Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Sementara itu, uap yang keluar dari air mendidih semakin tebal dan menutupi tubuh Ranu. Dia sedang mengalami proses penempaan alam yang sangat jarang terjadi kepada seorang pendekar. Pemuda yang sedang berkonsentrasi merasakan nadi dan aliran darahnya yang ditata, tidak merasakan panasnya uap yang menyelimuti tubuhnya.
Sudah berjam-jam Ranu mengalami proses tersebut. Tubuhnya menjadi semakin ringan dan bahkan sedikit demi sedikit terangkat ke atas namun balik lagi ke bawah.
Hingga proses penataan tersebut selesai, tiba-tiba meledaklah gelombang energi yang berasal dari tubuh Ranu. Meskipun tidak bersuara, namun gelombang energi tersebut membuat pepohonon di dasar jurang tersebut meranggas dan menggugurkan daunnya.
Batu gunung besar yang didudukinya sampai retak. Bahkan, gua tempatnya tinggal selama hidup di dasar jurang tersebut menjadi bergetar hebat. Uap panas dari air mendidih yang menyelimutinya, tiba-tiba terhisap masuk ke dalam tubuhnya melalui seluruh pori-porinya.
Surojoyo bangkit berlari karena mengira terjadi sebuah gempa. Dia sedikit takut bila gua yang ditempatinya tidur akan runtuh.
Sesampainya di luar gua, matanya melotot dibuat terheran-heran karena pepohonan yang berada di dasar jurang mayoritas gundul dan menggugurkan daunnya.
"Kalau semua pohon gundul begini, besok dan seterusnya aku makan apa?" pikirnya dalam hati.
Namun sorot matanya tertuju kepada beberapa pohon pisang yang masih berdiri dengan tegak dan buahnya juga masih utuh tergantung di batangnya, "Lumayanlah dari pada tidak sama sekali."
Surojoyo masih belum menyadari jika pohon-pohon yang meranggas itu akibat ledakan energi dari tubuh Ranu.
Lelaki tua bertubuh pendek tersebut kemudian berjalan untuk melihat keadaan Ranu. Dari jauh dilihatnya posisi Ranu masih tetap seperti semula. Namun begitu dia sudah sampai di bibir kolam, Surojoyo tidak bisa menahan keterkejutannya.
"Apa yang terjadi dengan batu itu? Kenapa bisa retak merata seperti seperti habis terkena ledakan?"
Surojoyo kemudian menganalisa kejadian yang dilihatnya. Jika terjadi gempa, tidak mungkin pepohonan sampai menggugurkan daunnya dan batu besar yang diduduki Ranu sampai retak. Namun kalau terjadi ledakan, kenapa tidak ada suaranya?Dia lalu memandang dengan seksama ke arah tubuh Ranu. Surojoyo bahkan sampai menyipitkan matanya, karena merasa melihat uap panas yang keluar dari air mendidih di dalam kolam terhisap masuk ke dalam tubuh Ranu.
Surojoyo sempat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun setelah mengucek matanya berkali-kali, dia baru percaya dengan apa yang dilihatnya.
Setelah menunggu beberapa saat, Surojoyo melihat Ranu membuka matanya. "Sepertinya dia sudah berhasil menyelesaikan prosesnya," gumamnya.
Sebelum Surojoyo hendak meloncat ke atas batu yang diduduki Ranu, ternyata pemuda itu sudah terlebih dahulu meloncat ke bibir kolam. Gerakannya tak kalah ringan dengan yang dilakukan Surojoyo.
Tiba-tiba, batu yang tadi menjadi tempat duduk Ranu hancur berkeping-keping dan tenggelam ke dalam kolam. Surojoyo dan Ranu yang kaget bahkan sampai meloncat menjauh.
"Eladalah ... kok bisa sampai seperti itu? Kau apakan batu itu, Ranu?"
Ranu yang tidak paham dengan yang dimaksud Surojoyo hanya menggaruk kepalanya sambil menggeleng, "Aku hanya melakukan apa yang Kakek perintahkan."
Surojoyo tak habis pikir dengan berbagai kejadian yang dialaminya hari ini. Dia sudah tidak bisa berpikir secara logika, karena memang kejadiannya sulit untuk dipahami dengan nalar sehat.
"Sudahlah, ayo kembali ke dalam gua!" ajaknya.
Ranu mengekor di belakang Surojoyo yang berjalan terlebih dahulu dengan tergesa-gesa.
Sesampainya di dalam gua, Surojoyo meraih pergelangan tangan Ranu dan memeriksanya.
Senyumnya mengembang lebar seperti sedang menemukan emas permata.
"Detak nadi dan aliran darahmu sudah normal,Ranu. Sekarang kau sudah bisa menyimpan tenaga dalam di tubuhmu."
"Benarkah, Kek?"
Surojoyo mengangguk, "Hari sudah menjelang malam, sekarang istirahatlah dulu! Besok pagi Kakek akan mengajarimu mengolah tenaga dalam dan bagaimana memfungsikannya"
"Apakah lama proses mempelajarinya, Kek?"
"Tergantung kemampuanmu untuk menyerap apa yang Kakek ajarkan. Setelah nanti kau bisa menggunakan tenaga dalam yang Kakek ajarkan, kau masih harus belajar mengeluarkan potensi tenaga dalam Dewa Api di dalam tubuhmu," jawab Surojoyo.
Ranubaya mengangguk meski tidak terlalu paham. Dia takut kakek angkatnya akan memarahinya lagi seperti siang tadi.
Malam gelap datang menyapa, cahaya obor kecil sedikit menerangi ruangan dalam gua. Ranu yang masih belum tidur mengingat kembali semua gerakan jurus Pukulan Dewa Api yang sudah dihapalnya mulai awal sampai akhir.
Secara perlahan, matanya terasa semakin berat dan akhirnya dia pun tertidur dengan pulasnya.
Di dalam mimpinya, kejadian perampokan dan pembantaian yang terjadi di kampungnya, muncul dengan begitu jelas. terlihat juga pembantaian yang membuat kedua orang tua kandungnya mati dengan begitu tragis.
Ranubaya menyimpan erat wajah para pemerkosa dan pembunuh kedua orang tua dalam memori otaknya. Dia berjanji suatu saat dia akan menuntut balas.
Ranu terbangun dari mimpinya, nafasnya tersengal sengal bagai habis berlari jarak jauh.
"Ayah, Ibu, aku berjanji akan membalaskan dendam kematian kalian dan membuat kalian bangga mempunyai anak sepertiku." gumamnya dalam hati.
Pandangan mata Ranu lantas tertuju kepada obor kecil yang menyala redup tertiup hembusan angin yang berasal dari luar gua.Semakin lama Ranu memandang obor kecil itu, nyala apinya semakin membesar. Dia lalu menghentikan pandangannya dan kembali merebahkan tidurnya.
Seberkas sinar matahari pagi yang tidak terlalu terang memasuki dalam gua. Ranu bangun dari tidurnya dan menggeliatkan badan untuk melemaskan urat-uratnya. Dia menguap lebar lalu berjalan keluar dari gua menuju sungai.
Sambil bersiul kecil, Ranu berendam di dalam sungai yang tidak terlalu dalam tersebut cukup lama. "Sayang sekali tidak ada ikan yang hidup di sungai ini," batinnya.
Selesai mandi, Ranu bergegas mengambil buah pisang yang sudah masak di pohonnya. Dia lalu membawanya ke dalam gua dan menaruhnya di lantai.
Sambil menunggu Surojoyo bangun dari tidurnya, Ranu membuka kitab Jurus Dewa Api dan membuka bab tentang pengendalian tenaga dalam Dewa Api.
Mata pemuda 16 tahun itu mengawasi dengan seksama setiap kalimat yang tertulis di lembaran kertas. Dia membacanya berulangkali dan berusaha menghapalkannya agar dalam prakteknya nanti bisa lebih lancar.
"Ternyata harus melalui beberapa tahapan agar bisa menguasainya dengan sempurna," ucapnya pelan.
"Hoaaaam!"
Surojoyo menguap lebar seperti buaya yang lagi berjemur. Lelaki tua bertubuh pendek itu kemudian mengucek matanya dan melihat Ranu yang sedang fokus membaca kitab Jurus Dewa Api.
"Kau sudah bangun, Ranu, Kenapa tidak membangunkan Kakek?"
"Ah, kakek sudah bangun ternyata. Aku lihat kakek tertidur dengan pulas. Kuatirnya kalau aku bangunkan dan kakek sedang bermimpi indah, bisa-bisa aku kena marah lagi."
"Bocah semprul, pagi-pagi sudah ngajak bercanda!" Surojoyo menggelengkan kepalanya.
"Kakek, kalau mau naik ke atas lewat mana?" tanya Ranu.
"Kamu kenapa mau ke atas?" Surojoyo mengernyitkan dahinya penasaran.
"Ah, tidak apa-apa. Cuma mau tanya saja," sahut Ranu.
"Tidak ada jalan untuk ke atas, Ranu."
"Lalu Kakek kalau ke atas lewat mana?"
Klaim
"Dengan ilmu meringankan diri. Jadi kalau kamu tidak bisa ilmu tersebut, selamanya kamu tetap disini."
"Oooh!" Ranu mengerucutkan bibirnya.
"Sudah, Kakek mau mandi dulu," sergah Surojoyo sebelum Ranu bertanya yang lain.
Selepas Surojoyo Keluar dari gua, Ranu melanjutkan membaca kitab Jurus Dewa Api. Namun di beberapa bagian dia merasa ada beberapa hal yang belum dipahaminya.
Ranu menutup kitab tersebut dan menaruhnya di balik bajunya sesuai pesan Surojoyo yang menyuruhnya tidak boleh ditaruh sembarangan.
Pemuda tanggung itu kemudian keluar dari gua sambil membawa beberapa biji buah pisang untuk mengganjal perutnya.
Setelah berada di luar gua, Ranu baru menyadari kalau jurang tersebut sangat luas. Dia melihat sekeliling dan terlihat hanya pepohonan besar dan semak belukar yang lebat. Ingin dia menyusuri seisi jurang tersebut namun belum ada keberanian di hatinya.
Sesaat dia merasa ada sebuah energi besar yang seperti menariknya untuk datang ke tempat yang jauh itu."Kamu melihat apa, Ranu?" tegur Surojoyo ketika melihat Ranu sedang menatap jauh ke sekitar dasar jurang tersebut.
"Di sana ada apa, Kek?" tanya Ranu sambil mengarahkan jari telunjuk.
"Sama seperti di sini. Tidak ada yang istimewa di sana."
Ranu mengangguk pelan. Meski begitu rasa penasarannya masih tetap begitu besar.
"Ayo masuk ke dalam. Kakek ajari cara mengolah tenaga dalam." Surojoyo melangkah diikuti Ranu di belakangnya.
***
"ikuti semua arahan Kakek!" ujar Surojoyo yang sudah mengambil posisi bersila
"Ya, Kek," jawab Ranu. Dia lalu mengambil posisi duduk bersila dengan mata tertutup agar dapat berkonsentrasi.
"Letakkan kedua tanganmu di atas lutut dengan posisi telapak tangan menggenggam rileks atau renggang. Atur posisi punggung tegak dan kepala lurus menghadap ke depan. Tarik nafas melalui hidung sambil kedua tangan digerakkan melingkar ke samping tubuh, lalu gerakkan ke atas melewati kepala depan, kemudian gerakkan turun hingga berada di depan dada dengan membentuk kepalan pada tangan kanan, dan tangan kiri menopang kepalan tangan kanan," papar Surojoyo memberi pengarahan
Ranu mengikuti semua arahan kakek angkatnya tersebut secara perlahan.
"Tarik nafas lalu tahan sejenak!"
Di saat Ranu menahan nafas, dia merasakan ada desiran angin yang halus dan berputar di dalam tubuhnya.
"Hembuskan nafas melalui mulut sambil mengulurkan kedua tangan ke depan, lalu ke samping tubuh, dan kembali ke posisi semula."
Ranu merasakan tubuhnya terasa ringan.