Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
"Terima kasih ya, Mbak," ucap Mira sopan saat pelayan meletakkan hidangan sarapan di hadapan Mira.
"Sama-sama, Nyonya Mira."
Melinda melirik dengan tatapannya yang seperti biasa, terasa mengintimidasi.
"Sejak amnesia, kamu jadi jauh lebih ramah, Mira."
Mira memaksa menarik kedua sudut bibirnya. "Ah, itu perasaan Bu Direktur saja."
"Oya, gimana persiapan pestanya? Empat hari lagi, Ben."
"Tenang saja, Mom. Everything is good."
"Kamu memang anak yang paling bisa aku andalkan. Tidak sembrono seperti Virgo, tidak manja seperti Emily. Kamu sempurna, tapi... "
"Tapi?" tanya Ben.
Melinda berdeham kecil, "Kamu belum juga punya penerus. Padahal kemarin aku sangat berharap Mira benar-benar hamil."
Tiba-tiba saja, roti bakar yang sedang dikunyah Mira, terasa begitu sulit ditelan. Ia seperti sedang disindir. Yah, walaupun bukan benar-benar dirinya yang dibicarakan.
"Soal itu bisa diatur, Mom," sahut Ben.
"Ah iya, nyaris saja aku lupa." Melinda menyuruh asisten pribadinya mengambilkan sesuatu.
Asisten tersebut kemudian membawakan sebuah kotak berukuran sedang dengan tulisan huruf mandarin.
Melinda memberi isyarat untuk meletakkannya di hadapan Ben.
"Mulai hari ini, kamu harus meminum itu sehari sekali."
Ben meletakkan pisau dan garpu, lantas meraih kotak itu dan membukanya.
Mira yang ikut mengintip, melihat benda kecil berbentuk kapsul tampak berjejer di dalamnya.
"Ini apa, Mom?"
"Obat dari Pak Ruki, orang pintar kepercayaanku. Dia bilang, obat itu bisa bikin cepat jadi."
Ben berdecak sambil tertawa sinis, "Yang benar saja aku harus minum begini."
"Aku sudah memberi kalian waktu hampir 5 tahun, dan belum juga terlihat hasilnya sampai sekarang. Jadi kamu jangan membantah lagi, Ben. Ingat dulu janji kita?"
"Baik!" Ben buru-buru menyahut seolah sengaja memotong kalimat Melinda. "Aku akan habiskan semuanya."
Mira hanya mengangguk-angguk mendengar percakapan mereka, tanpa mengerti arahnya kemana. Wanita itu terlanjur asik dengan roti gandumnya.
"Satu lagi. Beliau bilang, malam ini tanggal yang paling bagus untuk eksekusi. Kalian bisa melakukan itu setelah jam sembilan malam. Kalian paham, Ben? Mira?"
"Aku harus melakukan apa, Bu Direktur?" tanya Mira tanpa mengalihkan pandangan dari rotinya yang tinggal separuh.
Melinda menggebrak meja.
Tak terlalu keras, namun karena ruangan begitu luas dan tak banyak orang, suaranya berhasil membuat Mira tersentak dan menoleh.
Buru-buru, Mira meneguk minumannya karena kaget.
"Yang benar saja kamu masih tanya harus melakukan apa, Mira! Malam ini kalian harus melakukan proses produksi anak. Paham?"
Sekonyong-konyong, air yang masih berada dalam mulut Mira, tersembur keluar.
Ben yang duduk di sebelah Mira, terkena semburan, hingga wajah berikut kacamatanya basah sempurna.
"M-maaf, Ben!"
Buru-buru Mira mengambil lap di pangkuannya untuk diusapkan ke wajah Ben yang nyaris tanpa pori-pori itu.
"Itu lap yang ada banyak remahan makanan kamu, Mira," ucap Ben datar, berusaha tetap tenang seperti biasa.
"Oh iya." Mira segera menggantinya dengan tisu yang baru saja dibawakan pelayan.
***
Seorang pramuniaga membawakan beberapa model baju tidur ke hadapan Mira. Namun Mira tak merespon sedikitpun. Ia tampak melamun di dalam butik langganan keluarga Bratadikara itu.
"Nyonya, anda jadi mau ambil yang mana?"
Perkataan Ida membuyarkan pikiran Mira.
"Apa saja bagus. Kamu yang pilihkan saja, " sahut Mira tak bersemangat.
Ia masih shock dengan masalah yang harus ia hadapi.
"Gimana dengan warna marun? Sepertinya akan terlihat cocok dengan Nyonya Mira."
"Iya."
"Kami ambil ukuran XS ya," kata Ida pada pramuniaga.
"Kok XS? Mana muat sekecil itu? Ukuran bajuku L," jawab Mira, refleks.
Ida terdiam. Pramuniaga terdiam. Keduanya lantas memindai tubuh Mira dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Mau tak mau, Mira turut memindai tubuhnya.
Astaga, aku lupa ini kan bukan badanku yang semok. Mira yang ini badannya seperti cacingan, kurus banget bagai dompetku di akhir bulan.
"Maaf, aku lagi banyak pikiran sampai bicara ngaco begini. Haha," ralat Mira buru-buru.
Setelah pramuniaga pergi hingga menyisakan mereka berdua saja, Ida mendekati Mira.
"Nyonya pasti sangat gugup untuk nanti malam. Tapi saya percaya Nyonya akan melakukannya dengan baik."
Mendengar kalimat itu, sekujur tubuh Mira merinding dibuatnya.
"Sepulang dari sini, bisa gak kamu mengantarku bertemu Ben?"
"Maksud Nyonya ke perusahaan?"
Mira mengangguk.
***
