Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4.
Pagi itu, suasana kantor kembali tenang setelah insiden yang melibatkan Rose. Namun, ketegangan yang tersisa masih terasa. Dylan, yang sedang sibuk dengan dokumen di ruangannya, dikejutkan oleh ketukan di pintu. Sebelum ia sempat menjawab, pintu terbuka, dan ibunya, Ny. Eleanor, masuk dengan langkah anggun.
"Dylan, sayang, kau benar-benar tidak pernah berubah," ujar Ny. Eleanor sambil mengamati ruangan yang tertata rapi. "Selalu sibuk dengan pekerjaan. Tidak heran kau masih sendirian sampai sekarang."
Dylan, yang tidak menyangka ibunya akan datang ke kantor tanpa pemberitahuan, hanya bisa menghela napas. “Ibu, ada apa tiba-tiba ke sini? Ini tempat kerja, bukan rumah.”
Ny. Eleanor melipat tangannya dan menatap Dylan tajam. "Justru itu. Kau sudah hampir 35 tahun, Dylan. Aku lelah menunggu cucu darimu. Setiap kali aku bertanya, jawabanmu selalu sama, 'Belum waktunya.' Kalau begitu, kapan waktunya?"
Dylan menggeleng sambil berusaha menahan senyum kecil. “Ibu, aku sedang sibuk. Lagi pula, soal menikah itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.”
Ny. Eleanor tidak menyerah. Ia melihat ke sekeliling ruangan dan tiba-tiba perhatiannya tertuju pada Rose, yang berjalan melewati pintu kaca menuju mejanya. Wajah Ny. Eleanor berubah cerah.
"Siapa gadis itu?" tanyanya penuh rasa ingin tahu. Sebelum Dylan sempat menjawab, Ny. Eleanor melangkah keluar dari ruangannya menuju Rose.
Rose, yang sedang membereskan dokumen di mejanya, terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang elegan berdiri di depannya. “Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rose sopan.
"Jadi ini kau, ya?" kata Ny. Eleanor dengan senyuman ramah. “Kau bekerja di sini? Oh, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Eleanor, ibunya Dylan.”
Rose tertegun sejenak sebelum menjawab, “Oh, selamat pagi, Bu Eleanor. Saya Rose, salah satu staf di sini. Senang bertemu dengan Anda.”
Dylan yang keluar dari ruangannya tampak sedikit gugup. “Ibu, bisakah kita tidak menginterogasi karyawan saya?”
“Oh, jadi dia karyawanmu?” Ny. Eleanor menatap Dylan dengan tatapan penuh arti. “Dia manis sekali. Kau tidak tertarik padanya, Dylan?”
Rose yang mendengar itu hampir tersedak oleh rasa canggung. “Bu Eleanor, saya hanya karyawan biasa. Pak Dylan atasan saya.”
“Dan apa masalahnya?” Ny. Eleanor menimpali santai. “Cinta bisa tumbuh di mana saja. Kalau tidak, Dylan akan tetap sendiri sampai dia pensiun.”
Dylan memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa malu. “Ibu, cukup. Rose, maafkan ibuku. Dia suka bercanda.”
Namun, Ny. Eleanor tidak main-main. Ia melihat sesuatu pada Rose yang membuatnya merasa gadis itu mungkin adalah sosok yang tepat untuk putranya. Sebelum pergi, ia sempat menggenggam tangan Rose dengan lembut. “Maaf kalau kedatanganku membuatmu tidak nyaman, Rose. Tapi aku berharap kita bisa berbicara lagi lain kali.”
Rose hanya tersenyum sopan, meski dalam hati ia merasa bingung. Setelah Ny. Eleanor pergi, Dylan kembali ke ruangannya dengan Rose mengikutinya membawa beberapa dokumen. Setelah menyerahkan dokumen itu, Rose memberanikan diri bertanya.
“Pak Dylan, ibumu… maksudnya tadi, dia serius?” tanyanya dengan sedikit ragu.
Dylan menatapnya sejenak sebelum menghela napas. “Ibuku terlalu khawatir. Jangan terlalu dipikirkan. Dia hanya ingin aku menikah, dan itu… rumit.”
Rose mengangguk pelan, tidak ingin menekan lebih jauh. Namun, ada sesuatu di tatapan Dylan yang membuat hatinya sedikit berdebar. Mungkinkah perhatian Dylan kepadanya selama ini lebih dari sekadar profesional? Di sisi lain, Rose tidak yakin apa yang ia rasakan sendiri.
Hari itu berlalu dengan pikiran mereka berdua penuh tanda tanya. Namun, satu hal yang pasti, kedatangan Ny. Eleanor telah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat. Entah bagaimana, hubungan mereka yang sebelumnya murni profesional mulai memasuki wilayah yang lebih pribadi. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Hanya waktu yang bisa menjawab.
****
Waktu istirahat siang, suasana kantor terasa lebih sepi dari biasanya. Kebanyakan karyawan pergi keluar untuk makan siang, tapi Rose tetap di mejanya. Ia membuka kotak bekalnya perlahan, memutuskan untuk menikmati makan siangnya sendirian. Sejak kejadian penyekapan oleh Sophie, Lisa, dan Martin, Rose merasa lebih nyaman menghindari keramaian. Meskipun ketiga pelaku telah dipecat, rasa takut dan trauma itu masih sesekali menghantui pikirannya.
Rose sedang menikmati makanannya ketika pintu kaca ruangan terbuka. Dylan masuk, memegang secangkir kopi di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Rose masih di meja.
“Rose, kenapa tidak keluar makan siang seperti yang lain?” tanyanya, menghampiri mejanya.
Rose tersenyum tipis. “Saya membawa bekal, Pak. Lagipula, suasana kantor lebih tenang saat istirahat.”
Dylan memiringkan kepala, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kau jadi lebih sering menghindari keramaian sejak kejadian itu, ya?” Nada suaranya rendah, hampir seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
Rose terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Mungkin iya. Saya hanya merasa lebih aman begini.”
Dylan duduk di kursi kosong di dekat meja Rose, meletakkan cangkir kopinya. “Rose, kau tahu aku sudah memastikan keamanan kantor diperketat, kan? Tidak akan ada lagi hal seperti itu terjadi.”
Rose mengangguk lagi, tapi tidak menjawab. Dalam hati, ia tahu Dylan benar, tapi trauma itu sulit hilang begitu saja.
“Kalau kau merasa tidak nyaman atau ada yang mengganggu, kau bisa langsung memberitahuku,” tambah Dylan. “Aku tidak ingin melihat kau terus merasa seperti ini.”
Rose menatapnya sekilas, ada rasa terima kasih di matanya. “Terima kasih, Pak. Anda sudah banyak membantu.”
Dylan menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Tapi aku masih punya satu masalah.”
Rose mengerutkan kening. “Masalah apa?”
“Ibuku.” Dylan mengusap tengkuknya dengan canggung. “Sejak dia datang ke kantor, dia terus bertanya tentangmu. Dia bahkan meminta aku mengundangnya untuk makan malam keluarga.”
Rose terkejut, hampir tersedak makanannya. “Makan malam keluarga? Saya?”
“Iya,” jawab Dylan dengan nada pasrah. “Aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku tidak bisa menolak ibuku. Dia sangat keras kepala.”
Rose menatap Dylan dengan ragu. “Tapi… kenapa saya? Bukankah Anda bisa membawa orang lain?”
Dylan tertawa kecil. “Dia bilang, dari semua orang yang pernah dia temui, kau yang paling membuatnya terkesan. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.”
Rose terdiam. Ia bingung harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa tidak enak menolak permintaan Dylan. Tapi di sisi lain, ia juga merasa canggung untuk terlibat lebih jauh dalam kehidupan pribadinya.
“Kalau kau tidak mau, aku mengerti,” kata Dylan dengan nada yang lebih lembut. “Aku tidak ingin memaksamu.”
Rose menunduk sejenak, berpikir keras. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi hanya kali ini saja.”
Wajah Dylan tampak lega. “Terima kasih, Rose. Jangan khawatir, aku akan memastikan kau merasa nyaman.”
Rose hanya bisa berharap semuanya akan berjalan lancar. Ia tidak tahu apa yang sedang menunggunya, tapi ia merasa bahwa keputusan ini mungkin akan mengubah banyak hal dalam hidupnya—dan mungkin juga hidup Dylan.