memilin ujung dress, takut dan gelisah. Gadis yang dikenal absurd di sekolah, kini diam seribu bahasa.
Agam mencoba menenangkan diri, penasaran, apakah Liora merasa bersalah atau tidak dengan tindakannya itu.
Suasana yang tadinya mencekam, tiba-tiba berubah horor begitu suara notifikasi panggilan masuk ke ponsel Agam. Nama ayahnya muncul di layar, menghubungi Agam.
"Assalamualaikum, Yah!" sapa Agam sembari mencoba menyembunyikan perasaan campur aduk.
"Walaikumsalam, Gam. Kamu ada di mana?" tanya sang ayah, suaranya terdengar serius.
"Masih di kantin, Yah. Ada apa? Apakah Om Hendra dan Sarah sudah pergi dari ruangan Kakek?" cecar Agam, menahan rasa penasaran.
"Ya. Mereka sudah pergi dengan membawa malu luar biasa. Pak Hendra terlihat murung, menanggung rasa malunya karena perbuatan Sarah. Berulangkali Pak Hendra dan Bu Hendra meminta maaf atas nama putrinya," jelas ayah Agam, meresapi situasi yang terjadi.
"Terus bagaimana?"
"Itu sih terserah kamu saja, Gam. Toh yang ngejalanin kamu," ledek Hidayat.
"Ck, aku jelas ogah, Yah, nikah sama perempuan macam itu. Mending jadi bujang tua, daripada hidup menderita dengan penyesalan seumur hidup!"
Terdengar tawa riuh dari seberang telepon.
"Kakek mau bicara serius sama kamu dan keluarganya Om Arian. Kamu masih bersama mereka kan?"
"Iya. Mereka masih disini." Agam melirik ke arah Arian, lalu mengulas senyum samar.
"Ajak mereka ke sini. Mbah Yai mau ngomong sama mereka....!"
"Okey. Aku ajak mereka sekarang!"
Sepuluh menit kemudian, mereka pun sampai di ruangan VIP.
Liora yang takut-takut dikutuk jadi kodok, langsung bersembunyi dibelakang tubuh tinggi tegap papanya. Padahal raut muka semua orang yang ada di ruangan itu biasa saja, seperti tidak ada masalah apapun. Namun kalau mengingat ucapan papanya, yang katanya, keluarga Agam akan membawanya ke kantor polisi, nyali Liora ciut juga.
Jadi semua orang yang ada di ruangan itu berjumlah 8 orang. Untung itu ruangan VIP, jadi sedikit bebas dan leluasa.
"Jadi kamu yang namanya Liora?" tanya Mbah Yai pada Liora.
Arian langsung menggeret tangan putrinya, lalu menyenggol lengan Liora, supaya menjawab pertanyaan Mbah Yai. Liora terkesiap, ia menganggukkan kepala sambil mengulum senyum manis.
"Iya, Pak Yai," jawabnya.
"Kamu tahu kesalahan mu, Nak?"
"Iya, Pak Yai. Saya tahu. Maka dari itu saya meminta maaf...!" Liora kembali menundukkan kepala.
"Saya tahu, saya salah. Tapi, kan saya juga menolong nasib Pak Agam, guru saya! Andai saja Pak Agam dan wanita siluman itu jadi nikah, ih, pokoknya saya nggak rela." Jelas Liora menggebu-gebu, membuat semua orang melotot ke arahnya, "Eh, maksudnya, kalau mereka jadi nikah, gimana nasib pernikahan mereka!"
Liora nyengir, "Meskipun Pak Agam guru yang menyebalkan di sekolah, saya tetap sebagai siswinya, nggak rela kalau Pak Agam nikah sama wanita siluman itu, Pak Yai!" ujarnya.
Arian dan Mirna langsung menepuk jidat sambil menggelengkan kepala. Mereka lantas melotot ke arah Liora.
Gadis itu merasa menjadi sorotan lalu kembali nyengir sembari menghela napas.
Pak Agam, yang jelas-jelas disebut menyebalkan, menatap Liora dengan tatapan tajam, seolah berbicara tanpa kata. Hidayat dan istrinya saling bertukar pandang, tersenyum canggung. Sedangkan Pak Yai dan Bu Nyai, tertawa terbahak mendengar ucapan Liora yang terdengar sangat jujur dan blak-blakan.
"Karena kamu yang menggagalkan acara pernikahan cucu saya, maka kamu harus bertanggung jawab!"
Wajah Liora tampak memucat. Dia menggigit bibirnya, bingung harus berkata apa.
"Be... ber-tanggung jawab?" tanyanya dengan nada suara yang tergagap-gagap, dagunya menggigil kedinginan, "Ber-tanggung ja-wab a-pa, Pak Yai?"
Keringat dingin mengalir di keningnya. Wajahnya memucat, dan hatinya merasa kacau balau.
Kenapa harus ia yang terjebak di situasi seperti ini?
Kenapa ia harus bertanggung jawab?
Niatnya hanya membantu, apakah ia salah?
Pria sepuh itu menatap tajam ke arah Liora, dengan serius, dan tenang. "Kamu harus menggantikan mempelai wanitanya!" ujarnya tanpa ragu.
"A-APA?" Liora hampir tidak bisa menahan tangis, seruan itu meluncur dari bibirnya hampir tak terkontrol, dan matanya melotot dengan ketidakpercayaan. Ini bukan kehidupan yang selama ini ia impikan.
Liora mengepalkan tangan, menggigit bibirnya dengan bingung.
Wajah semua orang di ruangan itu seketika menjadi tegang, terkejut bukan kepalang dengan keputusan yang diambil oleh Pak Yai Ahmad dengan tiba-tiba.
Mereka saling berpandangan, mencoba mencari makna yang tersembunyi di balik putusan yang terasa begitu cepat dan tiba-tiba itu.
Apakah ini benar-benar pilihan yang harus dihadapi Liora? Akankah masa depannya terombang-ambing seperti kehendak angin dan ketentuan semesta?
"Apa maksudnya, Kek?" tanya Agam, "Kakek jangan bercanda?"
"Iya, Bah. Abah jangan bercanda. Ini keputusan yang nggak main-main!" ucap Hidayat, ingin tahu alasannya tiba-tiba si Abah menyuruh putranya menikah dengan gadis yang sekolah aja belum lulus.
"Abah nggak main-main. Abah serius!" jawab Pak Yai menatap semua orang satu persatu.
Hening sejenak.
"Abah pikir mereka keluarga baik-baik, ternyata anaknya seperti itu. Ternyata yang berjilbab dan berpendidikan tidak menjamin apa-apa!" ucap Yai Ahmad menghela nafasnya panjang.
"Percuma kalau berilmu tinggi, kalau tidak punya adab!" sambung pak Yai lagi, "Kamu bisa lihat sendiri kan, Yat. Saat gadis itu bicara. Bahasanya sangat kasar, padahal bicara sama orang tua."
Hidayat menganggukkan kepalanya.
Memang benar apa yang dikatakan Yai Ahmad barusan. Saat Hidayat membatalkan acara pernikahan secara sepihak, dengan tidak sopannya Sarah berbicara kasar pada calon mertuanya. Sepertinya memang gadis itu tidak memiliki adab sopan santun sedikit pun.
Terus gimana dengan gue? Liora membatin.
"Abah ini sudah tua. Nggak tau hidup sampai kapan? Abah hanya ingin lihat anak dan cucu Abah pada nikah, punya anak. Dan hidup bahagia. Apa Abah salah?" ujar pria tua itu.
"Bah, pernikahan kemarin aja gagal. Batal. Apa lagi sekarang?" timpal Bu Nyai, ikut-ikutan. Semua orang juga mengangguk setuju.
"Tapi Abah yakin, pernikahan ini nggak akan gagal. Kita kenal keluarga Rian. Kali ini Abah yakin!" Keukeh pria lansia itu.
"Bagaimana Arian?" tanya Pak Yai pada Arian. Liora menggelengkan kepala pada sang papa. Memberi kode supaya papanya menolaknya tegas.
"Gam, kakek sudah tua. Kakek hanya ingin hidup damai dan tenang. Melihat anak dan cucu bahagia!" ujar Yai Ahmad, yang memang sudah terlihat sepuh.
Agam yang memang tak pernah bisa membantah ucapan kakeknya itu, ia pun hanya mengangguk pasrah. Jelas saja membuat Liora melotot tajam ke arah pria itu.
Ck, bisa-bisanya dia menerima pernikahan yang nggak masuk akal ini?!?
"Bagaimana Arian? Kamu setuju pernikahan ini kan?" tanya Pak Yai lagi.
"Ta-pi anak saya masih SMA, Pak Yai?"
"Ah, tidak masalah. Nikah siri saja dulu!" jawab Pak Yai. Arian hanya bisa menelan ludahnya kasar.
Tapi jika dilihat sekilas, tidak ada salahnya menerima Agam sebagai menantu. Sudah soleh, penurut, guru agama, yang jelas pasti agamanya bagus, yang bisa menuntun anaknya ke jalan yang bener. Sudah mapan dan punya perkejaan bagus. Dan yang paling penting punya ilmu agama yang bagus pula.
Siapa tahu dengan menikahkan mereka, anaknya bisa lebih anteng, nggak pecicilan. Lebih solehatun, nggak bar-bar. Lebih tumaninah, nggak bikin pusing.
Tau sendiri kan pergaulan anak jaman sekarang?!?
Sebenernya setiap hari Arian mencemaskan putri satu-satunya itu. Putri cantiknya yang seneng banget kumpul-kumpul sama anak cowok. Bukan untuk mabuk atau narkoba, tapi tawuran. Ini dia yang bikin kepalanya cenut-cenut, nafas empot-empotan, setiap hari harus memikirkan nasib anak gadis atu-atunya.
"Bagaimana Arian?" tanya Pak Yai lagi.
"Baik, saya setuju, Pak Yai!" nggak dinyana, ternyata Arian menyetujui lamaran singkat yang diajukan kyai-nya untuk sang cucu. Orang tua yang selalu Arian hormati sepanjang masa.
"PAPA!!!???!!!"
Bersambung.....
Komen ya....
Muuuuuuuuaaaaaaaccccchhhhhh.....😘😘😘