Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andre
Suara motor trail terdengar nyaring kala langit di ufuk barat tampak kemerahan. Bagi generasi sekarang disebutnya sebagai senja, syarat akan keindahan dan romantisme masa muda. Namun bagi orang-orang jaman dulu menyebutnya sebagai surup, pergantian siang dan malam. Surup adalah waktu yang dihindari bahkan lebih kental aura mistisnya daripada tengah malam.
Warna jingga di langit disebut sebagai candik olo dalam makna kiasan berarti menjelang runtuh atau bubarnya sesuatu. Maka jaman dulu, saat surup datang semua anak yang sedang bermain diharuskan untuk pulang. Dan semua pintu rumah selalu ditutup rapat.
Andre merupakan generasi sekarang yang masih berpedoman pada cerita-cerita orangtua dulu. Maka saat senja tiba, petugas berwajah tampan itu terlihat tergesa-gesa memasuki rumahnya. Dia segera menutup pintu pagar besi dan buru-buru melepas sepatu di teras depan.
Rumah Andre dua lantai bergaya minimalis dibangun di atas lahan pinggiran kota. Dari luar tampak kurang terawat dengan cat dinding retak bahkan terkelupas di beberapa bagian. Andre bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh seorang perempuan tua yang duduk di kursi roda.
"Bunda sendirian?" tanya Andre lembut. Perempuan bernama Nurma itu menggeleng sambil tersenyum.
"Bi Irah ada di belakang, merebus air untukmu. Bunda tahu kamu segera pulang," jawab Nurma.
"Andre mandi pakai air dingin saja nggak apa-apa Bunda." Andre berjongkok di hadapan Bundanya. Namun perempuan itu tiba-tiba saja terlihat kesal. Wajahnya memerah.
"Bapakmu dulu selalu mandi air hangat saat pulang kerja!" bentak Nurma dengan suara parau. Andre tampak tenang. Tidak sedikitpun dia terlihat terkejut, meski Bundanya itu bertingkah aneh.
Setelah membentak, Nurma kemudian menangis. Telapak tangan kanannya diletakkan di pipi Andre.
"Tapi memang kamu ndak boleh meniru Bapakmu, Nak. Laki-laki damput itu tidak pantas ditiru oleh putraku yang rupawan. Hi hi hi." Tawa Nurma pecah. Andre menghela napas panjang.
"Andre mau ke belakang dulu ya Bunda," ucap Andre sembari beranjak pergi. Sudut matanya tampak berair.
Andre kembali mengingat kejadian yang sudah berlalu. Delapan belas tahun silam, Bapaknya tiba-tiba pamit pergi dari rumah. Andre yang belum matang secara pola pikir saat itu tidak terlalu mengerti apa yang membuat perpisahan terjadi pada orangtuanya.
Sejak hari itu, Sang Bunda mulai kehilangan akal sehatnya. Kadang tertawa, setelah itu menangis, seringkali juga berbicara sendirian. Andre kecil tumbuh tanpa figur seorang Bapak. Apalagi dia juga melihat sosok Bunda yang awalnya lemah lembut berubah menjadi sosok temperamen yang tak ragu menghardiknya. Masih ada sedikit keberuntungan pada nasib Andre yang memiliki seorang kakek kaya raya hingga bisa memberikan pendidikan yang layak untuk cucunya.
Perpisahan orangtua nyatanya membuat Andre ragu mengambil langkah untuk berumahtangga. Seperti yang dikatakan Tabah, Andre sangat populer. Bukan hanya di lingkungan kerja tapi juga masyarakat luas. Namun tak ada satupun cinta seorang gadis yang diterima olehnya.
"Mas Andre?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan Andre. Bi Irah, asisten rumah tangga yang merawat Nurma tampak heran melihat Andre yang mematung di depan dispenser. Sedangkan air dalam gelas di tangan Andre sudah meluber tumpah ke lantai.
"Waduh, maaf Bi. Lantainya jadi basah. Padahal pasti Bibi baru saja membersihkannya," ujar Andre buru-buru melepaskan tangannya dari tombol dispenser. Dia benar-benar terlihat merasa bersalah.
"Ndak pa pa Mas. Sudah tugas Bibi untuk beberes. Masalahnya saya khawatir pada Mas Andre. Melamun sampai segitunya," sambung Bi Irah meletakkan kain lap di lantai bawah dispenser.
"Biasa Bi, lagi banyak kerjaan aja," ucap Andre sambil tersenyum. Namun Bi Irah menyadari senyuman Andre menutupi kebohongan. Perempuan berbadan gemuk itu sudah sangat hafal dengan sosok Andre. Dia sudah mengabdi pada keluarga Andre sejak Nurma mengalami gangguan kejiwaan. Kakek Andre lah yang dulu membawa Bi Irah ke rumah. Bi Irah juga lah yang merawat kakek Andre kala sakit jantung hingga akhirnya meninggal dunia. Dan kini setiap kali dia melihat Andre, bola mata berbinar itu mengingatkan pada sosok kakek yang penuh kebijaksanaan.
"Mas Andre tidak perlu cemas. Menurut Bibi, Bunda Mas Andre semakin hari kian membaik kondisinya. Mungkin karena selalu melihat Mas Andre yang sudah menjadi seorang petugas gagah, cerdas, dan bertanggungjawab. Bagaimanapun orangtua pasti merasa bangga dengan pencapaian anaknya," ucap Bi Irah dengan bola mata berair.
Andre tersenyum getir. Dalam lubuk hatinya dia sangat berharap kalimat-kalimat yang terlontar dari Bi Irah, suatu saat nanti Bundanya yang akan menyampaikan.
"Aku mau mandi dulu Bi. Kata Bunda Bi Irah nyiapin air hangat untukku. Lain kali ndak usah ya Bi. Air dingin lebih nyaman dan menyegarkan," ucap Andre mengalihkan pembicaraan.
"Iya Mas, Bibi mengerti," jawab Bi Irah sembari memandangi pundak Andre yang bidang. Bagi Bi Irah Andre seperti anak sendiri. Pertumbuhan bocah dari umur sekitar sepuluh tahun, hingga kini sudah dewasa tak pernah luput dari pengawasannya.
Andre melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Melepaskan semua pakaian kemudian berendam di bak karet khusus yang dibelinya di online shop. Kalung dengan liontin batu akik masih menempel di leher. Barulah kemudian Andre menyadari liontin akiknya tampak memiliki retakan tepat di bagian tengah.
Semoga bukan pertanda buruk, batin Andre. Pikirannya kemudian beralih pada sosok perempuan asing yang berada di dekat mayat dalam villa. Andre mengangkat lengan kanan dan menciumnya. Ternyata aroma perempuan asing masih menempel kuat disana.
Wangi bunga melati, pikir Andre. Terbayang kembali wajah cantik putih bersih dengan pipi bersemu merah persis seperti buah leci. Dada Andre terasa berdebar. Apalagi saat angannya mulai mengarah pada lamunan kotor. Andre sudah melihat seluruh bagian tubuh perempuan asing itu.
"Cik, bener-bener mulus," gumam Andre dengan pipi memerah. Dia membenamkan wajahnya ke dalam air. Berharap pikiran kotornya segera lenyap. Sedangkan bagian tubuh bawahnya mulai mengeras.
Di ruang televisi, Nurma duduk di kursi roda memandangi layar 36 inch yang memutar lagu bingkai nostalgia. Sesekali bibir pucatnya ikut berdendang lirih. Bi Irah berjalan mendekat, kemudian menyentuh lembut lengan Nurma.
"Bibi keluar sebentar dulu ya Nyonya. Mau ke warung depan beli kecap. Soalnya Bibi masak bakso kesukaan Mas Andre," ucap Bi Irah.
"Iya. Kalau Bibi ketemu Bapaknya Andre katakan padanya ndak usah pulang. Aku iso urip dewe!" sahut Nurma sedikit membentak. Bi Irah hanya mengangguk mengiyakan.
Setelah Bi Irah pergi, Nurma kembali berdendang. Kali ini dia juga bertepuk tangan riang. Angin bertiup dari luar bersama bayangan sosok perempuan yang berjalan mendekat. Nurma menoleh, menatap sesuatu yang berdiri di sampingnya.
"Kamu siapa? Teman Andre?" tanya Nurma dengan ekspresi bingung.
"Ohh, pacarnya Andre ya. Cantik banget. Rambutmu panjang hitam. Aku setuju saja jika putraku bersamamu. Yang penting kamu mau mengurusku ya. Jangan jadi anak durhaka. Yang hanya mau menerima suami lalu menolak mertuanya, seperti di sinetron. Tapi kenapa kamu memakai kebaya begini Nduk?"