Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2_Pulau Albrataz
Badan Anz berbalik, menghadap belakang, dan melihat beberapa orang terlihat sibuk dengan hp mereka sendiri yang mereka angkat-angkat keatas, sibuk berjalan kesana kemari mencari posisi untuk mendapatkan kestabilan jaringan. Kerap kali mereka sibuk berteriak-teriak lantang “kemana menghilang? Ayolah kembali. Hilang. Ayolah dapat, dapat lagi.”
Anz, duduk tenang dan memperhatikan orang-orang yang berada di sekelilingnya, satupun dari orang-orang itu tidak ada yang Anz kenali kecuali panitia yang mengantarnya tadi.
Anz melangkahkan kaki mendekati pinggiran tebing, duduk tenang dan kakinya ia julurkan ke bawah sana, menghayun-hayunkan perlahan dan bergantian. Matanya sibuk memandang hamparan ombak besar yang menghantam tebing bergantian.
Terik matahari, menyilaukan mata namun cuaca dingin seakan menusuk kulit mereka. Api kecil mulai menyala suara gitaran dan nyanyian dari beberapa peserta dan panitia dan suara deruan suara hantaman ombak terdengar saling bersahutan.
Suara dentingan perpaduan antara balok dengan bakul besi yang saling terhantam, semua pandangan teralih pada asal suara. Terdiam, mendengarkan dan menyimak yang mereka lakukan semua “dalam hitungan ketiga, para peserta pendidikan mengatur barisan lima saf, tiga baris, DIMULAI.”
Keberadaan para peserta saat itu tidak menentu, langsung saja berlari saat mendengar suara hitungan sudah dimulai.
Barisan atas perintahnya telah tercipta, semua peserta telah berada dalam barisan semua. Dari kejauhan terdengar suara deruan mesin mobil yang mendekat, panitia yang mengatur barisan, melirik kearah belakangnya, melihat rekannya yang lainnya “dari daerah mana itu?” Sedangkan para peserta, tidak ada yang berani menoleh langsung kearah sumber suara, mereka hanya melirik sekilas.
“Daerah Braband ndan,” jawab salah satu panitia.
Mobil tersebut berhenti di parkiran yang telah dipersiapkan. Dua orang laki-laki turun dari mobil tersebut, satu panitia dan satunya lagi peserta.
Anz hanya bisa melirik, menarik sedikit sudut bibirnya keatas sekilas, ketika sudah melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.
“Siap izin, maaf ndan terlambat. Kami dihadang gajah betengkar,” tutur panitia yang baru sampai itu.”
“Alasan diterima, dan kalian berdua push up seratus kali.”
“Siap,” jawab keduanya serentak dan segera mengambil tindakan atas perintah. Cucuran keringat membasahi tubuh mereka berdua, satu panitia dan satu peserta itu masih dalam posisi mengambang, naik dan turun, menghadap tanah dengan bertopang telapak tangan dan ujung jari kaki mereka. Sampai hitungan seratus mereka ucapkan bersama, “izin, siap perintah push up telah terlaksakan. Izin berdiri,” tutur mereka lagi serentak.
“Berdiri.”
Panitia dan peserta yang terlambat berdiri kembali, yang kemudian panitia masuk ke dalam barisan duduk santai dan tenang di antara panitia sedangkan pesertanya masuk dalam barisan para peserta.
Peserta yang terlambat bernama Marcell Albertoprazz menatap mata Anz singkat dan bibirnya yang tersenyum simpul sekilas dan segera mengambil posisi masuk ke dalam barisan.
Panitia yang merupakan ketua dari para panitia yang ikut serta melatih para peserta berdiri tenang dan gagah memberi arahan pada para peserta setelah sebelumnya memperkenalkan dirinya. “Sebagian dari kalian pasti bertanya-tanya tempat lokasi pendidikan kalian. Mungkin pertanyaan kalian lokasi keberadaan kita sekarang adalah ini tempat piknik hiburan atau bukan?” Menatap Anz dan Anz langsung menunduk menatap tanah. “Disinilah lokasi pendidikan yang akan kalian jalani, tidak ada satupun dari kalian bisa pulang sebelum tugas kalian selesai walaupun tubuh kalian menjadi jasad.”
Seluruh para peserta berdiri gagah, tangan mereka yang memegang pergelangan tangan, di bagian punggung mereka masing-masing, namun Anz segera berubah posisi, berdiri tegap, melepas pautan tangan, dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi “izin pelatih, ketentuan peraturan yang Anda jabarkan tidak sesuai dengan aturan dalam formasi yang kami daftarkan.”
Kan sudah kuperingatkan dari awal sayang, tempat ini berbahaya, monolog Albert melirik Anz sekilas yang berdiri tepat disebelahnya.
Terkekeh pelan sebelum menjawab “benar. Anda sangat benar nona Anzela Rasvatham perwakilan Franzkot. Dalam surat edaran sudah tercantum lokasi penempatan kalian bertugas dan mayoritas masyarakatnya seperti apa! Seharusnya kalian cari tahu terlebih dahulu informasi mendetailnya.”
Anz dan beberapa peserta lainnya berdecak kesal, merasa tertipu dan beberapa peserta yang belum mengerti hanya bisa terdiam dalam kebingungan mereka sendiri.
“Tidak usah merasa tertipu,” tutur komandan panitia dengan pandangan matanya menatap satu per satu para peserta “kalian ini bukan manusia bodoh hanya saja ceroboh.”
Tarikan dan hembusan napas panjang terdengar dari beberapa peserta dan tatapan mata tajam dari semua peserta tertuju pada komandan panitia itu.
“Lokasi penempatan kalian nanti disana,” menunjuk kearah hamparan lautan luas.
“Di mana? Masyarakat yang Anda maksudkan, ikan?” Tutur tanya Anz sudah tidak lagi bersikap bahasa formal.
“Kurang a ja r kau ya, gak sopan,” menunjuk dengan jari telunjuk dan wajahnya terlihat memerah dan suara hembusan napas terdengar kasar, namun Anz malah menunjukan raut wajah menantang, menatap tajam bagaikan musuh. “Anz kau maju, gunakan teropong itu dan lihat kearah yang saya tunjuk tadi, lihat apa yang ada di sana.”
Anz maju dan menggunakan teropong besar yang telah dipasang oleh salah satu panitia. “Pulau,” lirih Anz.
“Iya pulau,” jawab komandan panitia itu, setelah mendengar penuturan lirihan Anz. “Sebagian dari kalian yang bertahan dari pendidikan disini akan bertugas disana sebagai penjaga tahanan dan membimbing masyarakat disana. Nama pulau itu adalah pulau Albrataz, mayoritas masyarakat di sana adalah kriminal. Mereka manusia ketinggalan zaman, pengetahuan minim dan otak dangkal alias bodoh.”
Anz yang telah kembali kedalam barisan, mengangkat tangan lagi “jika konsekuensi yang kami dapatkan adalah kematian dan keberhasilan kami adalah kemenangan dan kesadaran mereka, lantas apa yang akan kami dapatkan?”
“Kepuasan.”
Albert, Anz dan seluruh peserta lainnya menatap bingung pada komandan panitia itu “kepuasan adalah kesenangan hati. Jika kalian telah selesai dengan misi kalian, lantas apa kalian dapatkan selain kepuasan dan kesenangan di hati,” tutur komandan itu akhirnya.
“Bagaimana kami medapatkan kepuasan, jika kami lebih dulu di suguhkan kekecewaan,” tutur Albert membantu Anz dalam menjawab.
“Itu terserah kalian, mau memakan kekecewaan atau kesenangan. Intinya kalian tidak akan bisa kembali sebelum menyelesaikan misi, jika mati itu nasib kalian, jika hidup berarti keberuntungan menyertai kalian. Hiduplah sebenar-benarnya hidup bukan hanya sekedar hidup. Gunakan otak kalian, berpikirlah caranya bertahan hidup, jika tidak mau hidup silahkan mati,” melihat jam tangan arloji yang melingkar di tangannnya “untuk sekarang silahkan istirahat, pendidikan dimulai besok. Perhatian seluruhnya, bubar barisan jalan.”
Para peserta membubarkan diri, beralih ke tenda masing-masing, dalam satu tenda hanya dua orang peserta. Terserah para peserta menentukan pasangannya sendiri.
Albert dan Anz memilih isitirahat dalam satu tenda yang sama.