Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Apakah kamu mengingat aku?
"Agak ke kiri, bang!" ujar Toni. Saat ini Jagat sedang merampungkan tenda besar demi menyambut relawan kesehatan yang dikirim pemerintah.
Entah kenapa ia berandai-andai jika Aza ada dalam rombongan itu, tapi sepertinya mustahalll.
Bukankah Aza sedang melakukan koas demi memperbaiki nilainya? Calon dokter praktek paling-paling dikasih tugas puskesmas terdekat, paling jauh juga daerah pelosok ngga mungkin sampe keluar negara...seperti yang gadis itu katakan tempo hari saat memintanya membujuk kedua orangtuanya.
"Gat," sapa Dika sudah bermandikan peluh, cuaca panas sangat panas, bila dingin ya kebangetan. Terhitung sudah hampir seminggu mereka berada disini.
"Ya?" ia menunduk dan turun ketika sudah selesai memasang salah satu ujung tenda di tiang. Sama halnya Dika, kaos hijau Jagat bahkan sudah basah di beberapa bagian terutama punggung, dada dan ketiak, mencetak jelas lekukan badannya.
"Sudah selesai tah?" tanya Dika diangguki Jagat, "kenapa, to?"
"Antar saya periksa sumber dan saluran air bersih." nyengirnya.
"Kenapa ngga minta antar sersan Jeven saja, dia lebih tau..."
"Ah, suka canggung saya minta tolongnya..." kekeh Dika, Jagat mendengus geli, "bilang saja ngga mahir bahasa..."
Dika tertawa dengan tebakan benar Jagat, termasuk Toni, "belepotan bahasa inggrismu, ya bang..." diangguki Dika, "ah kamu juga sama..."
Jagat memberikan palunya pada Toni, "ya sudah. Biar saya yang teruskan saja bang..." Toni mengambil alih dan melanjutkan tugasnya.
"Makasih Ton. Titip baju..." tunjuknya ke arah seragam loreng yang teronggok di atas bangku.
"Siap!" Toni mengacungkan jempolnya.
Pasir yang mengepulkan debu bersama kerikil besar yang ikut menerpa sepatu delta adalah bukti nyata gersangnya kawasan yang mereka tinggali sekarang. Bahkan alis saja sudah senantiasa mengernyit ketika mereka mendongak sedikit di kala waktu masih menunjukan pukul setengah 7 pagi.
"Gat, bukannya calonmu juga jadi relawan? Apa disini juga?"
Jagat menggeleng, "ngga mungkin, Dik. Dia belum jadi dokter, logikanya....kampus ndak mungkin langsung kirim mahasiswanya ke daerah rawan konflik apalagi luar negri. Paling-paling kalo calon dokter praktek begitu disuruh penyuluhan ke pelosok. Makanya aku setuju saja bantu dia buat minta ijin ke orangtuanya. Mana mau, aku bantuin dia kalo emang kesini, nanti aku yang mesti tanggung jawab kalo dia kenapa-kenapa...kenal juga belum, sudah harus tanggung jawab." Akui Jagat yang begitu yakin kalo Aza tak mungkin datang menjadi relawan kesini.
Dika mengangguk setuju, "baru calon dokter, mana paham sama medan. Pemerintah juga pasti kirim dokter berpengalaman, ndak mungkin yang masih mahasiswa."
"Tapi e Gat, rejekimu kenceng....dapet calon istri, calon dokter gitu, kerjaan yang duitnya gede. Ngga minder to?"
Jagat tersenyum dan tertawa sumbang sambil kakinya menendang-nendang batu di bawah sana sementara pandangannya sudah luas dan jauh ke depan sedikit mendongak, menyadari begitu teriknya matahari siang ini, berasa bola panas itu berada sejengkal di atas kepalanya.
"Ngga pernah kepikiran sampai situ. Lagian saya ngerasa, dia pun ngga mau sama saya....dia sendiri yang bilang, kalo dia sudah punya pacar. Jadi saya ngga banyak berharap, lagipula saya juga belum dikasih rasa lebih..." jawab Jagat, lelaki itu mempercepat langkahnya bersama Dika saat menjumpai pipa besi cor berdiameter 10 centimeter sepanjang mata memandang diantara tanah gersang, meski terdapat beberapa gundukan rumpun tanaman di beberapa tempat.
"Lancar jaya sepertinya, Gat. Tidak ada nampak pipa bocor..."
"Coba sumbernya...tadi komandan suruh saya cek ricek saja."
Aza sudah merasa lelah, perjalanan menuju Kongo rupanya cukup jauh. Terlebih camp kesehatan militer dari negerinya cukup berada di daerah perbatasan, yang mengharuskannya menempuh perjalanan dengan mobil pula setibanya di landasan udara.
Sekitar hampir 24 jam. Dekil, lusuh, lepek, leher dan pan tat yang pegal dirasakan Aza bersama nakes lain yang berjumlah 20 orang, terdiri dari 3 orang dokter, dan 17 orang perawat muda termasuk dirinya.
"Pengen mandiii..." seru Hera memanjangkan kaki dan mengangkat kedua tangannya ke atas demi meregangkan otot-ototnya. Perawat muda ini, bukan ia kena hukuman atau menjadi pilihan terakhir para seniornya, melainkan ia yang memang mencalonkan diri demi sebuah pengalaman berharga.
Aza yang duduk di bangku sampingnya tersenyum menanggapi Hera, "lumayan bikin pinggang copot ya..."
Hera mengangguk setuju, "banget. Tapi pengalaman, biar nanti ngga kena bullyan juga di tempat kerja, soalnya di tempatku rata-rata udah pada pernah jadi relawan gitu, cuma aku doang yang belum pernah. By the way, aku Hera....perawat di RSCM."
"Azalea..." balas Aza menyambut tangan Hera.
"Perawat di rs mana?"
Aza nyengir, sebenarnya di data ia dimasukan di list perawat RSCM, namun tidak mungkin ia mengaku pada Hera yang notabenenya perawat asli disana, mana kenal!
Aza lantas memperlihatkan selembar kertas pengantar dari profesor Suwitmo dan tanda tangan dari pimpinan RSCM atas usaha Angga dan dokter Alteja.
"Kamu..." Hera hampir menjatuhkan bola matanya ke bawah, cukup terkejut jika Aza masihlah menyandang status calon dokter. Meskipun mungkin selevel diatas dirinya dalam hal ilmu kesehatan.
"Wah...wah, itung-itung magang, atau koas?" bisiknya diangguki Aza, "anggap aja begitu."
"Mau-maunya..." ucap Hera tak percaya, Aza menyunggingkan senyuman lebar, "kamu juga, mau-maunya."
Hera ikut tertawa, "iya ya...kita orang-orang nekat yang kurang jalan-jalan."
Ketinggian pesawat mulai melandai, begitupun dengan suara pilot yang mengatakan jika pesawat bersiap landing.
Suara empuk announcer menyadarkan Aza jika kini mereka sudah sampai di Kongo, dengan gerakan santainya Aza membuka gorden jendela pesawat dan melihat pemandangan di luar kaca, dimana langit disana masih berwarna biru gelap dengan sedikit cahaya kerlap kerlip bintang diantara gersangnya tanah benua Afrika, dan justru itu membuat sentuhan indah pada lukisan Tuhan di belahan bumi ini. Layaknya suasana malam di negri 1001 malam, entah itu aladdin may be....
Aza melirik jam tangannya, kemarin ia terbang pukul 9 pagi dari nusantara, maka sekarang ia sampai pukul 3 pagi waktu Kongo.
"Ini jam berapa waktu setempat?" tanya Hera, "kok gelap?"
"Jam 3 subuh, Ra." jawab Aza, "waktu kita lebih cepet 6 jam dari disini."
"Oh ya? Gilaak, jam 3 pagi gini kita mau naek apa ke camp?" tanya nya berseru.
Aza menggeleng. Guncangan pesawat sedikit menyentak badannya, roda-roda keluar dari bagian bawah dan melintasi landasan udara bandara N'Djili, Kinshasa.
\*\*\*
"Hoammm..." bahkan kapten Yuda menguap saat ini.
Toni terkekeh, "tidur jam berapa kapt? Masih ngantuk..."
Guncangan roda truk Reo yang menggiling jalanan justru membuatnya bak di nina bobokan, layaknya di eyong simbok di rumah.
"Baru istirahat 2 jam saya. Si Franky ngajakin main catur! Mana saya lupa harus jemput crew kesehatan pagi ini." akuinya lupa.
Jagat terkekeh tanpa suara tepat di depan sang kapten, "kamu juga bukannya ingetin saya, Gat. Hampir saya pules..."
"Semalam saya mau bilang, tapi kapten sama bang Franky keliatan serius ngasah otak...jadinya saya tidur duluan." Jawab Jagat.
"Emangnya yang menang dapet apa, kapt?"
"Dapet obat nyamuk dua pak.." jawab kaptennya itu langsung ditertawai Toni dan Jagat serta dua orang lainnya.
Mobil berbelok ke arah pintu masuk bandara dan mulai menyesuaikan posisinya untuk parkir.
"Silahkan berbaris teratur, jangan sampai ada yang tertinggal...." pinya dokter Alteja sang pimpinan, seorang anggota militer yang ikut dalam penerbangan turut serta demi mengawal tim nakes ini dan bertemu dengan pimpinan militer negri disini, perwakilan pasukan garuda.
"Dok, kita sudah ditunggu tim..." letnan Rafi mempersilahkan dokter Alteja yang diikuti lainnya seperti kawanan bebek ke arah gerbang kedatangan.
Hoammm! "Ngantuk parah, pegel juga!" keluh perawat Yuan.
"Seriusan ini masih malem?" tanya Nisa tak percaya mendongakan pandangannya ke langit diangguki Yuan, "iya Ca. Kongo beda 6 jam sama kita, di jam gue jam 9 lebih 15 menit, berarti sekarang masih jam setengah 4 kurang."
"Serius, siapa yang mau jemput jam segini ih..."
Aza yang berjalan bersama para perawat ini tersenyum, "bapak-bapak tentara itu." tunjuknya ke arah dimana letnan Rafi dan dokter Alteja sudah bertemu dengan para baret biru di depan sana.
"Kapt!" ia menghormat pada pasukan yang terdiri 6 orang personel terkhusus pada satu orang paling depan.
Suara menderu roda koper digusur menggiling lantai bandara dengan cepat ketika para empunya dipaksa cepat.
"Ayo cepat! Cepat! Cepat!"
Aza sedikit berlarian karenanya.
"Yokkk ayokkk, olahraga biar mata seger!" cibir Yuan berseru membuat Nisa, Aza dan Hera tertawa, "saravvv ih.." umpat Hera.
"Selamat datang dan selamat pagi waktu setempat!"
"Pagi..." jawab mereka.
"Saya kapten Yuda, yang bertugas mengawal saudara-saudari tenaga kesehatan sampai di camp, bersama regu saya."
"Ya...." riuh rendah mereka. Aza tak begitu memperhatikan, namun Jagat...pandangannya ia edarkan untuk melihat satu persatu wajah dari para tenaga kesehatan yang harus ia kawal ini, sampai pandangannya tertumbuk pada Aza yang justru fokus memperhatikan kapten Yuda.
Alisnya mengernyit dengan bibir yang tersungging tipis, tak percaya jika ia bertemu kembali dengan gadis yang tempo hari ia temui di store Reiger, senyumnya bertambah melebar geli meskipun ia tahan ketika melihat Aza yang menguap lebar tanpa bisa ditahan sampai gadis itu menggelengkan kepalanya, sungguh menggemaskan.
Aza awalnya memperhatikan kapten Yuda berbicara, padahal nada bicaranya tegas, lugas namun tak tau... matanya seperti sudah tak bisa lagi diajak kompromi, benar-benar lelah dan mengantuk. Hingga Aza memilih mengedarkan pandangannya, mengabsen satu persatu lelaki berseragam loreng di depannya.
Alisnya menukik keriting manakala melihat Jagat setengah menyipitkan pandangan.
*J. Adyaksa*....
Ia merotasi bola matanya ke atas, *kaya ngga asing, siapa ya? Ketemu dimana*? Efek otak dan badan yang lelah, Aza jadi amnesia dadakan gini.
"Silahkan naik ke truk, untuk selanjutnya saudara nakes sekalian menempuh perjalanan ke camp."
Barisan yang amburadul itu bubar jalan mengikuti langkah besar para bapak tentara ini, termasuk Aza.
"Heran deh, langkah om-om tentara besar-besar...ngga sakit selang kangan apa ya?!" bisik Yuan memancing tawa Nisa, Aza dan Hera lagi.
Mereka naik satu persatu mulai dari dokter Alteja, dokter Maya, dan dokter Dimas. Selanjutnya para perawat hingga tiba giliran Aza yang naik.
Seseorang mengulurkan tangannya, "saya bantu..." ucap Jagat diangguki Aza, "makasih."
Aza menatapnya sedikit lama begitupun Jagat, dengan harapan Aza mengingatnya, namun nihil...Aza memilih langsung duduk, yang benar saja....apakah gadis ini sesombong itu? Atau karena efek suasana gelap plus kulitnya yang gelap juga.
.
.
.
.
lanjut