Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Dia baru tahu, kalo Arsenio itu keturunan dari keluarga mafia. Akankah dia tetap mencintai Arsenio?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita masa kecil Arsenio
Di sudut ruang pribadi kampus, ketegangan merayap masuk tanpa diketahui. Eliano, duduk lesu di sofa, memilin-milin rambut Agatha dengan gerakan otomatis, sementara Agatha, dengan lembut mengusap-usap rambut Gwen yang masih terisak, mengizinkan kepala adiknya itu terkulai lemah di pangkuannya. Dia sengaja di panggil ke sini untuk menegangkan Gwen.
Di sisi lain, Danny mencoba mengusir kebosanan dengan asyik bermain game online. Namun, kegagalan beruntun dalam permainannya hanya menambah berat hati. Ia melirik Gwen yang kini telah berhenti menangis, namun wajahnya masih bengkak dan muram.
"Udah, cil. Stop nangisnya, Nio pasti nggak apa-apa. Bentar lagi dia bakal kembali," ucapnya mencoba menghibur, meski sudah beberapa kali mengulangi kata-kata itu.
Tapi suasana hati Gwen belum juga membaik. "Gimana nanti kalau kak Nio benar-benar masuk penjara? Trus orang yang buat berita itu punya bukti kuat untuk menjatuhkan kak Nio," tanyanya dengan raut cemberut.
Danny berusaha menenangkan dengan secercah keyakinan, "Ga akan, Nio selalu bersihin bukti-bukti setiap kali dia melakukan sesuatu. Jadi ga ada orang yang tahu kok."
Gwen menyodorkan pertanyaan yang penuh keingintahuan. "Tapi siapa tahu Kak Nio lengah, kan?" serunya dengan mata berbinar.
Eliano, sambil mengacak-acak rambut Gwen, mengomentari dengan nada semeringah, "Terlalu banyak mikir nih, bocah."
Gwen, menyipitkan matanya, menolak candaan Eliano. "Ish, jangan diacak tahu. Kak Tata liat tuh, pacar Kakak, selalu gitu," protesnya. Sementara itu, Agatha hanya tersenyum tipis, menenangkan suasana dengan menopangkan kepala di dada Eliano.
Danny mencoba mengalihkan perhatian mereka. "Cil, daripada lo cemberut terus, gimana kalau gue cerita masa kecil Nio?" tawarnya, bersemangat.
Gwen, rasa penasarannya terpicu, merespon cepat. "Mau!"
Namun Eliano, seolah mengingatkan Danny, menegurnya. "Dan!"
"Ga papa, El. Saatnya dia tahu masa lalu Nio. Tunggu Nio yang cerita. Ga bakal dia cerita, gue rasa. Gwen berhak tahu soal Nio," Danny membela penasarannya Gwen.
"Kenapa kak Nio, Kak?" tanya Gwen, khawatir menerka-nerka.
"Tapi janji ya, setelah Nio kembali, lo ga boleh ungkit lagi, ok? Nio ga suka itu," instruksi Danny dengan serius.
Gwen mengangguk, mulai mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kalo lo pikir masa kecil Nio itu bahagia, lo salah besar, Gwen. Dia umur enam tahun diculik oleh musuh papinya selama satu minggu," ungkap Danny, membuka kisah yang gelap.
Mata Gwen melebar, penuh kejut dan ketidakpercayaan. Arsenio, dengan tampang sempurnanya, ternyata menyimpan kisah pilu dari masa lalunya. "Bayangkan, Nio diculik, dijual ke seorang wanita yang sangat jahat, yang menahan dia dan anak-anak lain dalam kondisi menyedihkan," cerita Danny dengan suara bergetar.
Dia menghela nafas sebelum melanjutkan, "Dia nggak pernah memberi mereka makanan yang cukup, hanya sedikit minuman. Yang lebih parah, wanita itu sering melakukan tindakan-tindakan tak pantas di hadapan mereka, termasuk Nio."
Danny menghentikan kata-katanya, sepertinya berat untuk dilanjutkan. Gwen menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca saat dia mendengarkan lebih lanjut. "Setelah Om Vincent berhasil menemukan Nio, dia menjadi sangat traumatik, menjerit histeris setiap kali ada yang coba nyentuh dia. Bahkan Tante Ellie pun ditolaknya," lanjut Danny dengan nada penuh empati. "Trauma yang ditinggalkan wanita itu pada Nio sangat dalam," tambahnya lirih.
Danny menghentikan pembicaraan, "El, tolong lanjutin... gue... gue nggak sanggup lagi," ujarnya sambil mengakhiri ceritanya dengan penuh kelelahan emosional.
Eliano menghela nafas berat, kedua tangannya terkulai lemas di samping tubuh. "Kan sudah gue bilang, jangan cerita, bukan hanya Nio yang tersakiti, kita juga ikut merasa sakit melihat teman kita menderita seperti itu," ucapnya dengan suara yang berat.
Sesaat, suasana menjadi hening, hanya terdengar suara isakan Gwen yang semakin menjadi. Danny melirik ke arah Gwen yang bibirnya bergetar menahan tangis, "Gue pikir cara itu bisa buat Gwen berhenti mikirin Nio, tapi ternyata malah buat dia makin sedih," gumamnya lirih.
"Lima tahun lamanya tante Ellie berjuang keras buat nyembuhin Nio, mencoba mengembalikan dia seperti semula. Makanya, saat lo mencoba dekatin Nio, dia ga peka sama perasaannya sendiri. Trauma yang dia alami masih menghantuinya, terutama trauma terhadap perempuan," lanjut Eliano dengan nada penuh penyesalan.
Gwen menundukkan kepala, bibirnya mengerucut sedih. "Berarti aku malah buat trauma kak Nio kambuh ya? Aku jahat banget," ucapnya dengan nada yang hampir tidak terdengar.
Namun, Eliano menggeleng, matanya menatap Gwen penuh pengertian. "Lo salah, Gwen. Lo itu beda. Sejak Lo dekat dengan dia, traumanya sama sekali tidak kambuh. Malah katanya, saat dekat sama lo, dia merasa seperti dekat dengan tante Ellie—rasa yang menenangkan," katanya, memberikan sedikit kenyamanan kepada Gwen yang mulai menemukan titik terang di tengah kesedihannya.
Danny menoleh kepada Gwen yang wajahnya basah oleh air mata, sambil menjelaskan, "Jadi, maklum saja kalau dia agak kaku memperlakukan lo, dia sama sekali nggak tahu,".
Gwen mengangguk perlahan, namun isak tangisnya terus mengalir tanpa henti. Agatha mendekat, mengusap lembut punggung Gwen yang terguncang oleh tangisannya.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Arsenio masuk, ekspresi wajahnya datar namun matanya membesar saat melihat Gwen. Tanpa menunggu, Gwen segera bangkit dan memeluk Arsenio dengan erat, meremas baju di punggungnya.
"Aku pikir kamu sudah berhenti menangis, tapi ternyata masih menangis," gumam Arsenio lirih. Arsenio membalas pelukan itu, mengusap punggung Gwen yang masih bergetar, "Aku nggak akan masuk penjara," ucapnya berusaha menenangkan.
"Iya, aku janji nggak akan ninggalin, Kak Nio," kata Gwen di antara isak tangisnya.
"Aku tahu," bisik Arsenio sambil mengecup pucuk kepala Gwen lembut.
Danny berdehem ringan, mencoba mengalihkan perhatian mereka. Ketegangan di wajahnya terlihat jelas, khawatir Gwen akan mengungkit semuanya kepada Arsenio.
"Siapa pelakunya?" tanya Danny, mencoba mencari kebenaran.
Tanpa melepaskan pelukan, Arsenio menjawab dengan suara rendah, "Maudy yang melakukannya."
Keterkejutan tergambar di wajah Danny, "Wah, berani sekali dia," gumamnya.
Eliano yang masih duduk tampak heran, "Tapi bagaimana bisa dia seberani itu?"
Arsenio menghela nafas, "Maudy kerjasama dengan dia," katanya.
"Masih aja dia benci lo, gue pikir dia udah berhenti," kata Danny.
"Nggak semudah itu, Dan" kata Arsenio.
" Tahu kok,"kata Danny.
" Dia itu siapa?"tanya Gwen melerai pelukan dengan mata memerah serta air mata masih mengalir menatap Arsenio.