Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Hari itu, Rose memutuskan untuk membuka beberapa foto lama yang diberikan ibunya sebelum ia pindah ke Tiongkok. Di antara tumpukan foto keluarga, ia menemukan sebuah gambar yang membuatnya tersenyum. Dalam foto itu, kakeknya, Mr. Harold, tampak jauh lebih muda, berdiri di samping seorang pria paruh baya yang tampak karismatik.
"Ayahnya Dylan?" gumam Rose, mengenali sosok itu. Pikirannya langsung melayang ke pertemuan pertama dengan Dylan di kantor. Ia tak pernah menyangka bahwa bosnya ternyata memiliki hubungan dengan keluarganya, meskipun itu melalui Mr. Harold.
Ia mengambil teleponnya dan mencoba menghubungi kakeknya. Sudah lama sekali ia tidak berbicara dengannya karena kesibukan kerja dan pindah antarnegara. Panggilan itu segera diangkat, dan suara berat yang akrab terdengar di seberang.
"Chaeng! Sudah lama sekali kau tidak menelepon kakekmu," kata Mr. Harold dengan nada riang.
"Maaf, Kek," jawab Rose, merasa sedikit bersalah. "Aku baru saja melihat foto lama, kau berdiri di samping seorang pria. Sepertinya itu ayahnya bosku, Dylan. Apa kalian teman dekat?"
Mr. Harold terkekeh. "Teman dekat? Kami seperti saudara! Ayah Dylan, Marcus, adalah sahabat karibku sejak muda. Aku bahkan sering menghabiskan waktu di rumah mereka ketika kau masih kecil."
Rose terkejut. "Kakek tidak pernah cerita."
"Kau tidak pernah bertanya," jawab Mr. Harold ringan, lalu dengan nada penuh arti, ia menambahkan, "Dylan sering ke sini, kau tahu. Dia seperti anak sendiri bagiku."
Rose menghela napas. “Dia tidak pernah menyebutkan itu.”
“Tentu saja tidak,” kata Mr. Harold, dengan nada menggoda. “Dia pria yang tertutup, tapi aku yakin dia punya banyak hal yang ingin dikatakan. Jadi, kapan kau akan mengunjungiku? Aku ingin tahu bagaimana kabarmu selama ini. Dan, siapa tahu, mungkin Dylan juga ada di sini saat kau datang.”
Rose tersenyum kecil, mencoba mengabaikan nada usil di suara kakeknya. "Aku akan coba cari waktu, Kek. Kalau jadwal pekerjaanku memungkinkan."
Setelah telepon berakhir, Rose duduk termenung. Hubungan antara Mr. Harold dan keluarga Dylan membuatnya merasa lebih terhubung dengan pria itu. Namun, ia juga menyadari bahwa menjaga hubungan profesional tetap penting.
Di sisi lain, Dylan yang masih berada di peternakan tampak duduk di beranda sambil mengaduk secangkir kopi. Kata-kata Mr. Harold terus terngiang di kepalanya. Dalam hati, ia tahu perasaannya terhadap Rose lebih dari sekadar rekan kerja.
Namun, ia juga memahami bahwa Rose adalah tipe wanita yang menghargai ruang dan profesionalitasnya. Jika ia ingin mendekatinya, ia harus melakukannya dengan hati-hati dan penuh rasa hormat.
***
Senja mulai turun, menyelimuti peternakan dengan cahaya keemasan. Mr. Harold dan Dylan masih duduk di teras rumah utama, berbincang santai sambil menikmati kopi hangat. Dylan terlihat lebih santai sekarang, meskipun percakapan sebelumnya masih membekas di pikirannya.
Tiba-tiba, suara mobil terdengar mendekat dari arah gerbang peternakan. Mr. Harold berdiri dengan cepat, senyumnya lebar. “Ah, sepertinya tamu istimewaku sudah tiba!”
Dylan menoleh, sedikit penasaran. Namun ketika mobil itu berhenti, ia terkejut melihat sosok yang keluar dari dalamnya. Rose.
Rose tampak kebingungan sekaligus terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sebelah kakeknya. "Bos?" serunya, matanya melebar.
Dylan bangkit dari tempat duduk, sama terkejutnya. "Rose? Apa yang kau lakukan di sini?"
Rose berjalan mendekat, menatap kakeknya dengan heran. "Kakek, kenapa bosku ada di sini?"
Mr. Harold tertawa keras, jelas menikmati kebingungan keduanya. “Ah, kau tidak tahu? Aku dan Dylan sering bertemu di sini. Dia seperti cucuku sendiri. Jadi, kalian sudah saling kenal rupanya?”
“Saling kenal?” Rose masih terlihat bingung. “Dia bosku, Kek. Aku tidak tahu kalau kalian sedekat ini.”
Dylan menggaruk belakang lehernya, merasa canggung. “Dan aku juga tidak tahu kalau kau cucunya Mr. Harold.”
Mr. Harold menepuk bahu keduanya dengan senyuman jahil. “Nah, lihat ini. Dunia memang sempit, bukan? Aku rasa ini pertanda baik.”
Rose memandang Dylan sejenak, lalu beralih ke kakeknya. “Kakek, kenapa tidak pernah cerita soal ini?”
“Kau tidak pernah bertanya,” jawab Mr. Harold ringan, menggunakan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
Suasana menjadi aneh sejenak, sebelum Mr. Harold memecahkannya dengan suara riang. “Sudahlah, kalian berdua. Ayo masuk ke dalam. Aku punya pai apel yang baru keluar dari oven.”
Rose dan Dylan mengikuti Mr. Harold ke dalam rumah, meskipun keduanya masih merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Di meja makan, Mr. Harold, seperti biasa, mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan usil.
“Jadi, Dylan,” katanya dengan nada santai, “apa yang kau pikirkan saat pertama kali bertemu dengan Rose di kantor?”
Dylan hampir tersedak teh yang sedang diminumnya, sementara Rose menatap kakeknya dengan tajam. “Kakek, itu pertanyaan apa?”
“Aku hanya ingin tahu!” jawab Mr. Harold sambil tertawa. “Bukankah itu wajar untuk seorang kakek yang peduli?”
Dylan menarik napas dalam-dalam, mencoba menjawab dengan tenang. “Rose adalah karyawan yang sangat kompeten. Dia profesional dan—”
“Ah, hanya itu?” potong Mr. Harold, sambil tersenyum penuh arti.
Dylan menatapnya, jelas merasa terpojok, sementara Rose hanya menggelengkan kepala, malu sekaligus kesal. “Kakek, kau terlalu jauh,” katanya, mencoba mengakhiri percakapan.
Namun, Dylan tiba-tiba berbicara, meskipun nadanya lebih serius kali ini. “Rose memang luar biasa, Mr. Harold. Dia lebih dari sekadar karyawan. Tapi aku tahu batasanku. Dan aku tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.”
Rose memandang Dylan dengan kaget. Kata-kata itu mengejutkannya, tidak hanya karena isinya, tetapi juga kejujurannya.
Melihat suasana mulai serius, Mr. Harold berdiri, tersenyum penuh kebijaksanaan. “Baiklah, aku akan membiarkan kalian berdua berbincang sendiri. Aku rasa ada banyak hal yang perlu kalian selesaikan.”
Setelah Mr. Harold pergi, suasana menjadi sunyi. Rose mengaduk cangkir tehnya tanpa berkata apa-apa, sementara Dylan terlihat gelisah.
“Aku tidak tahu kakekmu akan membuat situasi seperti ini,” Dylan akhirnya berkata, memecah keheningan.
Rose tersenyum kecil. “Itu memang gayanya. Dia suka usil, tapi dia selalu punya maksud baik.”
Dylan mengangguk pelan, lalu menatap Rose. “Rose, aku tahu ini mungkin bukan tempat atau waktu yang tepat, tapi aku ingin jujur. Aku tidak melihatmu hanya sebagai karyawan. Kau lebih dari itu, meskipun aku tidak tahu apakah aku pantas untuk mengatakan ini.”
Rose terdiam, menatap Dylan dengan mata yang sulit dibaca. “Kenapa sekarang, Pak Dylan?”
“Karena aku lelah berpura-pura,” jawabnya jujur. “Dan mungkin, tanpa sadar, aku ingin kau tahu.”
Rose tersenyum tipis, merasa campuran antara terkejut dan tersentuh. “Aku butuh waktu, Dylan. Hubungan profesional tidak mudah diubah. Tapi…”
“Tapi apa?” tanya Dylan pelan.
“Tapi aku juga tidak yakin bisa terus berpura-pura.”
Percakapan mereka berhenti di situ, namun keduanya tahu bahwa sesuatu telah berubah. Sementara itu, dari jendela dapur, Mr. Harold mengintip sambil tersenyum puas, seperti seorang perencana yang baru saja menyaksikan rencananya mulai membuahkan hasil.