Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Frustasi
Pukul tujuh pagi. Setiap hari, akan ada bibi yang datang membersihkan vila. Ia juga akan menyiapkan sarapan, jika Zamar sedang menginap. Jika pekerjaannya sudah selesai, ia akan pulang dan kembali sore hari untuk membersihkan. Begitu setiap hari.
Pagi ini, bibi cukup kaget melihat foto wanita yang selama ini terpanjang, di dinding, berubah posisi dan keadaan yang tidak utuh. Meski, hanya kaca bingkainya saja yang hilang.
"Selamat pagi, Pak," sapa. bibi pada sekretaris Huan, yang pagi-pagi sudah duduk di meja makan, dengan segelas susu hangat dan roti lapisnya.
"Pagi, Bi."
Si bibi tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya, untuk membuat sarapan.
"Bibi, buat dua porsi, untuk tuan dan nona."
"Oh, baik. Tapi, Anda tidak sarapan?"
"Saya sudah sarapan, bi."
Si bibi mengangguk, kembali memotong sayuran. Menu kesukaan Zamar untuk sarapan, haruslah yang berkuah dan hangat. Sop ayam dengan potongan sayuran.
Huan bangkit setelah sarapannya habis. Ia harus memanaskan mesin mobil, karena ia harus kembali secepatnya. Lagi pula, sebentar lagi Zamar akan bangun.
Semangkuk sop hangat, sudah tersaji, ditemani sepiring lumpia kukus, berisi sayuran dan daging cincang.
"Bi, saya akan pulang lebih dulu. Temani istri saya, karena belum bangun. Jika dia bertanya, katakan saja saya ada urusan mendadak."
"Baik, Tuan."
Huan memindahkan foto Maya, di kamar Zamar, untuk sementara waktu. Agar tak dilihat Sandra, orang mabuk biasanya, akan melupakan kejadian yang ia lakukan, setelah terbangun.
Zamar sudah siap dengan setelan jasnya. Berjalan keluar lebih dulu, disusul Huan.
"Huan. Kau pernah memberitahunya lokasi ini?"
"Tidak pernah, Tuan. Semalam, saya tidak sengaja melihat nona di swalayan. Dia membeli banyak minuman keras, untuk itu saya berinisiatif mengikutinya."
"Aku tidak pernah memberi tahu, siapapun tentang Villa ini, termasuk ibuku."
"Mungkin, Anda diikuti oleh seseorang."
"Aku akan menanyakannya, langsung."
Di Villa, Sandra bangun dengan kepala yang berat dan kaki yang berdenyut. Ia memperhatikan sekeliling dan mengerutkan alisnya. Kamar yang sangat asing dan tampak bukan sedang berada dalam hotel. Gorden sudah dibuka, dan pemandangan laut, langsung menyapanya.
"Dimana ini?" Ia tidak langsung bangkit. Melainkan duduk disisi tempat tidur. Kepalanya masih terasa berat, seolah terkena hantaman balok, semalam.
"Selamat pagi, Nona."
Sandra menoleh. Wanita paruh baya, dengan rambut dikonde.
"Kau siapa?"
"Saya pelayan disini. Tuan, sudah pergi sejak tadi, katanya ada urusan mendadak. Saya sudah menyiapkan sarapan. Anda mau sarapan disini?"
"Tidak perlu. Saya akan turun. Tapi, ini dimana?"
"Ini Villa, tuan. Berada di pinggir laut, yang cukup jauh dari kota."
"Baiklah, terima kasih.
"Saya permisi."
Si bibi keluar, tanpa menutup pintu. Ia sebenarnya bingung, saat pertama kali melihat wajah nona mudanya. Ia berpikir foto yang terpajang dalam kamar dan di ruang tengah adalah istri majikannya. Ia juga sempat mencari keberadaan Sandra, yang ternyata berada dikamar tamu, bukan dikamar utama.
Sandra kini gelagapan, bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Zamar. Dua tahun, ia sudah lelah dengan perasaan yang tidak mampu, ia sembunyikan lagi. Zamar yang selalu menghindar, membuat Sandra terpaksa meminta bantuan sang ibu, untuk memata-matai suaminya.
Ia juga lelah, yang terus membohongi ibu mertuanya. Perkara anak, yang sampai saat ini, belum dikaruniai. Bagaimana anak bisa hadir, sementara mereka tidak pernah menghabiskan malam bersama.
Sandra memperhatikan kedua kakinya yang diperban. Entah apa yang terjadi semalam, kenapa kedua kakinya terluka dan karena apa? Sandra mencoba mengingat, tapi hanya ada ingatan tentang pekerjaannya dirumah sakit. Dan sedikit demi sedikit, seperti potongan puzzle mulai tersusun dalam pikirannya. Ingatannya terhenti, di swalayan dengan keranjang penuh dengan minuman alkohol.
"Apa aku minum lagi? Sial, kenapa aku malah datang kesini?" Sandra mengacak rambutnya. "Aku tidak mengatakan apa-apa, kan? Oh, Tuhan. Bagaimana jika aku mengatakan hal aneh?"
Sandra fustasi karena tidak dapat mengingat apapun.
Rasa makanan yang terasa gambar di lidah. Otak yang sibuk berpikir mencari alasan, membuatnya tidak berselera. Jika harus jujur, apa alasannya? Tidak mungkin, ia jujur dengan perasaannya. Berbohong pun, pasti akan ketahuan. Kuah sop ayam, sudah seperti air putih di lidahnya.
Ia juga masih berusaha mengingat, apa yang terjadi semalam dan tentang kedua kakinya yang luka?
"Bi. Semalam saya mabuk dan tidak ingat apapun. Kamu tahu, apa yang terjadi semalam dan kenapa kedua kaki saya diperban?"
"Maaf, Nona. Saya tidak tahu. Saya baru datang, pagi tadi. Tuan dan pak sekretaris juga tidak mengatakan apa-apa."
"Sekretaris? Maksud kamu, Huan?"
"Iya, Nona."
Hah! Sandra semakin frustasi. Bagi Sandra, Huan adalah pribadi yang tidak bisa ditebak. Irit bicara dan wajah datar, bisa saja tanpa perintah Zamar, ia akan menyelidikinya. Dia pasti ketahuan, tentang, ia memata-matai sang suami.
"Ah, saya ingat, Nona." Si bibi berhenti membilas piring yang dicucinya.
"Ingat apa, Bi?"
"Mungkin, Nona menginjak serpihan kaca. Tadi pagi, foto yang terpajang dirumah tengah, hancur."
"Foto, apa?"
"Foto wanita cantik. Saya pikir, foto itu adalah istri Tuan. Ternyata, bukan. Mungkin saudari tuan, karena foto itu banyak terpajang dalam kamar tuan."
Maya!
Langsung saja, Sandra menebaknya. Hanya Maya, tidak ada wanita lain. Zamar tidak mungkin memajang fotonya, karena didalam rumah mereka, hanya ada foto pernikahan. Itupun, ibu mertuanya yang meletakkannya.
"Dimana kamarnya?"
"Disamping kamar, Nona. Tapi, sepertinya Tuan menguncinya. Saya hanya bisa membersihkan kamar, jika tuan berkunjung."
"Baiklah."
Maya, Maya dan Maya. Selama dua tahun, kenapa kau belum melupakannya, Zamar?
Dibantu bibi, Sandra berjalan menuju mobil, untuk segera pulang. Ia tidak membawa pakaian, karena ia juga tidak sadar, akan berada disini.
"Apa aku yang menghancurkan foto itu, semalam?" Sandra semakin gusar. Karena ia bisa melakukannya, dalam keadaan mabuk. "Lalu, apa aku mengatakan sesuatu semalam?"
Sandra memukul kemudi, berkali-kali dan akhirnya menjatuhkan kepalanya. Ia tidak tahu, bagaimana harus menghadapi Zamar, saat pulang nanti.
Sandra belum juga menghidupkan mesin mobil. Ia masih duduk, dengan kepala diatas kemudi. Takut, dan malu, jika mulutnya berkata tentang perasaannya semalam.
"Bodoh, bodoh, bodoh," geramnya.
Suara sering telepon, membuatnya mengatur napas. Sang ibu mertua menelpon, pasti menanyakan keberadaannya.
"Halo, ma."
"Kau ada dimana, sayang? Kau dan Zamar tidak pulang. Apa kalian bersama?"
"Iya, ma. Kami bersama semalam. Dan sekarang, aku sedang siap-siap bekerja."
"Mama senang mendengarnya. Baiklah, mama akan menemuimu di rumah sakit. Ada hal penting, yang mama ingin bicarakan."
"Tentang, apa, ma?"
"Nanti saja, kalau kita bertemu. Ya, sudah mama tutup dulu. Kamu bersiaplah bekerja."
Apalagi ini? Sandra semakin pusing, kepalanya ingin meledak rasanya. Biasanya, ibu mertua hanya akan membicarakan tentang cucu dan mengajaknya ke dokter untuk memeriksakan diri. Dan ia, akan terus berbohong dan mengatakan hal yang sama setiap harinya.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️