Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bingung
Semburat merah jingga yang menghiasi langit senja sore ini terlihat dari sela-sela daun pohon Flamboyan yang berdiri kokoh di pekarangan samping kost dan tepat berada di depan jendela kamar Billa. Gadis itu begitu menikmati warna indah dari bunga pohon Flamboyan yang berwarna kuning dengan latar belakang langit berwarna jingga itu.
“Indah banget langit hari ini,” Gumam Billa.
Pikiran Billa berkelana jauh, mengingat bagaimana respon Dewa beberapa hari yang lalu, ketika Billa mengatakan tidak dapat menerima ajakan menikah darinya. Laki-laki itu seolah kehabisan kata-katanya setelah menerima penolakan dari Billa. Mata Billa terpejam beberapa saat untuk menenangkan hatinya.
Kata-kata Dewa masih terngiang di telinganya, intonasi kecewa dan putus asa jelas tergambar dari setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu. Billa merasa tidak enak hati sudah membuat Dewa kecewa, tapi disisi lain Billa berpikir jika hal itu sah-sah saja di lakukannya.
Billa mengingat jika wisudanya hanya tinggal menunggu waktu satu bulan setengah lagi, itu tandanya sebelum acara wisuda yang sudah pasti di hadiri oleh Bundanya, ia harus sudah menjelaskan tentang hubungannya dengan Aiman. Billa hanya sedang mengumpulkan keberanian untuk menceritakan semua tentang Aiman, termasuk sudah seberapa jauh Aiman membantunya.
Pintu kamarnya di ketuk, membuat ia sedikit terkejut di tengah lamunannya. Pintu berwarna coklat itu terbuka dan Ocha masuk sambil menggerutu.
“Handphone lo mana?” Tanya Ocha dengan nada kesalnya. Membuat Billa melihat sekelilingnya namun tidak menemukan benda persegi itu.
“Kayaknya di tempat tidur deh Cha.” Ucap Billa cengengesan. Ocha beranjak mengambil benda itu.
“Pantesan gak dijawab-jawab panggilannya, wong hp mu ini silent.” Ketus Billa.
“Hehe sori, kenapa Cha? Kan lu kalo perlu sama gue tinggal masuk ke kamar gue, ngapain nelpon segala,” Billa membela diri.
“Bukan gue yang nelpon, noh Pak Aiman udah lumutan nungguin lu di depan.” Ucapan Ocha sukses membuat Billa terkejut.
“Hah, apa Cha? Pak Aiman di depan?” Tanya Billa tidak percaya.
“Ya udah kalo gak percaya, liat sendiri aja noh kedepan,”sewot Ocha.
Billa mengganti celana pendeknya dengan celana kulot berwarna hitam, dan ia merasa jika baju kaos lengan panjang berwarna biru tidak perlu di gantinya. Tangannya menyambar sebuah jilbab instan berwarna maroon, namun ia tersadar jika warnanya akan terlihat begitu tidak nyambung, ia tidak ingin disebut mirip Barongsai lagi oleh Aiman. Akhirnya ia mengganti jilbabnya dengan warna hitam, baru setelah itu keluar kamar untuk menemui Aiman.
Billa mengintip sedikit dari arah pintu, terlihat Aiman yang duduk di kursi depan kost dan sedang fokus dengan layar ponselnya. Ini adalah pertemuan pertama mereka selama kurang lebih seminggu terakhir ini. Hal itu dikarenakan Billa yang sudah menyelesaikan konsultasi skripsinya dan tidak ada alasan lagi baginya untuk bisa mengajak Aiman bertemu dan juga Aiman yang beberapa hari ini sibuk dengan pekerjaannya di Bandung.
Billa menelan ludah melihat punggung Aiman yang terlihat lebar dan kuat dibalut kaos berwarna biru dongker, “kalo gue peluk dari belakang gimana ya ceritanya?” batin Billa. Bibirnya menyunggingkan seringai sedikit mesum. “Astaghfirullah Billa, mesum banget lu sumpah,” rutuknya dalam hati.
“Bapak nyari saya?” Tanya Billa, dan membuat Aiman menolehkan kepala.
“Menurut kamu?” Ketus Aiman.
“Basa basi doang kali pak, jawab aja iya Billa saya nyari kamu, apa salahnya coba.” Jawab Billa tak kalah ketus.
“Selamat Yudisium, maaf saya gak bisa datang kemarin.” Aiman mengabaikan protes Billa, dan lebih memilih memberi selamat kepada gadis itu.
“Makasih, bapak sibuk banget ya beberapa hari ini?” Intonasi Billa sudah lebih lembut dari sebelumnya.
“Iya, saya baru buka Cafe baru di Bandung, nanti kapan-kapan saya ajak kamu kesana.” Ucap Aiman yang melihat sekilas ke arah Billa kemudian kembali menoleh ke arah depan.
“Yang bener pak, saya belum pernah ke Bandung pak.” Balas Billa.
“Iya nanti kapan-kapan saya ajak ke sana, tapi kalau sudah halal,” Mata Aiman melirik sekilas ekspresi Billa ketika ia melontarkan kata-kata itu.
“Emangnya saya haram apa, pake acara di halalin segala,” cibir Billa, dan Aiman memutar bola matanya jengah mendengar jawaban Billa.
“Sudah lama saya tidak naik darah, baru sebentar jumpa kamu langsung tinggi tensi darah saya.” Kesal sekali rasanya Aiman dengan gadis di depannya ini, tapi jika tidak bertemu akan membuat Aiman tidak tenang dan akan rindu setengah mati pada gadis aneh itu.
“Billa,” panggil Aiman.
“Apa.” Jawab Billa ketus.
“Bisa tidak kamu lembut sedikit bicaranya?” Tanya Aiman.
“Iya Pak Aiman, ada apa?” Jawab Billa dengan nada yang dibuat selembut mungkin.
“Merinding saya, yang ketus tadi lebih baik.” Ucap Aiman yang seolah takut mendengar Billa berbicara dengan lembut.
Billa tertawa melihat ekspresi Aiman, “Gak pernah bener saya di mata bapak.”
Aiman tidak memperdulikan Billa yang masih tertawa, kini pandangannya lurus ke depan, seolah-olah sedang menerawang sesuatu.
“Saya belum pernah mendengar jawaban kamu Bil,” ucapan Aiman membuat Billa menghentikan tawanya, dan menghapus sudut matanya yang sedikit basah karena terlalu banyak tertawa.
“Jawaban apa pak?” Tanya Billa serius bercampur bingung.
“Jawaban tentang kesiapan kamu menerima ajakan menikah dari saya.” Mata tajam Aiman dengan manik coklat terang itu menatap ke arah Billa, jelas saja hal itu membuat Billa sedikit merinding.
“Jangan menatap saya kayak gitu pak, seolah-olah bapak mau makan saya.” Ucap Billa bergidik, dan langsung membuat Aiman memalingkan pandangannya ke depan.
“ Jadi apa jawaban kamu?” Tanya Aiman tanpa menoleh lagi ke arah Billa. Aiman tidak dapat memungkiri jika wajah Billa sering kali menghipnotisnya untuk terus menatap wajah cantik berbentuk oval dengan hidung mancung dan mata bulat dengan pupil coklat gelap yang dihiasi bulu mata lentik alami itu seolah telah menjadi candu bagi Aiman.
“Apa perlu saya jawab pak?” Tanya Billa yang menatap Aiman dari samping.
“Tentu saja perlu,” tukas Aiman.
“Saya masih bingung pak,” ujar Billa.
“Ada apa lagi Billa?” Kini Aiman berbalik menatap ke arah Billa, pandangan mereka beradu karena Billa masih menatap ke arah Aiman sejak tadi.
“Sebenarnya tidak ada apa-apa pak, hanya saja saya masih ragu sama diri saya sendiri,” jawab Billa ragu-ragu.
“Apa karena saya belum meminta kamu ke orang tua kamu? Apa itu yang membuat kamu ragu?” Tanya Aiman memastikan. Billa terdiam, dia benar-benar tidak yakin apakah memang itu alasannya, atau memang ada hal lain. Namun Billa belum menemukan hal apa yang selalu mengganjal di hatinya, dan membuat dia ragu untuk mengatakan secara langsung jika ia sudah siap menerima Aiman.
“Kamu tidak menjawab Billa, berarti saya mengambil kesimpulan jika saya memang harus segera menemui orang tua kamu, mungkin menunggu acara wisuda kamu itu terlalu lama, saya akan menemui orang tua kamu langsung sebelum acara wisuda kamu.” Ucap Aiman dan berhasil menimbulkan kerutan bingung di kening Billa.
“Maksud bapak?” Billa bertanya karena memang benar-benar tidak paham dengan arah tujuan Aiman.
“Temani saya ke Palembang untuk bertemu Bunda kamu.” Pinta Aiman.
Billa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, “Yang benar aja pak,” ucap Billa gelagapan.
“Saya tidak mau berlarut-larut terlalu lama dalam hal yang belum jelas, jadi saya mau mencari kejelasan itu.” Ucap Aiman.
“Saya belum siap untuk kenalin bapak ke Bunda saya.” Billa benar-benar takut saat ini.
“Sebenarnya mau kamu apa Billa, kamu ragu sama saya, karena saya belum memberi kejelasan kepada orang tua kamu, disaat saya mau bertemu orang tua kamu dan meminta kamu secara langsung kepada orang tua kamu, kamu malah melarang saya, saya jadi bingung.” Aiman benar-benar frustasi menghadapi Billa yang masih begitu labil pemikirannya.
“Bukan gitu pak, saya cuma belum siap,” Billa seolah menggantungkan kalimatnya.
“Belum siap apa?” Tanya Aiman.
“Belum siap untuk menikah.” Ucap Billa pelan.
***