Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK MAU PULANG
Hana memasuki ruang kelas dengan langkah lesu dan raut wajah murung. Melihatnya, Darren, Lena, dan Amina langsung mendekat dengan penuh semangat.
"Selamat pagi, Hana!" seru mereka serempak, berniat memberi kejutan kecil untuknya. Namun, Hana hanya melirik sekilas, membalas dengan senyum tipis, lalu kembali melangkah menuju kursinya tanpa banyak bicara.
Ketiganya saling bertukar pandang, menyadari bahwa ada yang berbeda dari Hana hari ini. Biasanya, ia selalu ceria, tetapi kini tampak begitu diam dan murung. Tak ingin tinggal diam, mereka kembali mendekati Hana yang sudah duduk di kursinya. Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit cemas, mereka bertanya.
"Ada apa denganmu, Hana?" tanya Amina sambil mendekat.
"Tidak ada apa-apa," jawab Hana dengan suara pelan.
Darren semakin mendekat, menatap mata Hana dengan intens, mencoba mencari jawaban. "Tunggu sebentar, apa kau habis menangis?" tanyanya, membuat Amina dan Lena ikut menatap Hana dengan lebih serius.
Hana terlihat sedikit gelagapan, lalu buru-buru mengusap matanya. "Tidak ada," bantahnya cepat.
"Hana, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Lena, masih tak percaya dengan jawaban Hana.
"Tidak ada, mataku hanya terkena debu tadi," dalih Hana, berusaha menutupi sesuatu.
Ketiganya kembali saling bertatapan, seolah berbicara tanpa kata. Mereka tahu ada sesuatu yang Hana sembunyikan, sesuatu yang mungkin belum siap ia ceritakan kepada mereka. Namun, mereka memilih untuk tidak memaksanya. Jika Hana ingin berbagi, mereka yakin ia akan melakukannya dengan sendirinya.
Tiba-tiba, Hana mengangkat wajahnya dan menatap mereka dengan ragu. "Bolehkah aku minta tolong?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.
Darren, Lena, dan Amina menoleh dengan penuh perhatian. "Tentu saja, Hana. Tolong apa?" tanya Lena, berusaha membuatnya merasa nyaman.
Hana menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengungkapkan permintaannya. "Keluargaku sedang pergi ke luar kota, dan aku merasa sangat kesepian di rumah. Bolehkah aku tinggal bersama kalian sehari saja?" tanyanya dengan nada penuh harap, matanya bergantian menatap ketiga sahabatnya.
Ketiganya kembali saling bertatapan, kali ini dengan ekspresi penuh keheranan. Tumben sekali Hana meminta sesuatu seperti ini, pikir mereka. Biasanya, Hana adalah orang yang selalu terlihat mandiri dan jarang mengungkapkan kesedihannya. Namun kali ini, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat mereka tidak tega menolak.
"Emm, boleh saja. Jika kau mau, kau bisa tinggal bersamaku. Aku anak kost, tapi kosku sederhana. Apa kau tetap ingin menginap?" tanya Lena sambil menatap Hana dengan serius.
Tanpa berpikir panjang, Hana langsung mengangguk. Baginya, tempat bukanlah masalah. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah kebersamaan agar tidak merasa sendirian. Melihat reaksi Hana, Lena ikut mengangguk, merasa senang karena bisa membantu sahabatnya.
"Kau pasti diizinkan, kan?" tanya Amina, membuat Hana terdiam sejenak.
Hana terlihat berpikir, mempertimbangkan kemungkinan yang ada. Lalu, setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. Ia tidak yakin sepenuhnya, tapi ia lebih memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu sekarang.
Bel sekolah tiba-tiba berbunyi, menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Para siswa yang masih berada di luar kelas bergegas memasuki ruangan masing-masing.
Hana tanpa sengaja melirik ke arah pintu kelas dan melihat Rei baru saja masuk. Seketika, dadanya terasa sedikit sesak, tetapi ia tidak tahu kenapa. Perasaan itu semakin kuat saat Livy—gadis yang akhir-akhir ini selalu bersamanya—ikut masuk tidak lama setelah Rei.
Hana menghela napas pelan. Pasti mereka berduaan lagi… pikirnya, mencoba untuk tidak terlalu memedulikannya. Ia menundukkan kepala dan berusaha mengalihkan pikirannya ke hal lain, tapi tetap saja, perasaan itu tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Waktu berlalu, dan akhirnya jam sekolah pun berakhir. Begitu bel pulang berbunyi, Hana dan Lena segera bergegas keluar kelas. Mereka berjalan bersama menuju parkiran, lalu menaiki sepeda motor milik Lena.
Sementara itu, di tempat biasa—di mana Hana dan Rei biasanya saling menunggu sebelum pulang—Rei menunggu Hana di dalam mobil. Ia menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencari seseorang. Namun, yang ditunggunya tidak kunjung datang.
Di atas motor, Hana sebenarnya sempat ingin menoleh ke arah tempat itu, tapi ia menahan dirinya. Ia tahu bahwa jika ia melihat ke sana, ia hanya akan merasa lebih sesak. Jadi, ia memilih untuk tetap diam, membiarkan angin perjalanan menenangkan pikirannya.
Rei terus mencoba menelepon Hana, tetapi setiap kali ia menekan tombol panggil, hanya suara operator yang terdengar. Nomornya tidak aktif.
"Kemana gadis itu?" gumamnya dengan dahi berkerut. Biasanya, sekalipun pergi lebih dulu, Hana selalu mengabarinya. Tapi kali ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, bahkan tidak ada tanda-tanda ke mana dia pergi.
Rei mencoba mengingat-ingat, mencari kemungkinan yang masuk akal. Mungkinkah karena pertengkaran mereka semalam? Apakah Hana masih marah padanya sehingga memilih menghindar?
Rei menghela napas berat, perasaan jengkel dan khawatir bercampur menjadi satu. Hana tidak biasanya seperti ini. Sekalipun mereka bertengkar, gadis itu selalu memberinya kabar. Tapi kali ini, ia menghilang begitu saja tanpa jejak.
Namun, bukannya terus memikirkan hal itu dan memperumit keadaan, Rei akhirnya memutuskan untuk pulang. Mungkin Hana memang butuh waktu sendiri, dan ia tidak ingin memaksanya.
Begitu sampai di rumah, langkahnya sedikit tergesa. Ia membuka pintu dan segera melangkah masuk, matanya langsung menyapu seluruh ruangan, mencari sosok yang diharapkannya sudah ada di sana lebih dulu.
Namun, yang didapatinya hanyalah keheningan. Ruang tamu kosong, sofa tertata rapi seperti belum ada yang mendudukinya. Ia berjalan ke dapur, berharap menemukan Hana di sana, mungkin sedang membuat teh atau sekadar duduk sambil melamun. Tapi dapur pun sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Dia juga memeriksa kamar mereka, namun tetap Juga kosong.
Rei menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Kemanakah Hana sebenarnya? Dan mengapa ia tidak memberitahunya?
Di sofa ruang tengah, Adara sedang duduk santai, membaca majalah sambil ditemani si kembar yang baru saja pulang. Saat melihat Rei masuk dengan wajah sedikit kusut dan masih mengenakan pakaian sekolah, Adara mengangkat alis, merasa ada yang aneh.
"Ada apa, Rei?" tanyanya dengan nada penasaran, meletakkan majalahnya di atas meja.
Si kembar yang sedari tadi asyik dengan mainannya juga ikut menoleh, memperhatikan ekspresi Rei yang tampak tidak biasa.
klo nunggu sehari satu,, kaya kurang puas. maaf