Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehancuran Ava
'Tuan dan Nyonya ditangkap polisi. Bisnisnya sudah terendus hukum, semua bukti sudah terungkap. Selain itu, keterlibatan Tuan dalam kasus Anderson dulu juga terungkap semua, Nona.'
Itulah penjelasan yang dibeberkan oleh orang kepercayaan Henry barusan. Tentu saja Ava kaget. Dia tahu benar apa bisnis lain ayahnya, yakni perdagangan obat-obatan terlarang. Bukan hanya satu-dua negara yang diselundupi barang tersebut, melainkan banyak, dan itu pasti sangat berat hukumnya jika semua terungkap.
Terlebih lagi, ada kasus Anderson. Ava pun tahu benar kasus itu. Anderson adalah orang hukum yang dulu sempat mencurigai Henry. Dari pada berdampak buruk terhadap bisnis gelapnya, Henry sengaja melenyapkan Anderson dan menyamarkannya dengan kecelakaan lalu lintas. Kasus itu tak pernah diungkap, tetapi entah mengapa sekarang malah dikupas habis.
Namun, tunggu. Barusan Nero mengatakan itu kejutan. Jangan-jangan ... memang dia yang ada di balik semua ini.
"Kenapa?" bisik Ava sambil menatap Nero. Sudah tak ada lagi keangkuhan di wajahnya.
Nero kembali tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yang akan kamu lakukan, Ava. Jangan pikir aku tidak tahu dengan niat licikmu. Henry kan yang mengirimmu untuk mendekatiku?"
Ava terdiam. Ternyata Nero tahu bahwa dirinya adalah putri Henry. Siapa sebenarnya lelaki yang dia hadapi saat ini? Mengapa begitu mudahnya mengetahui rahasia yang ia simpan rapat.
"Kamu pikir, kebetulan saja kamu mabuk hingga lupa segalanya? Kebetulan juga aku mengantarmu ke penthouse dan menjagamu semalaman di sana? Heh, aku memang sengaja melakukan itu. Aku menyuruh orang untuk menukar minuman kita agar kamu mabuk parah. Dan aku sengaja mengantarmu hanya untuk mengorek semua informasi dan rahasia yang kamu punya. Menurutmu dari mana aku mendapatkan semua ini kalau bukan dari dirimu sendiri?" sambung Nero, dan sontak membuat Ava makin bungkam. Ternyata dia kalah licik dengan Nero.
"Ava, jangan-jangan kamu juga berpikir bahwa dirimu sangat istimewa, makanya kuizinkan ikut pulang ke Indonesia dan menginjakkan kaki di rumahku?" Nero kembali bicara, tetapi Ava tak jua menyahut. Bibir dan lidahnya masih sulit untuk digerakkan karena terlalu terkejut dengan kenyataan yang barusan menampar.
"Aku melakukan itu hanya untuk mengikuti permainanmu, agar kamu semakin percaya bahwa aku sudah masuk dalam jebakanmu," lanjut Nero dengan tegas.
"Tapi, kenapa ... Nero? Bukankah kau dan istrimu ...." Suara Ava sangat lirih. Namun karena jaraknya cukup dekat, jadi Nero masih bisa mendengarnya.
"Kenapa dengan istriku? Kamu menganggap dirimu lebih berharga dari dia? Heh, naif sekali!"
Usai bicara demikian, Nero melangkah maju dan lebih mendekati Ava. Namun, wanita itu melangkah mundur hingga tubuhnya merapat di dinding. Entahlah. Tatapan Nero kali ini seolah menikam dan membuatnya hampir mati.
"Demi uang, demi karier, demi kesenangan, kamu rela ditiduri banyak pria. Masih menganggap lebih baik dari istriku yang bisa menjaga kehormatannya?" ucap Nero sambil terus mendekati Ava.
"Kamu ... tahu itu?"
"Bukan hanya itu, bahkan foto-foto telan-jangmu aku juga tahu. Dan asal kamu tahu, ha-sratku sama sekali tidak bangkit melihat itu. Tapi ... bayangkan andai semua skandalmu itu mencuat di publik. Kira-kira ... apa kariermu masih aman? Karena bukan hanya pria lajang yang tidur denganmu, tetapi juga mereka yang sudah beristri," jawab Nero tanpa merasa bersalah.
"Kumohon jangan, Nero. Aku—"
"Andai kamu kemarin bisa menjaga sikap, aku bisa saja memberikan maaf untuk hal ini. Tapi sayangnya, mulutmu itu dengan tidak tahu malu menghina istriku. Kamu pikir pantas?" pungkas Nero dengan cepat.
"Tapi—"
"Ingat baik-baik, Ava, wanita paling berharga dalam hidupku adalah istriku. Dan itu tidak akan terganti sampai kapanpun!" Nero memotong ucapan Ava sembari mencengkeram bahunya.
Ava meringis kesakitan, tetapi Nero tak peduli. Dia terus mencengkeram sambil melayangkan tatapan tajam.
"Sekarang ... nikmati saja apa yang kamu dan ayahmu lakukan padaku!" ujar Nero sembari melepas cengkeramannya dengan kasar, hingga tubuh Ava terhuyung dan nyaris jatuh.
Setelah itu, Nero melangkah pergi tanpa peduli lagi.
Kini, tinggal Ava sendiri di dalam ruangan itu, berteman makanan dan minuman yang sudah dingin. Ava menangis dalam ketidakberdayaan. Bisnis utama orang tuanya sudah tamat, dan mungkin kariernya sendiri juga akan hancur. Sedangkan dia masih tak tahu harus berbuat apa.
"Nero adalah iblis! Benar-benar iblis!" jerit Ava dalam hatinya.
Terbayang kembali kilasan hari-hari lalu. Begitu apik Nero bersandiwara, hingga dirinya percaya bahwa lelaki itu sudah masuk dalam genggamannya. Namun, siapa sangka ternyata Nero juga memainkan drama. Ahh, andai saja waktu itu mendengarkan nasihat Tera, mungkin kehancuran hari ini tidak akan pernah terjadi.
________
Berbeda dengan Ava yang sedang meratapi kehancurannya, malam ini Nero merasa puas dengan hasil kerjanya sendiri. Dia berhasil membuat perhitungan dengan Ava dan Henry. Selain itu, langkahnya di Kai Group juga berjalan mulus, sangat sesuai dengan harapan.
Kini, tinggal melakukan sedikit tugas lagi lalu bisa kembali ke Indonesia.
Dalam hatinya, Nero merasa senang. Dia bisa pulang lebih cepat dari waktu yang ia janjikan.
"Nanti aku akan menjelaskan semuanya," gumam Nero sebelum merebahkan tubuh ke atas ranjang.
Kala itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam, tetapi rasa kantuk belum sepenuhnya menghampiri. Dalam beberapa saat, Nero hanya menatap langit-langit kamar. Samapi kemudian, ia malah dikejutkan dengan getar ponsel di sampingnya.
Khawatir jika itu sesuatu yang penting, Nero mengambilnya dan membuka pesan yang ternyata dari Norman.
'Siang nanti Nona akan pulang, Tuan. Katanya akan makan bersama dengan keluarganya. Mungkin, undangan dari Nona Anne, karena dengar-dengar sekarang beliau sedang hamil.'
Nero menatap lama tulisan tersebut, dengan pikiran yang berkecamuk tak menentu.
"Aku juga bisa memberimu keponakan, Anne," gumam Nero, pelan tetapi penuh penekanan.
Bersambung....