Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Nomplok Dan Pocongan Usil
Pagi itu, sebelum matahari menampakkan sinarnya, udara terasa sejuk dan sunyi. Jam dinding di rumah kecil Jengkok menunjukkan pukul 4:45 pagi. Setelah menyelesaikan sholat subuh, Jengkok dan Slumbat bergegas keluar rumah, dengan tekad untuk memulai hari lebih awal sebelum Gobed terbangun. Mereka tahu, kalau ingin mendapatkan barang bekas yang cukup untuk dijual, mereka harus bergerak cepat.
"Bu, kita pergi aja sekarang. Gobed biar tidur dulu, nanti kalau bangun, dia bisa langsung ke sekolah," kata Jengkok sambil mempersiapkan keranjang besar yang biasa mereka bawa untuk mengumpulkan barang-barang bekas.
Slumbat mengangguk setuju, wajahnya penuh semangat meski matanya masih terasa berat karena belum cukup tidur. "Iya, Pak. Kali ini kita harus dapet banyak. Biar bisa beli lauk buat beberapa hari."
Mereka berdua segera melangkah keluar, menyusuri jalan desa yang masih sepi dan gelap. Angin dingin pagi itu membuat mereka menggigil sedikit, tapi harapan untuk menemukan banyak barang bekas menghangatkan hati mereka.
Ketika sampai di pinggir desa, mereka dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Botol-botol plastik, gelas-gelas air mineral, dan bungkus makanan berserakan di mana-mana. Ternyata, semalam ada konser dangdut Pallapa besar-besaran di lapangan desa yang menyebabkan banyak sampah tertinggal.
"Wah, Bu! Ini rezeki nomplok!" seru Jengkok dengan mata berbinar-binar. "Lihat tuh! Botol-botolnya banyak banget!"
Slumbat pun ikut senang. "Iya, Pak! Ini bisa buat beberapa hari makan kita. Coba cepet-cepet kita kumpulin semua."
Tanpa membuang waktu, mereka segera mulai bekerja. Jengkok memungut botol-botol plastik dengan cepat dan memasukkannya ke dalam keranjang besar di punggungnya. Slumbat mengikuti di belakang, mengumpulkan apa pun yang bisa dijual. Semangat mereka menggebu-gebu, seolah semua masalah kemiskinan yang mereka hadapi selama ini bisa teratasi dengan banyaknya barang bekas yang mereka temukan pagi itu.
"Bu, ini pasti cukup buat beli daging!" kata Jengkok penuh semangat sambil tertawa kecil.
"Daging? Wah, jangan muluk-muluk, Pak. Yang penting besok bisa makan telur, udah seneng!" Slumbat tertawa, meski sebenarnya ia juga membayangkan bisa makan daging sapi yang sudah lama tak pernah mereka rasakan.
Namun, di tengah kegembiraan mereka, suasana tiba-tiba berubah. Dari sudut mata, Jengkok melihat sesuatu yang aneh di balik pohon besar yang tidak jauh dari tempat mereka memungut barang-barang bekas. Awalnya ia tidak terlalu memikirkannya, tapi ketika ia menoleh kembali, rasa takut langsung menyelimuti tubuhnya.
"Bu... Bu! Itu... itu..." Jengkok tergagap, telunjuknya gemetar menunjuk ke arah pohon besar itu.
Slumbat yang sedang asyik mengumpulkan botol plastik menoleh dan mengikuti arah pandangan suaminya. Wajahnya langsung pucat pasi saat melihat sosok pocongan itu lagi! Kali ini pocongan tersebut muncul dari balik pohon besar, menghadap mereka dengan senyuman lebar yang mengerikan. Wajahnya yang pucat dengan mata bolong membuat pemandangan itu semakin menakutkan.
"Astagfirullah! Pocong lagi, Pak!" teriak Slumbat, suaranya bergetar ketakutan.
Namun, alih-alih langsung kabur, entah kenapa kaki Jengkok seperti terpaku di tempat. Pocongan itu bukannya diam saja, malah mulai bergerak-gerak aneh, seperti sedang berjoget! Iya, pocong itu berjoget, melompat-lompat kecil mengikuti irama yang entah dari mana asalnya. Seakan sedang mengejek mereka berdua!
“Pak... pak! Dia... dia joget, Pak!” Slumbat berteriak dengan suara parau, antara ketakutan dan bingung melihat hantu pocong yang seharusnya menakutkan malah joget seperti orang yang sedang menonton konser dangdut.
Jengkok yang awalnya ketakutan, sekarang mulai bingung, dan sedikit terganggu dengan apa yang ia lihat. Pocongan yang biasanya hanya menampakkan diri dalam diam sekarang malah seperti menikmati suasana. "Bu, ini pocong... atau penonton dangdut ya?" kata Jengkok setengah takut, setengah heran.
Slumbat mencoba menahan ketawanya, meskipun rasa takut masih menguasai. "Pak, kayaknya ini pocong abis nonton dangdut semalam, deh. Mungkin dia ketinggalan rombongan!"
Mereka berdua tertawa gugup, meskipun ketakutan masih terasa di dada mereka. Tapi, semakin lama, pocongan itu malah semakin mendekat sambil terus berjoget. Setiap lompatan kecil pocong itu membuat suara kain kafannya berdesir, semakin mendekati mereka.
"Nah lho, Pak! Dia makin deket! Kita lari apa joget bareng nih?" Slumbat mencoba mencairkan suasana meskipun jelas-jelas mereka berdua ketakutan setengah mati.
Jengkok yang sudah mulai panik akhirnya mengambil keputusan cepat. "Udah, Bu, kita lari aja! Jangan sampai dia ngajak kita joget bareng beneran!"
Tanpa pikir panjang, Jengkok dan Slumbat langsung lari terbirit-birit meninggalkan tumpukan botol yang belum sempat mereka kumpulkan. Mereka berlari sekencang mungkin, sambil sesekali menoleh ke belakang memastikan pocongan itu tidak mengejar mereka.
"Pak, cepet! Jangan sampe ketinggalan, nanti dia ngajak duet!" seru Slumbat sambil tertawa panik.
Jengkok berlari sambil tertawa, napasnya tersengal-sengal. "Duet? Sama pocong? Jangan sampe deh, Bu! Itu lebih serem daripada lapar!"
Matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur, sinarnya yang tipis perlahan-lahan mengusir kabut pagi yang dingin. Jengkok dan Slumbat masih berlari terbirit-birit menjauh dari pocong yang tadi mendekat sambil berjoget. Mereka baru menyadari bahwa kaki mereka sudah lemas karena terus berlari tanpa henti, tapi ketakutan akan pocong itu membuat mereka tetap melangkah cepat. Keringat bercucuran di wajah mereka yang pucat.
Tiba-tiba, saat mereka melintasi sebuah pohon besar di ujung jalan desa, Jengkok menghentikan langkahnya. "Bu, bu... liat deh!" serunya, menunjuk ke arah atas.
Mata Slumbat mengikuti arah jari suaminya dan seketika itu juga, mereka melihat sesuatu yang tak terduga. Pocongan tadi melompat ke atas pohon! Dengan sekali lompatan, pocong itu terbang melayang dan hinggap di salah satu cabang, seperti kucing yang baru saja ketakutan. Sosoknya mulai memudar seiring sinar matahari yang makin kuat, hingga akhirnya menghilang begitu saja.
Mata Jengkok dan Slumbat terbelalak, mulut mereka terbuka lebar. Mereka berdua terpaku menatap pohon itu, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
"Pak, beneran itu tadi pocong naik pohon?" tanya Slumbat, suaranya bergetar antara takut dan heran.
Jengkok masih terengah-engah sambil memegangi lututnya yang gemetaran. "Iya, Bu. Tapi... pocong kok bisa terbang gitu, ya? Biasanya kan cuma lompat-lompat..."
Slumbat menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung. "Aku juga heran, Pak. Kayak ninja aja, lompat langsung ke atas pohon."
Mereka berdua terdiam sejenak, mengatur napas sambil terus memandangi pohon itu. Sinar matahari semakin terang, dan suasana desa perlahan-lahan mulai ramai. Suara ayam berkokok dan burung berkicau terdengar menggantikan keheningan tadi malam.
Akhirnya, Jengkok berdiri tegak, menarik napas panjang. "Bu, kayanya pocongnya udah pergi. Kita balik aja, kumpulin botol lagi sebelum ada orang lain yang dateng."
Slumbat mengangguk setuju. Meski masih ada rasa takut tersisa di dada mereka, dorongan untuk kembali mengumpulkan botol yang berceceran lebih kuat. Toh, pocong tadi sudah hilang dan hari sudah mulai pagi.
Mereka bergegas kembali ke lapangan tempat konser dangdut semalam, berharap botol-botol yang sudah mereka kumpulkan sebelumnya masih ada di sana. Begitu sampai, ternyata semua masih utuh—tidak ada satu pun botol yang hilang.
"Alhamdulillah, Pak. Semua masih di sini!" Slumbat berseru girang, mulai mengumpulkan botol-botol plastik lagi dengan cepat.
Jengkok juga tak kalah senangnya. "Syukur deh. Kayaknya pocong tadi cuma mau ngelawak. Eh, tapi serem juga ya joget-joget sambil ngejar kita."
Slumbat tertawa kecil sambil memasukkan botol-botol ke dalam keranjangnya. "Iya, Pak. Mungkin pocongnya bosen di kuburan, pengen nonton dangdut. Tapi abis itu dia ngerasa nggak cocok, makanya jogetnya aneh gitu."
Jengkok tertawa terbahak-bahak. "Bener juga, Bu. Mungkin dia nyasar, mau nonton tapi malah kita yang dikagetin. Untung nggak ajak kita duet, ya!"
Keduanya terus tertawa, melupakan sejenak rasa takut mereka. Tangan mereka cekatan memunguti botol-botol dan barang-barang bekas lainnya yang masih berserakan di tanah. Keranjang mereka pun semakin penuh, dan wajah mereka semakin cerah karena tahu hari itu akan jadi hari yang lebih baik daripada kemarin.
Tiba-tiba, di sela-sela tawa mereka, Slumbat menghentikan gerakannya dan menatap Jengkok dengan tatapan serius. "Pak, tapi kalau pocong beneran ajak duet, kira-kira kita joget apa ya?"
Jengkok berpikir sejenak, lalu dengan wajah serius ia menjawab, "Joget apa? Ya... joget dangdut pocong kali, Bu! Lompat-lompat sambil bawa keranda!"
Slumbat tertawa terbahak-bahak hingga jatuh terduduk di tanah. Jengkok ikut tertawa keras, membayangkan betapa konyolnya pocong berjoget sambil membawa keranda.
Mereka tertawa sampai perut mereka sakit, dan segala rasa takut dari pengalaman tadi malam seolah lenyap begitu saja. Akhirnya, dengan botol-botol penuh di keranjang mereka, Jengkok dan Slumbat pulang ke rumah dengan langkah ringan. Hari itu, meski diawali dengan ketakutan, diakhiri dengan perut kenyang dan tawa yang membahana.
Dan meskipun pengalaman mereka berjumpa dengan pocong yang berjoget masih membekas di hati, mereka sekarang tahu bahwa tak ada yang lebih menyeramkan dari hidup tanpa tawa. "Mungkin," pikir Jengkok sambil tersenyum, "pocong juga butuh hiburan."