LEGENDA PENDEKAR DEWA API ( LPDA )
Di suatu siang yang terik di Dusun Karangasri, terlihat 5 orang anak lelaki berumur sekitar 12 tahun yang sedang bersantai di sebuah pohon besar berdaun lebat.
Salah seorang di antaranya terlihat menunjuk kepada seorang anak lelaki yang seumuran sebaya dengan mereka bertiga.
"Sanjaya, Lihat ... itu ada si pecundang lewat!" serunya dengan raut muka berseri-seri.
"Wah ... Kebetulan sekali dia lewat sini. Kemarin dia bisa lolos, namun sekarang aku pastikan dia akan menerima pukulan dariku!" ucap seorang anak berbadan paling besar di antara sekumpulan anak tersebut.
Namanya adalah Sanjaya, anak seorang saudagar kaya di kampung tersebut. Bakat ilmu kanuragannya juga paling tinggi di antara teman sebayanya, bahkan yang secara umur sedikit di atasnya. Sudah lima tahun dia dikirim ayahnya untuk berlatih ilmu kanuragan di Perguruan Elang Hitam.
"Cepat cegat dia dari belakang dan depan! Pastikan dia tertangkap atau kalian yang akan kuhajar!" sambung Sanjaya penuh semangat.
Empat orang anak lelaki tersebut langsung berlari ke depan dan di belakang anak yang ditunjuk tadi masing-masing dua orang. Tanpa perlawanan, mereka berempat bisa dengan mudah meringkus anak tersebut.
Sanjaya dengan membusungkan dadanya mendekati mereka berlima, "Pegangi dia!"
Sebuah pukulan langsung dilepaskan Sanjaya dan secara telak mengenai perut korbannya yang sudah tidak bisa berkutik sama sekali.
Buuuugh!
Bruaaaak!!!
"Cuih, Dasar pecundang kau, Ranu! Buat apa kau hidup jika kau tidak mempunyai bakat sama sekali. Lebih baik kau mati saja!" bentak Sanjaya selepas meludah ke wajah pemuda yang dipanggilnya Ranu.
Seringai tawa mengejek terdengar dari lima pemuda yang menertawakan teman sepermainan, atau lebih tepatnya korban kejahilan mereka setiap hari, yang baru saja jatuh menimpa sebuah tumpukan kayu.Ranubaya, atau akrab disebut Ranu, korban kejahilan sekumpulan anak-anak tersebut hanya diam meringis menahan rasa sakit di pingang dan punggungnya. Entah, kali ini sudah yang ke berapa kalinya dia harus menahan sakit akibat kejahilan teman-temannya. Dia sudah lelah untuk menghitungnya karena saking seringnya dibuat celaka.
Ingin rasanya dia mengadu kepada orang tuanya tentang perlakuan Sanjaya dan teman-temannya, tapi apa daya, orang tuanya hanya sepasang suami istri miskin yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah miskin,tidak punya ilmu kanuragan pula.
Dia teringat pernah suatu hari selepas dia dikerjai oleh Sanjaya dan teman-temannya, Ranu mengadu kepada ayahnya.
Namun jawaban yang keluar dari mulut ayahnya tersebut tidak sesuai yang diharapkannya.
Seorang ayah yang dia harapkan bisa menolongnya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ranu anakku, ayah hanya bisa bilang sabar kepadamu, Nak. Kita ini orang miskin dan tidak punya kemampuan apa-apa untuk melawan mereka. Kalau kau ingin melawan mereka, kau harus menjadi lebih kuat entah apapun cara yang akan kau lakukan."
Ranu diam menunduk mendengar ucapan ayahnya. Dia tahu kehidupan keluarganya tidak seberuntung keluarga yang lainnya di kampung tersebut.
Oleh sebab itu dia berjanji tidak akan pernah mengeluh dan mengadu lagi kepada orang tuanya.
"Aku harus lebih kuat!" ucapnya bertekad dalam hati.
Ranu menatap wajah ayahnya lekat-lekat. Dia melihat sosok yang teduh dan bertanggung jawab kepada keluarga.
Meskipun hidup dalam kesusahan, dia tidak pernah melihat kedua orang tuanya mengeluh atas kehidupan yang mereka alami. Senyum selalu tersungging di bibir orang tuanya, meski penderitaan tiap waktu bisa saja datang menghampiri.
"Cokro, Kirno, angkat dia!" perintah Sanjaya.
Dua orang teman atau bisa dibilang sudah seperti anak buah Sanjaya, langsung bergerak mengangkat kedua lengan Ranu.
Bugh!
Ranu hanya bisa diam ketika sebuah pukulan kembali mendarat di perutnya berulang kali. Meski dia sudah mengeraskan perutnya dengan menahan napas, namun masih saja terasa nyeri ketika pukulan Sanjaya bersarang di perutnya.
Bugh! Bugh!
Ranu jatuh tersungkur ketika dua pukulan tepat mengenai ulu hatinya dan membuatnya sulit bernapas. Tanpa mengaduh sedikitpun, bocah malang itu memegangi ulu hatinya yang nyeri.
"Hahahaha ... inilah akibatnya jika kau tidak punya bakat ilmu kanuragan. Kau hanya akan terus menjadi pecundang!"
Mendengar ucapan Sanjaya yang mengejeknya, emosi Ranu pun tersulut, "Aku bukan pecundang!" ucapnya lirih.
"Pecundang tetap pecundang.
Meski kamu berlatih seratus tahun sekalipun, kamu tidak akan bisa menjadi sekuat aku!" sahut Sanjaya dengan sombongnya.
"Ayo kita tinggalkan pecundang ini disini!"
Sanjaya melangkah pergi dengan puas diikuti empat orang teman yang juga abdi setianya.
Ranu dan kedua orang tuanya adalah salah satu penduduk Dusun Karangasri. Dia dan sebagian besar penduduk dusun tersebut bisa dibilang tidak beruntung karena tidak bisa mempelajari ilmu kanuragan.
Faktor ekonomi berperan sangat besar terhadap ketidakmampuan mereka belajar ilmu kanuragan.
Hal itu disebabkan karena mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan juga karena jarak yang lumayan jauh untuk mencapai Perguruan Elang Hitam dan juga Perguruan Teratai Putih yang berada di dusun lain.
Hanya ada beberapa saja penduduk di dusun tersebut yang baru sekitar lima tahun ke belakang mempelajari ilmu kanuragan, itupun karena mereka memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar biaya masuk dan biaya hidup selama berlatih di perguruan.
Sudah jamak diketahui, bahwa untuk masuk dan berlatih di sebuah perguruan silat, setiap orang harus membayar sejumlah biaya yang nominalnya tidak sedikit. Dan bagi penduduk di Dusun Karangasri yang mayoritas kehidupannya di bawah garis kemiskinan, tentunya itu menjadi hal yang berat
Khusus Ranu, bukan hanya faktor ekonomi yang hanya menjadi penghambatnya, namun juga ucapan salah satu tetua Perguruan Elang Hitam yang mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa mempelajari ilmu kanuragan sampai kapanpun juga.
Hal itu dikarenakan dia memiliki detak nadi dan juga aliran darahnya yang tidak beraturan. Sehingga dirinya tidak akan bisa menyimpan tenaga dalam di tubuhnya. Berbagai jenis ramuan ataupun bentuk terapi, tidak akan berguna untuk menyembuhkan 'penyakit' yang aneh tersebut.
Bagi mereka yang ingin menjadi seorang pendekar, detak nadi dan aliran darah yang tidak beraturan adalah mimpi paling buruk diantara yang terburuk. Jika faktor ekonomi masih bisa dicari solusinya, tapi yang dialami Ranu tidak akan ada obatnya.
Ranu kemudian berusaha bangkit dan berjalan sambil tertatih-tatih menuju rumahnya. Matanya nanar dan berkunang-kunang akibat hajaran tadi. Dia kemudian meraih sebuah ranting kayu lumayan panjang dan memiliki ukuran sebesar jempol kaki untuk menopang tubuhnya.
Di tengah perjalanan, Ranu melewati sebuah kompleks reruntuhan kuil kuno kecil yang sudah tidak terawat lagi. Karena merasa ulu hatinya masih terasa perih akibat pukulan Sanjaya tadi, dia pun kemudian memasuki kompleks reruntuhan kuil kuno tersebut dan duduk di sebuah bangunan kecil yang masih tersisa.
Sambil terus memegangi ulu hatinya, matanya memandang ke sekeliling untuk melihat bekas reruntuhan kuil kuno tersebut.
Tatapan matanya tiba-tiba terhenti ketika melihat sebuah lantai kayu yang sedikit terbuka. Samar-samar dia melihat di bawah lantai kayu itu, ada sebuah kitab yang sepertinya sengaja disembunyikan di bawahnya.
Kitab tersebut mempunyai sampul berwarna kuning kemerahan dan sedikit tebal.
Ranubaya yang merasa penasaran dengan keberadaan kitab tersebut, kemudian berdiri dan membuka lantai kayu dengan perlahan.
Tangannya bergerak mengambil kitab tersebut, namun tiba-tiba dia merasakan rasa sakit dan panas seperti tergigit sesuatu hewan atau semacamnya.
Meski rasa sakit masih terasa, dia nekat untuk membongkar lantai kayu untuk mengambil kitab dan juga untuk menjawab rasa penasaran apa yang membuat tangannya terasa sakit.
Kedua bola mata Ranu membeliak lebar melihat seekor ular kecil seukuran jari kelingking dan memiliki panjang hanya sekitar dua jengkal jari serta berwarna merah menyala, tampak sedang melingkar di samping kitab tersebut.
Ranubaya yang hendak mengusir ular tersebut kemudian meraih ranting kayu di dekatnya. Dia lalu balik memandang ke tempat ular yang melingkar tadi. Namun, kembali dia dibuat terkejut karena sudah tidak melihat lagi si ular berada di tempatnya.Pemuda berbadan sedang dan memiliki wajah pas-pasan itu kemudian memandang ke sekeliling untuk mencari keberadaan ular yang disinyalir sudah mematuk tangannya.
Namun setelah beberapa saat mencari, keberadaan ular tersebut tak juga dia temukan.
Dia kemudian mengambil kitab bersampul kuning kemerahan itu dan membersihkannya dari debu yang menempel.
Bersamaan dengan hilangnya ular tersebut, rasa sakit dan panas yang dia rasakan di tangan juga turut menghilang. Ranu menyadari hal tersebut, tapi dia beranggapan mungkin karena efek yang dikeluarkan bisa ular tersebut tidak terlalu besar, sehingga hanya sekejap saja sudah menghilang.
Ranu lantas memandang kitab bersampul kuning kemerahan tersebut dengan seksama dan membaca judul yang terdapat di sampulnya.
"Jurus Dewa Api!"
Sedikit terkejut anak lelaki tersebut membacanya. Namun dia tidak berpikir untuk membacanya sekarang dan akan membacanya nanti ketika di rumah. Ranu lalu memasukkan kitab kuno tersebut dan memasukkannya ke dalam balik bajunya.
Sambil menahan rasa sakit di ulu hatinya, dia lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kompleks reruntuhan kuil kuno.
Sebelum keluar, dia menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada Sanjaya dan teman-temannya berada di sekitar tempat itu.
Setelah dirasanya aman, Ranu kemudian berlari secepat yang dia mampu untuk menuju rumahnya. Dengan nafas terengah-engah, Ranu langsung masuk ke dalam rumah dan mengambil segelas air lalu diminumnya.
Setelah itu dia masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kitab yang tadi ditemukannya dari balik bajunya.
Ranu menimang-nimang kitab kuno itu sebentar lalu kembali membaca tulisan yang terdapat di sampul.
"Jurus Dewa Api."
Sebelum melanjutkan membuka dan membaca halaman yang ada di dalam kitab tersebut, pikiran Ranu menerawang jauh, dia tersenyum membayangkan dirinya berada di tingkat puncak kependekaran.
"Hmmm ... pasti Ayah dan ibu akan bangga kepadaku," gumamnya dalam hati.
Selepas mengambil napas panjang, dengan perlahan Ranu membuka sampul kitab tersebut. Di halaman pertama, dia langsung dibuat kaget karena melihat gambar ular melingkar yang berwarna merah.
Pikirannya langsung tertuju dengan ular yang tadi mematuknya, dan menurutnya sama persis secara warna maupun bentuknya dengan gambar ular yang berada di halaman pertama tersebut.
Ranu yang masih polos dalam ilmu kanuragan, tidak bisa mengartikan maksud dan hubungan gambar ular berwarna merah dengan ular yang mematuknya tadi.
Tidak ingin larut dalam pikirannya, Ranu lantas membuka halaman berikutnya. Di halaman tersebut terdapat tulisan yang hampir memenuhi seisi halaman.
Karena ingin melihat lebih jauh, dia lalu membuka halaman berikutnya. Secara nyata Ranu melihat semacam daftar isi berbagai jurus yang terdapat di kitab kuno tersebut, dan senyumnya pun mengembang.Matanya dengan teliti membaca satu persatu daftar isi kitab kuno Jurus Dewa Api yang dipegangnya.
Jurus Pukulan Dewa Api
Jurus Langkah Dewa Api
Jurus Tarian Pedang Dewa Api
Jurus Pedang Api Dewa Perang
Ranu mengernyitkan dahinya ketika melihat penjelasan di bawah tulisan beberapa jurus tersebut. Di tulisan itu menyebutkan, bahwa pengguna Jurus Dewa Api harus mempelajari terlebih dahulu tekhnik dasar yang harus dilakukan agar bisa menguasai tahap demi tahap berbagai jurus yang terdapat di kitab tersebut.
Hasrat ingin belajar ilmu kanuragan yang begitu besar membuat Ranu lalu membuka halaman berikutnya. Di halaman tersebut dijelaskan bagaimana mempelajari tekhnik dasar untuk penguatan tulang dan otot.
Ranu mempelajari dengan seksama. Kata-demi kata, bait demi bait dia baca berulang-ulang sampai hapal di luar kepala.
Setelah itu dia pun mulai mempraktekan Latihan awal pembentukan otot dan tulang.latihan tersebut dia lakukan di dalam kamarnya karena dia tidak ingin orang lain tahu.
Hari demi hari dilalui Ranu dengan latihan dan latihan. Dari angkat beban sampai berlari keliling dusunnya dia lakukan tanpa merasa lelah.
Sudah berbulan-bulan bocah beranjak remaja itu melakukan latihan dengan keras hingga membuat orang tuanya curiga.
Tanpa disadari Ranu, fisiknya tsemakin berotot dan kekar.
Kulitnya pun hitam kemerahan terbakar sinar matahari setiap hari.
"Ranu, ke sinilah, Nak!"Mendengar suara ayahnya, Ranu yang sedang berlatih angkat beban lalu keluar dari dalam kamarnya.
"Ya, Ayah, ada apa?"
"Duduklah dulu, ada yang mau ayah bicarakan denganmu!"
Ranu menarik ke belakang sebuah kursi lalu duduk di atasnya.
"Ayah lihat fisik kamu semakin kekar, Nak. Apa kamu sedang berlatih ilmu kanuragan?"
Ranu yang tidak terbiasa berbohong kemudian menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya aku baru berlatih tahap dasar saja, Ayah. Pembentukan tulang dan otot."
"Kamu belajar dari siapa?"
"Tidak dari siapa-siapa, Ayah. Aku belajar dari kitab yang aku temukan di reruntuhan kuil kuno," jawab Ranubaya sambil menunduk. Dia takut ayahnya marah dan melarangnya berlatih ilmu kanuragan.
"Ayah tidak melarangmu belajar ilmu kanuragan, Ranu, tapi bolehkah ayah tahu apa alasanmu belajar ilmu kanuragan?"
"Aku ingin membuat Ayah dan Ibu bangga. Aku tidak ingin selalu menjadi bahan ejekan Sanjaya dan teman-temannya. Aku ingin membalas atas apa yang dilakukannya kepadaku selama ini."
"Ranu, anakku ... keluarga kita memang keluarga miskin. Tapi kita bukan keluarga pendendam. Belajarlah ilmu kanuragan untuk kebaikan, untuk menolong yang lemah serta memberantas kejahatan di muka bumi ini!"
Ranu diam mendengarkan petuah ayahnya yang sangat dihormatinya tersebut.
Dia lalu menganggukkan kepalanya, "Baik Ayah."
***
Sudah lebih dari lima bulan Ranu berlatih tanpa kenal lelah. Setelah dirasa fisiknya sudah berotot dan tulangnya sudah kuat, Ranu mulai belajar gerakan-gerakan yang digambarkan di dalam kitab kuno tersebut.
Awalnya gerakan Ranu sangat kaku, dan itu terbilang wajar karena memang secara umur dia sudah terlambat untuk belajar. Jika pada umumnya anak yang pertama kali belajar ilmu kanuragan kisaran umur 5-7 tahun, dia mulai berlatih di umur 12 tahun.Tapi bukan Ranu namanya jika dia kalah sama umur dan kondisi.
Dia sudah bertekad untuk menguasai setiap gerakan yang ada pada kitab kuno tersebut.
Hari demi hari dilalui Ranu dengan mempelajari gerakan jurus Pukulan Dewa Api saja.
Menurutnya hanya jurus itu yang paling mudah dipelajari.
Sedangkan jurus lainnya lebih menekankan tentang kecepatan dan tenaga dalam yang dipadu dengan kelihaian serta kelenturan gerak tubuh.
Di suatu malam, tiba-tiba saja tubuh Ranu terasa sangat panas, rasa sakit pun mendera di sekujur tubuhnya. Ingin dia berteriak memanggil orang tuanya, namun lidahnya kelu tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
Cukup lama Ranu menahan rasa panas dan sakit di tubuhnya. Keringat terus menerus keluar dari tubuhnya, hingga membuat pakaian yang dikenakannya basah kuyup. Pemuda yang hampir memasuki usia 13 tahun itu pun jatuh pingsan dan baru siuman keesokan paginya.
Namun anehnya, setelah merasakan penderitaan hebat semalaman, pagi ini dia merasa tubuhnya sangat bugar.Dia lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket bekas keringat yang keluar tadi malam.
Setelah meloloskan semua pakaiannya, Ranu dibuat terkejut setengah mati. Kedua bola matanya membelalak lebar melihat keanehan yang ditangkapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah⁴_Atta࿐🥑⃟
Awal cerita sudah bagus 👍
2025-03-03
0
🥀⃟ʙʀRos🥀
keren Thor lanjut mudah mudahan jangan putus di tengah jalan 🙏🙏🙏
2025-02-18
3