Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Keakraban
Malam itu, Universitas Muhammadiyah Cilacap penuh dengan gelak tawa dan sorakan riang mahasiswa baru yang menghadiri acara Malam Keakraban yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Aula kampus disulap menjadi tempat berkumpul yang hangat, dengan dekorasi sederhana namun tetap menambah suasana akrab. Aku berjalan memasuki ruangan, sedikit gugup tapi juga penasaran, siap untuk mengenal teman-teman baru.
Dinda, yang selalu tampil anggun dengan hijabnya, duduk di meja tidak jauh dariku. Senyum ramahnya membuatnya mudah didekati. Saat permainan dimulai, aku melihat Dinda tertawa kecil, menikmati suasana. Sifatnya yang santai membuatnya cepat akrab dengan siapa saja.
Setelah beberapa sesi permainan yang seru dan mengundang tawa, tiba waktunya makan malam. Kami berbaris mengambil nasi kotak, lalu duduk di meja-meja panjang yang telah disediakan. Aku memilih tempat duduk yang kebetulan dekat dengan Dinda. Kami berbincang ringan sambil menikmati makanan, tetapi suasana berubah saat seorang pria mendekati meja kami.
“Dinda,” sapa pria itu dengan suara hangat. Dia adalah Daniel, seorang senior yang sering kudengar namanya dari teman-teman. Posturnya tinggi, dan wajahnya tampak akrab.
Dinda tersenyum lebar. “Daniel! Oh iya, kenalin. Ini teman sekelasku, namanya Mas Alan,” katanya sambil menoleh padaku.
Aku mengangguk sopan dan menjulurkan tangan. “Halo, Mas Daniel. Senang bisa bertemu.”
Daniel memandangku sekilas sebelum menjabat tanganku dengan cengkeraman yang cukup kuat. Tatapannya tajam, meskipun dia mencoba tersenyum. “Halo, Mas Alan. Kamu dekat sama Dinda, ya?”
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang langsung to the point. “Kami sering ngobrol, Mas. Dinda teman yang baik.”
“Iya, Dinda memang baik. Kamu suka ngobrol apa sama dia?” tanya Daniel lagi, seolah ingin menguji.
Dinda tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Daniel, jangan gitu dong. Mas Alan ini teman yang asyik. Kita sering diskusi soal tugas kuliah dan... hal-hal lainnya.”
Daniel hanya mengangguk pelan, tatapannya masih penuh evaluasi. “Bagus kalau gitu. Tapi kamu hati-hati ya, Mas Alan. Dinda itu teman yang spesial. Jangan sampai ada yang bikin dia nggak nyaman.”
Aku menelan ludah, merasa suasana sedikit canggung. Dinda tampak menyadari ketegangan itu dan segera menimpali, “Daniel, nggak usah khawatir. Mas Alan itu orangnya baik kok. Dia malah sering bantuin aku kalau ada tugas yang susah.”
Daniel tersenyum kecil, meskipun terlihat sedikit dipaksakan. “Baiklah. Kalau gitu, aku percaya sama kamu, Din. Tapi kamu juga harus tahu siapa yang pantas jadi teman dekatmu.”
Aku hanya bisa diam, mencoba membaca maksud dari kata-katanya. Dinda tertawa lagi, kali ini terdengar lebih canggung. “Daniel, jangan terlalu overprotective gitu, ah. Aku sudah besar sekarang.”
“Iya, iya. Aku cuma bilang aja,” jawab Daniel akhirnya, sedikit melunak.
Setelah percakapan itu, Daniel kembali bercanda ringan dengan Dinda, tapi aku merasa ada jarak yang mulai terbentuk antara aku dan Daniel. Dia sepertinya tidak terlalu suka padaku, meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung. Tatapannya yang penuh waspada membuatku sadar bahwa Daniel masih menganggap dirinya sebagai pelindung Dinda, seperti ketika mereka kecil dulu.
Setelah makan malam, acara dilanjutkan dengan sesi refleksi ringan. Malam semakin larut, dan udara terasa dingin. Saat kegiatan berakhir, aku kembali ke kamar, mencoba tidur. Namun, pikiranku penuh dengan berbagai hal, terutama tentang Dinda dan percakapannya dengan Daniel. Ditambah lagi, bayangan Salma, mantan kekasihku, masih menghantui benakku. Aku belum sepenuhnya pulih dari kegagalan hubungan itu, dan itu membuatku ragu untuk membuka hati.
Merasa gelisah, aku keluar dari kamar dan menuju pantry kecil untuk membuat secangkir kopi. Dengan cangkir di tangan, aku berjalan ke balkon kampus, mencari udara segar. Langit malam yang bertabur bintang memberikan sedikit ketenangan.
Saat aku duduk menikmati kopi, langkah kaki terdengar mendekat. Aku menoleh dan melihat Daniel muncul, membawa secangkir teh. Dia tersenyum tipis sebelum duduk di sebelahku.
“Nggak bisa tidur juga?” tanyanya santai.
Aku mengangguk. “Banyak pikiran,” jawabku singkat.
Kami terdiam sejenak, menikmati suara angin malam yang lembut. Namun, Daniel memecah keheningan dengan pertanyaan yang langsung menembak inti pikiranku.
“Apa hubunganmu dengan Dinda?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang blak-blakan. “Kami dekat, sering ngobrol. Tapi nggak ada hubungan khusus,” jawabku jujur.
Daniel mengangguk pelan, tetapi tatapannya tetap tajam. “Akhir-akhir ini, dia sering cerita tentang kamu ke aku,” katanya. “Dia kelihatan nyaman sama kamu.”
Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons. Di satu sisi, aku senang mendengar itu. Tapi di sisi lain, aku tahu aku belum siap untuk hubungan baru. Daniel tampak membaca pikiranku.
“Aku cuma mau bilang, Dinda itu perempuan yang baik. Aku tahu karena aku sudah kenal dia sejak kecil. Kalau kamu memang serius, aku nggak masalah. Tapi kalau cuma mau main-main, lebih baik jangan dekati dia,” katanya tegas.
Kata-katanya seperti sebuah peringatan, tapi aku tahu dia melakukannya karena peduli pada Dinda. Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku juga nggak mau menyakiti dia. Tapi hubungan Kamu memang sebatas teman tidak lebih ,” jawabku.
Mendengar itu, Daniel tampak lebih tenang. Dia menepuk pundakku sebelum berdiri. “Bagus kalau begitu. Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan,” katanya sebelum pergi.
Aku kembali duduk sendiri, memandangi langit malam. Perkataan Daniel membuatku merenung. Aku tahu Dinda adalah perempuan yang istimewa, tetapi perasaanku terhadapnya tidak pernah lebih dari sekadar teman. Di hatiku, Salma masih menjadi satu-satunya yang sulit tergantikan. Kenangan bersamanya terlalu dalam, dan aku belum siap untuk memberikan ruang bagi orang lain.
Kedekatanku dengan Dinda hanyalah sebatas teman. Aku menikmati obrolan kami dan cara dia membuat suasana terasa hangat, tapi itu tidak berarti aku memiliki perasaan yang sama seperti yang Daniel pikirkan. Malam itu, aku bertekad untuk menjaga hubungan ini tetap pada tempatnya — persahabatan yang tulus tanpa harapan lebih.
Keesokan paginya, kami semua pergi ke pantai. Udara segar dan suara ombak membuat suasana hati menjadi lebih baik. Dinda tampak ceria seperti biasanya, berjalan di tepi pantai sambil memungut kerang-kerang kecil. Aku duduk di atas pasir, menikmati pemandangan. Tak lama, Dinda mendekat dan duduk di sebelahku.
“Mas, semalam aku lihat Mas ngobrol sama Daniel di balkon. Ngobrolin apa sih?” tanyanya sambil tersenyum penuh rasa ingin tahu.
Aku menatapnya, mencoba menahan tawa. “Ihhh, kamu kepo banget sih. Itu obrolan laki-laki, nggak perlu kamu tahu.”
Dinda mendengus kecil, pura-pura kesal. “Halah, pasti ngomongin Aku, kan?”
Aku tertawa pelan. “Mungkin iya, mungkin nggak. Yang jelas, nggak ada yang perlu Kamu khawatirin. Daniel cuma... memastikan sesuatu.”
Dinda menatapku curiga, tetapi akhirnya mengangguk. “Ya sudah, aku percaya sama Mas. Tapi jangan ngomongin yang aneh-aneh soal Aku, ya.”
“Nggak kok,” jawabku sambil tersenyum. “Tenang aja, semuanya baik-baik saja.”
Kami kembali menikmati suasana pantai. Meski pembicaraan itu sederhana, aku merasa Dinda mulai mempercayai apa pun yang aku putuskan. Pagi itu terasa damai, seolah semua kecanggungan malam sebelumnya telah hilang tertiup angin laut.