Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Rencana Lain
“Melarikan diri? Kamu pikir semudah itu?”
“Larilah sejauh mungkin, Liara! Lariiii!”
“Karena semakin kamu lari, semakin kamu jauh dari hukuman, makin mudah juga bagiku menghukummu secara langsung!”
“Angkasa ... sudah kutebak, saat itu kamu sengaja melukai kak Stevan karena sepertinya, kamu ada rasa ke Liara. Faktor asmara membuatmu dengan tega melukai laki-laki yang dicintai Liara, tanpa peduli kamu dan kak Stevan bersahabat!”
Aqilla yang berbicara dalam hati, bersedekap sambil berdiri di balik sofa panjang oma opanya duduk. Mata tajam Aqilla mengawasi siaran televisi di hadapannya. Di kediamannya, ia ditemani oma opa dan juga ketiga adiknya. Kaburnya Liara sudah langsung menghebohkan publik. Wajah Angkasa juga tak luput dari sorotan kamera CCTV. Beberapa kali, wajah Angkasa saat mengunjungi Liara, disorot dan dikatakan sebagai sosok yang membantu Kiara kabur. Bisa dipastikan pula, Angkasa akan terseret dalam kasus Liara.
“Cukup melihatku berkeliaran, mereka pasti akan langsung keluar. Bisa jadi, sebenarnya mereka juga sudah mengincarku. Mereka dendam kepadaku karena gara-gara aku mengungkap kasus Chilla, kebusu*kan mereka terungkap!” ucap Aqilla dan langsung membuat oma opanya menatapnya khawatir.
“Geregetan banget sama nih bocah!” komentar oma Zee.
“Berani lempar anak orang ke bendungan, dia juga harus merasakan gimana rasanya dilempar ke bendungan!” ucap opa Devano yang kemudian berdiri dari duduknya.
“Besok, kita pergi. Kamu pergi sama Opa. Kita naik motor saja, biar mereka bisa melek dan lihat kamu dengan leluasa. Opa yakin, apa yang kamu katakan juga benar. Bahwa sebenarnya, mereka dendam dan akan segera mengincar kamu. Jadi, besok kita pergi pakai motor beda. Opa pantau kamu dari jauh, biar mereka senang dan berpikir kamu cuma sendirian,” ucap opa Devano.
“Intinya enggak usah lapor polisi. Kita lakuin ini, seolah-seolah kita enggak sengaja mengalami. Giring dia ke bendungan itu. Agar dia tahu rasa, sekaligus merasakan bagaimananya dilempar ke bendungan!” tegas opa Devano lagi.
“Iya, begitu saja. Soalnya kalau mengandalkan polisi, ... banyak kecewanya!” ucap mbah Nina dan merupakan ibu dari ibu Akina.
“Tetap harus jaga-jaga. Minta bantuan anak buahnya Syukur. Malahan lebih setimpal hukuman dari kita ketimbang polisi yang sering enggak benernya apalagi kalau sudah menyangkut kekuasaan!” komentar mbah Akala.
Dalam sekejap, semuanya tersusun. Mereka percaya, hukuman yang akan mereka berikan kepada Liara, jauh lebih setimpal ketimbang hukuman dari polisi dan biasanya akan berdrama hanya karena latar belakang Liara.
Namun kini di berita selanjutnya, kabar terbaru orang tua Liara disiarkan. Harta benda orang tua Liara disita beramai-ramai. Semuanya tengah diselidiki karena harta-harta tersebut dicurigai tak sesuai harta orang tua Liara layaknya yang tercatat dalam laporan kekayaan para pejabat.
“Sudah dipastikan, mereka pasti peram*pas uang rakyat!” kecam opa Devano.
“Didik anak saja enggak bisa, apalagi jadi wakil rakyat. Orang seperti mereka wajib dimiskinkan!” tegas oma Zee yang lagi-lagi berdalih, dirinya ingin memban*ing Liara maupun Angkasa hingga keduanya amnesia.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ada tamu yang datang, dan itu Stevan. Orang yang Stevan cari ialah Aqilla.
“Suruh masuk saja, Mbak!” sergah opa Devano.
“Jangan begitu, takutnya untuk urusan yang lebih rahasia dan bikin dia enggak nyaman jika harus menyampaikannya di depan kita,” ucap mbah Akala.
“Ya sudah, aku akan menemuinya,” ucap Aqilla setelah merenungkannya. Daripada ada perdebatan di antara oma opa, dan juga mbahnya.
“Aqilla niru siapa, ya? Dia setangguh itu, dingin, dan ... enggak ada bercanda-bercandanya,” ucap oma Zee heran sendiri dengan ketangguhan dari Aqilla.
“Perpaduan mbah kakung dan papa kandungnya. Begitu, kan?” ucap mbah Nina yang amat sangat paham. “Jujur, ini jadi beban sendiri buat aku. Aku khawatir, dia kesulitan buat bahagia.”
“Nah itu ...,” refleks oma Zee yang jadi tak kalah khawatir.
Sementara opa dan mbah kakung di sana, hanya diam di tengah kegelisahan. Tak beda dengan istri mereka, ketangguhan Aqilla juga menjadi kekhawatiran tersendiri untuk mereka.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Stevan tak lama setelah kedatangan Aqilla. Ia yang sudah sempat duduk di sofa ruang tamu, refleks berdiri.
“Seperti yang kamu lihat. Memangnya kenapa?” balas Aqilla masih menyikapi Stevan dengan dingin.
Stevan menghela napas panjang. “Aku khawatir!”
“Jangan mengkhawatirkan aku. Karena kamu juga harus mengkhawatirkan diri kamu. Terbukti kan, Angkasa ada dendam pribadi ke kamu!” ucap Aqilla masih bersedekap. Di hadapannya, Stevan yang lagi-lagi menghela napas panjang sebelum bersuara, jadi beberapa kali menggeleng.
“Aku enggak peduli. Yang penting kamu baik-baik saja. Masih enggak percaya kalau kecemburuan mereka bisa bikin keadaan sekacau ini!” ucap Stevan dengan nada suara yang amat sangat putus asa. Ia menggunakan kedua tangannya untuk mengusap-usap wajahnya.
Ketika Stevan menyudahi kesibukannya mengusap wajah, ia mendapati air mineral kemasan gelas yang sudah dihiasi sedotan, Aqilla sodorkan kepadanya. Di meja ruang tamu memang ada satu nampan air mineral dan Aqilla mengambilnya dari sana.
“Cukup mereka saja yang gi*la. Kamu jangan. Baik kami apalagi Chilla, tidak ada yang menyalahkan kamu. Jangan lupa, bahagia enggak bisa dibeli seberapa pun banyak uang dan kekuasaan yang kamu miliki!” tegas Aqilla.
Stevan berangsur mengambil alih air mineral pemberian Aqilla. “Makasih banyak. Namun sepertinya, besok juga aku akan ke psikiater.”
Bibir Aqilla memang berkata, “Iya, ... lakukanlah jika bagimu, itu perlu. Enggak ada salahnya melakukan itu karena itu juga demi kebaikanmu.” Namun, hatinya mendadak sangat khawatir. Hingga ia meminta maaf karena tak bisa melucu.
“Hanya karena kamu enggak bisa melucu, kamu meminta maaf kepadaku? Kamu enggak salah,” ucap Stevan.
“Orang-orang sepertimu butuh orang yang lucu. Karena bersama orang lucu, kamu akan terhibur,” ucap Aqilla.
“Lalu, ... bagaimana denganmu? Orang seperti apa yang kamu butuhkan?” Stevan menatap penasaran Aqilla yang tampak jelas akan memberinya balasan jujur.
“Aku menyukai orang yang jauh lebih tua dariku. Orang yang sudah berpikiran dewasa dan pastinya bukan pasangan apalagi suami orang!” ucap Aqilla.
“O ...?” refleks Stevan. Seperti dugaannya, walau kembar, selera pasangan Chilla dan Qilla tetap sangat berbeda.
“Oh iya ... tolong lebih sering perhatikan Chilla. Mama bilang, Chilla selalu makin bersemangat di setiap kamu menghubunginya!” ucap Aqilla.
Yang membuat Aqilla bingung, Stevan langsung memasang ekspresi tak nyaman cenderung sedih, tak lama setelah permintaannya. Stevan tak langsung merespons dan memilih meminum setengah air mineral kemasan gelas pemberiannya.
“Kamu ... masih mengizinkan aku bersama Chilla setelah semua yang terjadi?” tanya Stevan dengan nada sedih.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” sergah Aqilla langsung menyikapinya dengan serius.
😏😏😏
iya juga yaa,, kalo sdh singgung k Mbah Kakung,, memoriq tiba2 jadi blank🤭😅
ini angkatan siapa ya... 🤣🤣🤣
kayaknya aq harus bikin silsilah keluarga mereka deh... 🤣🤣🤣
beri saja Liara hukuman yg lebih kejam Mb...
Angkasa ....,, tunggu tanggal mainnya khusus utkmu dari Aqilla
Jangan smpe orang tua nya liara berkelit lagi ...