Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
“Horeeeee, Om datang…!” Andri berlari dan bersorak kegirangan. Bocah itu terus berlari hingga sampai di hadapan pria yang telah berjongkok menyambutnya.
“Mas Adam,,,?” gumam Ina.
“Halo, jagoan.” Sambut pria yang memang adalah Adam, kakaknya. Keduanya pria beda generasi itu pun tertawa dan berpelukan.
Ina tersenyum melihatnya. Merasa senang, meskipun ini baru untuk kedua kalinya mereka bertemu, tetapi kakak dan anaknya sudah begitu akrab. Mungkin karena di pertemuan pertama, kakaknya itu yang selalu mendekat pada Andri. Mengajak bicara, bercerita ini itu, hingga Andri pun merasa nyaman bersamanya.
Sesuatu yang tidak pernah dia lihat jika Andri bersama ayahnya. Karena Ranu lebih suka dengan dunianya sendiri, main game. Kini bersama kakaknya, Andri seperti menemukan figur seorang ayah.
Senyum di bibir Ina perlahan menghilang, ketika dalam hatinya muncul satu pertanyaan, “Ada apa Mas Adam kesini? Ini bukan kebetulan, kan?” Seingat Ina, dulu meskipun dia sering berada di rumah bibinya, kakaknya itu tidak pernah muncul di sana.
“Ya, Allah,,, Adam…!” Pekik bu Hindun yang baru saja keluar karena mendengar ramai suara Andri. Bergegas dia menghampiri keponakan laki-lakinya.
“Assalamualaikum, Bi.” Adam mencium punggung tangan Bi Hindun.
“Waalaikumsalam,,” jawab Bi Hindun. Wanita itu menepuk pundak Adam sambil tersenyum. “Ina, sini!” Menoleh ke arah Ina yang masih diam di tempat, seraya menggerakkan tangannya agar Ina datang mendekat. “Kok malah bengong di situ!” serunya.
Ina tersentak dari lamunannya. Segera saja wanita itu mencuci tangan, mematikan keran yang ditinggal begitu saja oleh Andri, lalu mengeringkan tangan dengan bagian belakang dasternya, sebelum kemudian bergabung bersama mereka.
“Mas,,,” diciumnya punggung tangan Kakaknya.
Adam membawa adiknya dalam pelukan.
“Ayo masuk, masa ngobrol di luar gini!” Bu Hindun mengajak mereka masuk ke dalam.
***
“Kenapa ada masalah seperti ini kamu pendam seorang diri. Apakah kami yang sebagai keluargamu ini sama sekali tidak terlihat olehmu?” Adam menatap sendu ke arah adiknya yang terdiam menunduk. Terlihat olehnya sang adik yang sedang memilin jemarinya sendiri.
Tadi pagi setelah mendengar bahwa keponakannya itu telah diceraikan oleh suaminya, Bu Hindun memang diam-diam menghubungi Adam. Bukan dia keberatan menampung Ina dan Andri di rumahnya, tetapi dia merasa bahwa keluarga kandung Ina harus mengetahui hal tersebut. Apalagi dia melihat kalau Ina sepertinya tidak berani untuk kembali pada keluarganya.
“Mas datang untuk menjemputmu. Kita pulang ke rumah. Mama dan Papa pasti senang kamu kembali.”
Ina mendongak. Ada rasa takut dalam hatinya. Tetapi akhirnya dia menangguk juga. Mungkin memang saatnya dia menemui keluarganya. Selama ini rasa takutnya karena telah mengecewakan mereka, membuatnya tak berani untuk menunjukkan diri. Hingga dia pun belum meminta maaf dengan benar.
“Andri mau tidak pulang ke rumah Oma dan Opa?” Adam menoleh ke arah keponakannya.
Andri yang pernah mendengar cerita dari Om Adam tentang opa dan Omanya, ingin mengangguk setuju. Akan tetapi tidak berani mengambil keputusan. Dia pun menoleh ke arah ibunya dengan wajah penuh harap. Anak itu benar-benar tidak mau jika harus pulang kembali ke rumah ayahnya.
“Tapi bagaimana dengan sekolah Andri, Mas?” tanya Ina masih ragu untuk mengambil keputusan.
“Sudah, jangan pikirkan itu. Biarkan nanti Adnan saja yang mengurus kepindahan Andri dari sekolah.” Bu Hindun yang mengerti kegamangan Ina memberikan solusi.
“Baiklah kalau begitu, sana ganti baju kita pulang sekarang. Tidak usah membawa apapun, biar nanti kakak yang siapkan keperluan Kalian di sana,” ucap Adam.
“Yeeeaaah.. Kita ke rumah Opa…!” Andri bersorak senang.
Ina segera pergi ke kamarnya untuk mengambil surat-surat pentingnya. Beberapa saat kemudian wanita itu telah kembali dengan pakaian yang berbeda, tidak lagi menggunakan daster.
“Aku bawa Ina dan Andri bersamaku ya, Bi. Terima kasih telah membantu mereka selama ini.” Adam mencium punggung tangan bibinya sebelum dia masuk ke dalam mobil.
“Kamu ini ngomong apa sih?” Bu Hindun tidak suka mendengar ucapan Adam. Baginya Ina sudah sama seperti Adnan, anaknya.
Ina memeluk Bi Hindun. Air Matanya tak bisa dibendung . Sedih dan bahagia bercampur. “Aku pergi, Bi. Terima kasih atas semua kebaikan Bibi selama ini sama aku dan Andri,” ucap Ina sambil menyeka air matanya.
“Ngomong gitu lagi, Bibi pukul Kamu!” Bu Hindun mengusap pipi Ina yang basah oleh air mata.
“Salam untuk Paman dan Adnan ya, Bi. Sama nanti kalau Mas Ranu ke sini ngantar surat cerai, tolong Bibi terima dan simpan saja. Biar aku yang ke sini ambil.”
***
Pagi hari di rumah Bu Rahayu
“Jadi kepulangan kita ke kota ditunda, Mas? Kamu masih harus ngurus surat cerai Kamu dulu, kan?” tanya Siska.
“Untuk apa diurus? Biar saja. Kita gantung saja, gak usah diurus. Biar tuh perempuan setan gak bisa kawin lagi.” Bu Rahayu masih saja selalu merasa geram setiap kali mereka berbicara tentang Ina.
Saat ini mereka memang sedang berada di rumah Bu Rahayu. Siska mengeluh tidak bisa tidur jika di rumah Ranu, karena di sana tidak ada kipas angin. Rumah Ranu memang tidak terlalu jauh dari rumah ibunya, hanya beda RW saja.
“Tapi, Bu. Jika Mas Ranu tidak segera menceraikan Ina itu artinya kami juga tidak akan bisa meresmikan pernikahan kami.” Siska terdengar tidak suka dengan usulan mertuanya.
“Hilihh, yang penting kalian kan sudah menikah walaupun hanya siri. Mengurus surat cerai itu juga pakai biaya, dan itu pasti tidak sedikit. Biar saja Ina yang ngurus surat itu. Biar dia yang keluar biaya.” Bu Rahayu tetap kekeh pada pendiriannya. Tidak mengizinkan Ranu untuk mengurus surat cerai.
Siska merasa kesal karena Ranu hanya menuruti keinginan ibunya. Wanita itu jadi berpikir, Apa yang diucapkan oleh Ina sebelum meninggalkan rumah Ranu kemarin mungkin saja benar. Terbukti hanya untuk mengurus surat cerai saja Ranu dan ibunya merasa enggan.
“Yur, sayuuuurrrr…!”
Bu Rahayu bangkit dari tempat duduknya meninggalkan anak dan menantunya yang masih membahas tentang perceraian. Lebih penting baginya untuk segera mengejar tukang sayur yang selalu mangkal di rumah tetangga sebelah.
“Wahh, Bu Rahayu. Mau masak apa hari ini, Bu?” Seorang tetangga menyapa
“Ah, biasa saja Bu Tutik. Paling sayur asem sama goreng ikan, bikin sambal terasi,” Bu Rahayu memilih-milih sayur yang ingin dia masak.
“Bu Rahayu, kok tadi aku lewat depan rumah Mbak Ina sepi gitu. Biasanya belanja tapi ini tadi gak kelihatan,” seru Bang Mamat si tukang sayur. “Terus aku lihat pagarnya rusak lagi?” tambahnya. “Apa Mbak Ina tidur di sini?”
“Gak usah bicarakan menantu durhaka itu!” Nggak hanya terdengar kesal. “Kalian lihat saja kemarin itu, masak mertuanya lagi repot, ada acara 1000 harian, malah dia nggak nongol untuk bantu-bantu sedikit pun.”
Mereka yang sedang berbelanja di sana saling pandang. Pasalnya mereka semua tahu bagaimana Ina selama ini. Ada acara apapun di rumah Bu Rahayu, selalu Ina yang turun tangan dari awal sampai akhir. Tapi kenapa Bu Rahayu malah berbicara seperti itu?
“Pagar rusak itu karena ulah dia. Dia itu marah karena sudah diceraikan sama Ranu. Makanya dia menghancurkan pagar itu,” lanjut Bu Rahayu.
“Apa Bu? Cerai? Maksudnya Ranu menceraikan Ina?” Bu Kokom mewakili ketidakpercayaan para ibu-ibu yang lain.
“Iyalah diceraikan. Ngapain juga mempertahankan istri seperti itu. Sudah tidak mau masak tidak mau mengurus rumah, Padahal si Ranu itu pergi ke kota, kerja banting tulang untuk menghidupi dia dan anaknya. Dia di rumah malah hanya ongkang-ongkang kaki sama keluyuran saja ke rumah bibinya.” Bu Rahayu memberikan bumbu penyedap untuk ceritanya, menutupi cerita yang sesungguhnya bahwa anaknya telah menikah lagi di kota.
“Sekarang biar di rasa susahnya jadi janda, gak ada yang ngasih uang." Bu Rahayu masih berlagak kesal. "Dan aku akan larang Ranu untuk mengurus surat cerai. Biarkan saja perempuan durhaka itu mengurusnya sendiri. Biar dia kelimpungan cari uang. Biar juga dia gak bisa nikah lagi kalau statusnya digantung. Lagi pula siapa yang akan menikahi perempuan seperti dia.”
Para ibu-ibu yang berbelanja kembali saling pandang tidak percaya. Terutama Bu Tutik yang terdiam dengan tangan terkepal.
padahal belum tentu Ranu mau meresmikan pernikahannya.. pasti alasannya krn sayang duitnya.. 😅😅😅