Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Istriku
Suara ayam berkokok di waktu dini hari. Kata nenek Laras, ketika itu terdengar, bangunlah berdoa sebab apa pun yang kamu doakan segera terjawab.
Laras dengan mata sembab perlahan bangun duduk di pinggir kasur. Ia kucek matanya. Laras sedikit mendongak menatap langit bertabur bintang dari balik jendela kamar. Ia tangkupkan kedua tangannya di depan dada. Bibir mungilnya sambil berkomat-kamit merapalkan doa yang ternyata ditujukan oleh suami tiba-tibanya itu.
Ketika ia hendak kembali merebahkan diri. Perlahan terdengar suara ketukan dari arah pintu dapur. Karena suasana sedang sunyi, indera pendengaran pasti semakin tajam.
Laras bangun bersungut-sungut. Dengan mata sayu, ia membuka gorden jendela dapur. Matanya seketika melebar. Kedua ujung bibirnya terangkat naik. “Mas Ali?!” Laras seketika menutup mulut besarnya. Tak mau jika orang tuanya terbangun.
Sementara pria di luar sana cukup bergidik bulu kuduknya. Bukan karena cuaca dingin melainkan senyuman Laras yang nampak seperti boneka Chucky.
Pintu terbuka perlahan. Laras segera meraih lengan besar Ali. Diseretnya masuk ke dalam. Ali meringis ketika perutnya terasa tertarik.
Laras yang melihat itu bertanya, “kenapa? Laper?”
Ali bernapas berat. Ia pandangi gadis mungil itu lekat. Bibirnya yang pucat mengatup sempurna. Tadi, ketika Pras rekan polisi Aliando yang datang membawakan motor supranya, ia ditawarkan untuk menginap di apartemen Pras yang mewah.
Namun, Ali menolak. Kepalanya terus terisi oleh bayangan wajah Laras yang cengeng. Entah mengapa, jantung Aliando berdetak lebih keras dan cepat ketika mengingat Laras.
“Gimana ngojeknya? Dapet banyak?” beo Laras memajukan tangannya, meminta setoran.
Ali mengernyit. “P, maksud?”
“Ya duit lah, Mas. Aku, ‘kan istri kamu, butuh nafkah.” Bibir Laras dibuat mengerucut. Matanya membola gemas.
“Ngelunjak.” Ali berjalan melewati Laras. Ia buka jaket kulit hitam mahalnya itu. Ia duduk di kursi dekat nakas, berusaha mengstabilkan napas. Karena merasa begitu lelah, kesadaran Ali sisa setengah lagi.
Laras ikut duduk di sampingnya. Tanpa Ali sadari, gadis itu menyentuh sebelah pipi Ali. Terasa begitu dingin dan kaku. “Kamu sakit?” tanya gadis itu dengan suara pelan. Kepalanya miring ke kanan, memandang ke atas.
Pelan-pelan Aliando membuka matanya. Dirinya mendapati wajah imut Laras mendongak padanya. Napas Ali terasa memburu, ada sensasi rasa panas menjalar dari belakangnya menuju kepala.
“Muka kamu merah, Mas Al,” kata Laras dengan mata jernihnya.
“Saya …, luka,” ujar Ali. Tatapannya seketika menjadi sendu. Ali merasakan perbannya tidak mampu menampung darah yang mulai keluar. Sepertinya, jahitan Ali terlepas.
Wajah Ali perlahan memucat. Laras nampak semakin panik ketika tubuh Ali roboh ke dalam pelukan Laras.
“Saya kena tusuk …, waktu ngojek, saya dibegal ….”
Setelah mengatakan kebohongan itu. Ali pun pingsan.
Laras segera membopong tubuh besar itu. Dibaringkan selembut mungkin. Laras segera mengambil kotak P3K. Dibukanya perlahan baju kaos yang dikenakan suaminya. Ia menutup mulut ketika mendapati darah memenuhi perban putih itu.
Mata Laras berkaca-kaca. Laras berusaha mengatur napas dan dengan telaten membersihkan noda darah itu. Ia ganti dengan kain kasa baru. Direkatkan plaster luka lebar tersebut dengan ketat.
Gadis itu segera menekan tombol panggilan. Ia menelfon dokter desa. Tapi, kata si Dokter, ia berada di kota saat ini. Besok pagi sekali baru bisa melayani pasien di kampung.
Laras segera mengompres dahi Ali dengan air dingin. Syukur saja ketika subuh tiba, demam pria itu reda.
Ali sadarkan diri dan mendapati Laras berbaring di sampingnya. Secara naluriah, intel tampan itu membelai puncak kepala Laras. Tanpa Ali sadari, bibirnya menyunggingkan senyum.
“Gadis yang imut,” puji Ali.
Laras semakin masuk ke dalam sisi intel muda itu. Kemudian, perlahan ia berkata, “aku memang imut, sih, Om,” kata Laras tiba-tiba.
Ali segera bangkit meski perutnya sangat nyeri. Laras yang di atas kasur sana sambil merem dan tersenyum.
“Gadis gila,” ujar Ali.
Mata Laras terbuka. “Hehe, kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Geleng Ali cepat. Malu ketahuan memuji si Cengeng.
Laras mendekat, memeriksa dahi pria yang ia sangka ojol tersebut, ternyata intel. “Sudah reda. Kamu gak laper, Om?” tanya Laras dengan wajah menggoda. Ia jelas tahu kalau pria itu tak suka dipanggil, Om.
“Sudah saya bilang, saya ini masih muda.”
“Ya terus panggil apa?”
“Ya, panggil Mas, lah!” gelagat Ali mulai gelisah. Kulkas 1000 pintu itu lepas colokan listriknya.
“Kenapa harus dengan sebutan, Mas?”
“Karena kamu istriku sekarang, Laras!”