Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 7 ~
Beberapa hari berlalu, semenjak malam kemarin, aku sengaja mendiamkan mas Bima karena masih kesal dengannya yang seakan meremehkanku.
Aku sama sekali tidak bicara dengan mas Bima dan selalu menghindar kalau di rumah.
Ayahnya Lala yang memiliki tingkat kepekaan melewati batas normal, selalu tahu seperti apa suasana hatiku, baik ketika aku sedang merasa kesal padanya, atau kapan aku merasa fine dengan hubungan ini.
Seperti sekarang, aku yang sedang kesal padanya, dia seakan enggan meminta bantuanku.
Itu di tandai dengan mas Bima yang menaruhnya sendiri baju kotor ke mesin cuci.
Kalau kondisi kami sedang baik-baik saja, maksudnya tidak setegang ini karena efek pembicaraan malam itu, mas Bima pasti akan membiarkanku pergi ke kamarnya untuk mengambil baju kotor di keranjang pakaian yang sudah ku sediakan di sudut kamarnya.
Tapi subuh tadi, saat aku hendak mencuci baju, semua pakaian dinas dan kaos harian mas Bima sudah teronggok di dalam mesin cuci.
Begitu juga ketika sarapan, dia menuang air sendiri ke dalam gelas, padahal itu selalu ku lakukan jika suasana hatiku sedang tenang.
Mas Bima benar-benar sangat peka dengan perasaanku, tapi tidak peka terhadap ketidaksukaanku atas pertemuannya dengan mantan adik iparnya itu.
"Suamimu masih gitu-gitu aja, Bi?" Tanya Riska, teman sekantorku.
"Hmm" aku meresponnya sambil menyesap ice tea, lengkap dengan kepalaku yang terangguk pelan.
Kami yang sedang istirahat makan siang, mencoba bertukar cerita tentang suami-suami kami.
Entah lebih mending mana, suami Riska yang terlalu membiarkan orang tuanya turut campur dalam rumah tangganya, atau aku yang di abaikan oleh mas Bima. Sepertinya keduanya sama-sama mengerikan untuk di jalankan.
Suami Riska yang cinta banget sama dia, tapi mertuanya malah tidak menyukainya. Sementara aku, mertuaku yang baiknya berada di puncak eferest, tapi suamiku cueknya setengah mati, dinginnya bahkan mencapai minus nol derajat celcius.
Ya, setiap orang memang berbeda-beda ujiannya. Dan Allah, tidak akan menguji umatnya melebihi batas kemampuannya.
Seperti aku misalnya, karena aku di anggap mampu, jadi Dia memberiku ujian ini.
"Kamu kalau di rumah penampilannya kayak gimana si? di lihat dari wajah, body dan etika, kamu itu menurutku sempurna lho, apa yang membuat pria es itu belum juga melihatmu?"
"Entahlah, aku nggak tahu"
"Apa mungkin dia masih mencintai mantan istrinya?"
"Kalau itu sepertinya enggak, Ris" Pungkasku menangkis tebakan Riska. "Soalnya pas adiknya mbak Hana tanya, kalau seandainya mbak Hana minta rujuk, apakah mas Bima mau menerimanya. Dan saat itu jawaban mas Bima tidak akan pernah, meskipun itu demi Lala. Tapi anehnya, setelah si Gesya mendengar jawaban mas Bima, dia seperti berjingkrak. Kayaknya dia memang berharap mas Bima nggak akan rujuk sama mbaknya"
Aku dan Riska mendadak mempertemukan netra kami.
"Kenapa Ris?" tanyaku saat menyadari sorot berbeda dari rekan kerjaku.
"Kamu nggak ngeh sama gelagat Gesya, Bi? padahal aku langsung berprasangka yang enggak-enggak loh"
"Maksudmu?" tanyaku. Kalau boleh menebak, ku rasa Riska memiliki insting yang sama sepertiku. Kalau Gesya memang menyukai mas Bima.
"Jangan-jangan, wanita itu menyukai suamimu, Bi"
Nah kan, benar dugaanku.
"Iya kali" jawabku santai.
"Kalau kamu benar-benar cinta, jangan biarkan dia merebut mas Bima darimu Bi"
"Tapi kalau mas Bima cinta juga sama dia, apa yang bisa ku lakukan?"
"Aku rasa tidak, Gesya itu bukan tipenya mas Bima kayaknya"
Keningku mengernyit heran.
"Sepertinya Bi, kamu harus buat suamimu jatuh cinta padamu, coba kamu berpenampilan nyentrik kalau di rumah"
"Nyentrik gimana maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Kamu pakai baju yang seksi gitu"
"Ish nggak mungkinlah, ada Lala di rumah, ada satpam juga"
"Ya di coba kalau Lala sudah tidur, kamu pura-pura ngerjain sesuatu di ruang Tv atau dapur dengan pakaian seksimu, nggak mungkin juga kan, Satpam masuk malam-malam. Terus nanti kamu ajak dia bicara" ujarnya dengan sorot serius.
"Bicara apa?"
"Ya apa aja, misalnya kamu tanyakan pada suamimu ada hubungan apa dia sama mantan adik iparnya itu"
Aku begitu antusias mendengar saran Riska.
"Kalau itu kayaknya nggak mungkin deh!"
"Kenapa? kamu berhak tahu loh, Bi"
"Iya, tapi kalau dia memperingatkanku soal mencampuri urusan pribadinya, aku pasti bingung mau bilang apa lagi. Tahu kan, kalau soal asmara, itu sudah masuk ke ranah privasi ayahnya Lala"
"Ya sudah cukup berpenampilan layaknya wanita malam saja, untuk mengawalinya, nanti perhatikan gimana respon suamimu"
"Harus begitu ya?" tanyaku yang langsung di anggukan oleh Riska.
Apa akan bisa berhasil? bukan hanya Riska yang menyarankan begitu, mbak Za dan mbak Kanes juga pernah kasih saran seperti itu, malah kedua kakak iparku memintaku belajar dari bunda Nina, karena yang ku dengar, bunda Nina juga sepertiku di awal-awal pernikahannya.
Ah, tapi masa iya, aku harus menjadi selingkuhan mas Bima. Jangankan berselingkuh, berpacaran saja aku nggak jago. Di samping itu, kalau aku belajar ke bunda Nina bisa bahaya, bunda dan mami itu sahabat baik, sembilan puluh persen pasti bunda akan crita ke mami.
"Arimbi" Panggilan Riska bersamaan dengan tangannya yang menyentuh lenganku membuatku tersentak.
"I-iya?"
"Mikir apa?"
"Akan ku coba saran darimu Ris"
"Bagus Bi, semangat!"
"Tapi Kok aku jadi berasa kayak wanita nakal si, goda-goda seorang pria"
"Pria itu suamimu sendiri, nggak apa-apa, halal-halal aja" Sergahnya berusaha membenarkan ucapannya. "Memangnya, kamu tetap pakai jilbab kalau di rumah, Bi?"
Aku mengangguk meresponnya. "Ada satpam di luar. Aku pun pernah kena tegur sama mas Bima. Pas aku nggak pakai jilbab, ada temannya yang tiba-tiba datang, mas Bima langsung nyuruh aku ke kamar buat ambil bergo, setelah tamunya pulang, mas Bima langsung bilang buat jangan di ulangi, "
"Kayaknya ribet juga kalau bolak-balik lepas hijab" tambahku usai menelan kunyahan terakhirku.
"Ribet gimana?"
"Ya ribet aja, nanti keluar rumah di pakai, masuk rumah di lepas, keluar lagi pakai lagi, belum lagi kalau ada tamu atau bawahannya mas Bima yang datang. Bel pintu sudah tang-tang ting-ting, akunya nyari hijab nggak nemu-nemu"
"Iya juga si, tapi di coba deh pas malam-malam, siapa tahu dia langsung on dan ngajak malam pertama"
"Tahu, lah ... aku aja lagi kesal sama dia" Aku mencebik. "Lalu gimana denganmu?"
"Ya, selagi suamiku baik sama aku, sayang dan cinta, terus kasih duit, aku santai si. Nggak terlalu ku fikirkan soal mertua, gitu-gitu mereka orang tua suamiku kan"
"Hmm, kita ngalah aja sama orang tua, biar bagaimanapun, ridho suami masih ada pada ibunya"
Larut dengan obrolan yang unfaedah, tahu-tahu jam istirahat selesai. Kami sama-sama melangkah menuju kantor.
"Kamu nggak jemput Lala, nanti Bi?" Tanya Riska di tengah-tengah langkah kami.
"Enggak, ayahnya yang mau jemput"
Hanya Riska satu-satunya rekan kerja yang tahu masalah rumah tanggaku. Baik dari sifat dinginnya mas Bima, putrinya mas Bima yang nggak mau ku tinggal, juga tentangku yang masih vir*gin padahal sudah menikah selama dua tahun.
****
Jam kerja sudah mendekati pulang kantor. Tepat ketika aku sedang merapikan beberapa dokuman, ponsel di atas mejaku berkedip. Ada sebuah notif pesan masuk dari nomor mas Bima.
Ponselku yang memang selalu dalam mode senyap, kadang tak menyadari kalau ada telfon, sementara kali ini beberapa kali mas Bima memanggil.
Tiga panggilan tak terjawab dan satu chat darinya.
Detik itu juga aku langsung membuka pesan dari ayahnya Lala.
Mas Bima : "Nanti jemput Thalia, Bi! Aku ada janji sama teman, nggak bisa jemput dia. Sorenya papi mami mau datang ke rumah buat makan malam"
Setelah membaca pesannya, reflek sepasang mataku melirik jam, sementara tanganku bergerak membalas pesan mas Bima, mengiyakan perintahnya.
Hari Jum'at aku pulang pukul dua. Karena mami akan makan malam di rumah, aku masih ada waktu sekitar satu jam lebih untuk belanja sebelum jemput Lala.
Bergegas keluar kantor, aku lajukan mobilku menuju supermarket yang lokasinya tak jauh dari tempat kerjaku.
Semua bahan yang akan ku masak sudah berada di keranjang belanja. Ku arahkan trolly ke kasir.
Saat tengah mengantri pembayaran, sepasang penglihatanku memanas begitu menangkap sosok yang selalu membuatku berdebar, sedang duduk bersebrangan di cafe sebelah supermarket dengan seorang wanita. Cafe yang hanya di batasi dengan tembok kaca, sehingga bisa dengan jelas tertangkap oleh mata, baik aktifitas pegawai maupun pengunjung cafe.
Dia cantik, sepertinya usianya seumuran dengan mas Bima.
Sejak kapan, mas? bahkan kamu rela nggak jemput Lala demi temannya? apa mas mulai mengabaikan putri mas satu-satunya?
Bersambung
Semangat berkarya