“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 : Merasa Kalah Start
Ketika Arimbi pulang dan melintas di depan rumah Ilham, ibu Siti selaku wanita yang telah melahirkan Ilham, tengah sibuk menyapu halaman. Matahari benar-benar sudah terik, selain motor matic Ilham yang terparkir di teras depan rumah. Menandakan, Ilham maupun sang istri, ada di rumah. Namun, kenapa malah ibu Siti yang menyapu halaman? Juga, kenapa malah bapaknya Ilham yang menenteng dua ember besar bekas cat berisi pakaian yang baru beres cuci?
“Mungkin wanita suci, bakalan jadi enggak suci kalau sampai menyapu halaman apalagi mencuci pakaian,” pikir Arimbi.
“Biasa, keturunan ningrat jadinya disayang-sayang. Beda pas aku yang masih urus, telat datang sedikit padahal tahu aku sibuk, aku beneran langsung diceramahi.” Arimbi belum sempat bertanya karena orang tua Ilham sudah langsung sibuk memalingkan wajah. Karenanya, Arimbi langsung masuk ke gang jalan menuju rumahnya.
Sampai di rumah, batu dan pasir sudah memenuhi sisa halaman rumah. Pembangunan rumah Arimbi benar-benar akan dimulai. Hanya saja, adanya mas Rio di sana yang tengah mengobrol hangat dengan ibu Warisem, membuat Arimbi bertanya-tanya.
Mas Rio yang masih memakai tongkat bantu dalam berjalannya, berangsur berdiri sembari tersenyum ramah kepada Arimbi.
“Mbi ...? Baru pulang?” sapa Mas Rio.
Walau ragu, Arimbi mengangguk kemudian tersenyum. “Iya, Mas. Mas sendiri, ada perlu apa? Tumben ke sini?” balasnya sembari memboyong semua gerabah keperluannya jualan. Sang mamah hendak membantu, tapi Arimbi dengan cekatan menyelesaikan segala sesuatunya. Barulah setelah semuanya selesai diturunkan, Arimbi duduk di seberang mas Rio.
“Cuman pengin lihat-lihat saja, cari rumah kamu, tadi tanya ke rumah depan gang yang wanitanya pakai syari hitam pakai cadar juga. Alhamdullilah ketemu juga,” ucap mas Rio.
Dalam hatinya, Arimbi berkata, “Kayaknya dia tanyanya sama istrinya si Ilham.”
“Sekarang jualannya sampai siang?” lanjut mas Rio sengaja membuat obrolan mereka terus berlanjut.
Arimbi mengangguk-angguk. “Iya, Mas. Sengaja jualan lebih banyak, ... alhamdullilah.” Dalam hatinya, Arimbi bertanya-tanya, apa maksud mas Rio datang ke sana, selain pria itu yang begitu tenang memandanginya penuh senyuman? Senyum yang bagi Arimbi mirip orang sedang jatuh cinta.
“Laris ...?” tanya mas Rio.
Arimbi langsung mengangguk-angguk. “Alhamdullilah, Mas. Laris. Habis!”
“Alhamdullilah,” sambut mas Rio masih menatap Arimbi penuh senyuman. Sadar Arimbi lelah, ia sengaja berkata, “Kamu kalau mau istirahat, istirahat saja. Aku yakin, kamu memang lelah.”
Arimbi makin bingung. “Memangnya, alasan Mas ke sini, untuk apa? Maksudnya, ini beneran enggak apa-apa, kalau aku tinggal?”
Mas Rio menggeleng pelan, benar-benar pemandangan yang belum berubah. “Beneran pengin tahu rumah kamu, aku juga ingin kenal keluarga kamu, aku ingin kenal ibu kamu. Ya sudah, kalau kamu mau istirahat, istirahat saja.”
Arimbi mengangguk-angguk, kemudian sengaja permisi karena ia sungguh memilih pergi. “Salah enggak sih kalau aku mikir, rasa sayang mas Rio ke aku, karena mas Rio cinta ke aku? Kok aku jadi takut, ya?” pikirnya yang kemudian mendengar mas Rio mengangkat telepon dari mas Aidan.
“Saya enggak di rumah, Mas. Saya lagi di rumah Mbak Arimbi. Oh, Mas mau ke sini? Mas tahu rumahnya Mbak Arimbi?” ucap mas Rio dan Arimbi sampai melongok dari sebelah gorden yang menutup kusen pintu menuju dapur.
“Mas Aidan juga mau ke sini,” pikir Arimbi yang buru-buru ke belakang rumah. Di sana ada beberapa pohon kelapa tidak begitu tinggi, bahkan untuk mengambil buahnya cukup dengan berjinjit. Lebih spesialnya lagi, itu kelapa hijau asli.
Arimbi sengaja memetik tiga kelapa kemudian menyiapkannya. Satu untuknya, satu untuk mas Rio yang mendadak membuatnya curiga, dan satu lagi untuk mas Aidan yang sedang dalam perjalanan ke rumah Arimbi.
Beberapa saat kemudian, Mas Aidan yang kali ini memakai motor gede dan juga menutup wajahnya menggunakan helm, sengaja mengklakson Ilham yang kebetulan tengah menjemur sarung di teras. Lantaran Ilham tampak kepo, mas Aidan sengaja berhenti kemudian membuka kaca helm penutup wajahnya. Detik itu juga, Ilham yang tampak jengkel, buru-buru masuk rumah. Membuat mas Aidan mesem kemudian melanjutkan perjalanannya.
Kenyataan jalan menuju rumah Arimbi yang sudah sampai diratakan dengan batu cadas, membuat mas Aidan tak harus berjalan kaki apalagi sampai nyeker hanya untuk ke sana. Ia dengan jauh lebih mudah mengarungi perjalanan, selain ia yang tak sengaja memergoki Ilham ternyata diam-diam kepo. Melalui kaca spion motor sebelah kanannya, ia memergoki Ilham melongok-longok ke arahnya dari sebelah pintu.
“Tuh orang enggak bahagia apa bagaimana yah, dengan pernikahannya? Masa iya, kelihatan banget enggak rela kalau mbak Arimbi dekat sama laki-laki lain?” pikir mas Aidan.
Senyum bahagia mengembang di wajah Mas Aidan ketika dirinya memergoki meterial memenuhi pelataran rumah Arimbi. Di sana sudah ada beberapa motor, selain motor Arimbi. Ada motor matic yang ia kenali sebagai motor mas Rio. Sisanya, ia yakini merupakan motor pekerja yang tengah beristirahat di bawah pohon kelapa berteman kopi hitam dan aneka gorengan.
Suasana di sana yang sangat teduh karena banyak pohon khususnya pohon kelapa, ditambah semilir angin yang sangat segar karena rumah Arimbi dekat sawah, membuat mas Aidan yang sedang patah hati mereka betah. Malahan mas Aidan berpikir, dirinya akan tinggal di sana agak lama, walau nanti urusannya dengan mas Rio sudah beres.
“Mas Aidan?” seru mas Agung yang ternyata menjadi salah satu dari kerumunan pekerja dan awalnya hanya mas Aidan senyumi sambil mengangguk hangat.
Tentu saja adanya mas Agung yang tak lain kakak Arimbi di sana, membuat cerita menjadi berubah. Karena mas Aidan sengaja menghampiri, menyalami, dan juga keenam pekerja lain di sana.
Setelah mengobrol sejenak, mas Agung sampai mengantar mas Aidan yang kali ini tetap memakai jaket kulit warna hitamnya, selain mas Aidan yang membawa ransel gendong terbilang besar.
“Mbi, ... ini ada Mas Aidan,” ucap mas Agung merasa bahagia hanya karena mengabarkan kedatangan sosok yang telah sangat berjasa kepada mereka. Karena tanpa pertolongan mas Aidan, tentu ia tak mungkin tengah menganyam besi untuk bahan memperkokoh pondasi.
Tak hanya Arimbi yang keluar karena ibu Warisem juga tertatih-tatih ikut keluar. Mas Rio sampai heran karena kenyataan kini. Namun pria itu tetap berusaha menjadi kebersamaan dari mereka yang ada di sana, hingga mas Rio mengetahui, mas Aidan sudah sangat berjasa untuk Arimbi sekeluarga.
“Kelapa hijau, Mas!” ucap Arimbi sambil menyuguhkan dua kelapa sekaligus dilengkapi sedotan maupun sendok.
Mas Rio langsung tersipu, terlepas dari kebersamaan di sana yang hanya berisi mereka bertiga.
“Ini asli kelapa hijau, Mbak?” tanya mas Aidan.
“Asli, Mas,” ucap Arimbi yang kemudian kembali masuk ke dalam, tapi langsung kembali keluar sambil membawa kelapa hijau jatahnya.
“Nanti saya beli beberapa buat adik saya yang sedang hamil, ya. Ingat, loh, Mbak! Be-li, jangan dikasih! saya marah kalau Mbak memaksa kasih!” tegas mas Aidan yang kemudian menyeruput air kelapanya melalui sedotan.
Arimbi menahan senyumnya. “Beli, nanti saya kasih bonus, yah, Mas!” tawarnya.
“Boleh, tapi bonusnya jangan banyak-banyak, nanti Mbak rugi bandar!” balas Mas Aidan kali ini sampai mengomel, tapi yang mendapat omelan malah sibuk menahan tawa.
“Kok mereka sudah seakrab itu? Kalau gini caranya, aku kalah start, dong?” batin mas Rio yang menjadi merasa tidak nyaman.
bnyk pelajaranny...
bikin kita ga stres
malah ky orang stres ktawa mulu
thor tetep sabar dan ikhlas ya
pokoknya novelmu sungguh luar biasa...
semangat 💪
Semangat ya bikin ceritanya/Rose/