Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9_Kehidupan di Padang Rumput
Di padang rumput, Sumi langsung mulai mengarit dengan pikiran yang kalut. Padang rumput ini milik Pak Dewa, seorang tuan tanah di kampungnya. Setiap orang bebas mengambil rumput dari tanahnya untuk dijual tanpa dipungut biaya.
Pak Dewa tinggal di luar daerah, dan awalnya berencana menggunakan lahan tersebut untuk membuka pabrik. Namun, pemerintah setempat tidak mengizinkan, dengan alasan demi kepentingan warga. Karena itu, Pak Dewa memutuskan untuk membiarkan rumput tumbuh dan mengizinkan warga yang membutuhkan untuk memetiknya, terutama mereka yang ingin menjualnya kepada peternak kambing.
Pak Dewa adalah orang yang dermawan. Melihat banyaknya warga yang mengambil rumput dari tanahnya, ia memutuskan untuk tidak membuka pabrik dan menjadikan lahan itu sebagai ladang bagi warga. Ia memberi izin pada siapa saja yang membutuhkan, dengan syarat peternak tidak boleh memotong rumput di tempat dan harus membawa rumput tersebut.
Sumi sering mengambil rumput di sini. Setiap kali ada peternak yang membutuhkan rumput, ia akan segera mengarit rumput dan menyerahkannya. Para tetangga pun tahu betul kondisi kehidupan Sumi dan keluarganya, itulah mengapa mereka sering meminta Sumi untuk mengarit rumput bagi mereka.
Sumi mengusap keningnya yang sudah basah oleh keringat. Ia telah berhasil mengumpulkan tujuh karung goni yang penuh dengan rumput segar, yang nantinya akan dijemput oleh Pak Jiwo.
"Sudah terkumpul berapa, Bu Sumi?" tanya Pak Jiwo, yang baru saja datang dengan mobil pick-upnya.
"Eh, Pak Jiwo, ini sudah ada tujuh karung," sahut Sumi, memaksakan senyum meski tubuhnya sudah sangat lelah.
"Wah, sudah banyak juga ya, Bu. Istirahat saja dulu," kata Pak Jiwo, sambil mengeluarkan air mineral dari mobilnya dan menyerahkan beberapa botol kepada Sumi.
"Terima kasih banyak, Pak. Kebetulan saya sangat haus," jawab Sumi, kemudian duduk sejenak di tempat yang nyaman untuk menikmati air mineral tersebut.
"Saya akan angkut rumputnya sekarang, ya Bu," ujar Pak Jiwo.
"Oh, iya, silakan Pak," jawab Sumi.
Pak Jiwo kemudian memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut rumput ke dalam bak mobil pick-up.
"Biasanya, kalau kami datang jam segini, Ibu sudah selesai mengarit dua belas karung, Bu. Kenapa sekarang hanya tujuh karung?" tanya Pak Jiwo, sambil memeriksa kesegaran rumput dalam karung.
"Iya, Pak, tadi saya terlambat," jawab Sumi, berusaha menjelaskan.
"Wah, kok bisa, Bu? Ada urusan apa?" tanya Pak Jiwo lagi.
Sumi tersenyum. "Namanya ibu-ibu, Pak. Kadang ada anak yang rewel, kadang ada urusan lain. Banyak hal yang harus diurus."
"Betul, Bu. Istri saya juga seperti singa kalau mengurus anak-anak. Saya yang cuma diam-diam di rumah pun sering jadi sasaran amukan istri saya," kata Pak Jiwo sambil tertawa, membuat Sumi ikut tertawa.
"Jadi, sisanya kapan saya jemput, Bu?" tanya Pak Jiwo, setelah anak buahnya selesai mengangkut rumput.
"Nanti saja, Pak, kira-kira jam 12. Saya mau istirahat dulu. Boleh, kan, Pak?" tanya Sumi.
"Ya boleh, Bu. Nanti jam 2 atau sore juga boleh. Tidak usah dipaksakan," jawab Pak Jiwo.
"Oh ya, karena rumputnya ada tujuh karung, berarti totalnya dua puluh satu ribu, ya, Bu?" tanya Pak Jiwo, sambil mengeluarkan dua lembar uang senilai dua puluh ribu dari dompetnya.
"Ini saya lebihkan jadi empat puluh ribu, Bu. Sisanya untuk anak-anak di rumah, untuk beli permen," kata Pak Jiwo.
"Wah, tidak perlu, Pak. Saya terima uang rumput saja," ucap Sumi, merasa tidak enak.
"Jangan menolak rejeki, Bu. Ambil saja, lagipula sisanya untuk anak ibu, bukan untuk ibu," ujar Pak Jiwo.
"Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak."
"Sama-sama, Bu. Kalau begitu, kami pergi dulu ya, Bu. Kasihan kambing saya perutnya sudah keroncongan," kata Pak Jiwo sambil tertawa. Ia lalu menyuruh anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan.
Sumi tersenyum dan merasa bersyukur meskipun ia hidup dalam kemiskinan, namun dikelilingi oleh orang-orang yang baik hati.
Tubuhnya sangat lelah. Uang empat puluh ribu itu dimasukkan ke dalam kantongnya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di padang rumput.
"Ah, lega sekali rasanya," ucapnya lirih, setelah sejenak menikmati kenyamanan berbaring di padang rumput. Pinggang dan punggungnya yang semula terasa pegal mulai terasa normal lagi setelah lama membungkuk mengarit rumput. Kini, seluruh tulangnya bisa ia luruskan.