"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Unveiling of a Rotten Heart
Riana berbelanja pakaian di sebuah butik di mall yang tak jauh dari rumahnya. Meski tangannya sibuk memilah-milah baju di rak, tatapannya terlihat kosong. Pikirannya melayang jauh saat ini.
Ia memikirkan Yudha, suaminya. Kenapa Yudha berbohong? Bukankah baru kemarin suaminya itu menghabiskan waktu bersama Tari.
Bahkan Riana kemari di antar oleh supir, bukan suami nya sendiri, yang jelas-jelas memiliki waktu luang. Tapi waktu itu malah di gunakan untuk Tari, Pikir nya geram.
Tapi kenapa? Kenapa Yudha memberikan perhatian lebih kepada Tari? Kenapa tidak menghabiskan waktu dengannya? Alih-alih, Yudha malah memilih pergi ke apartemen Tari. Berbagai pertanyaan sudah menumpuk di kepalanya.
Tangan Riana terus bergerak, membolak-balik baju tanpa benar-benar mengambil satu pun. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun usahanya gagal. Tatapannya berubah tajam, penuh dengan kemarahan yang mulai menjalar ke segala sudut pikirannya.
Di tengah lamunannya, suara tawa seorang wanita mengalihkan perhatian Riana. Ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang tertawa, merasa terganggu.
Saat itulah, matanya membelalak. Bukan seorang wanita berusia sekitar 35 tahun yang mengejutkannya, melainkan seorang pria yang berjalan di belakang wanita itu, sambil tersenyum kecil. Pria itu adalah Ade.
Ade, mantan pacar sahabatnya, Tari. Pria yang pernah melukai hati Tari saat mereka masih bersekolah. Melihat pria itu, sebuah pemikiran hinggap di pikirannya.
Dengan cepat Riana berbalik dan menyapa Ade yang baru menyadari keberadaannya.
"Hai, Ade. Lama nggak ketemu,"
Riana tersenyum tipis hingga matanya menyipit.
Ade, yang sama sekali tidak menduga bertemu Riana, tampak terkejut. Matanya membelalak, sama seperti reaksi Riana sebelumnya.
"Ah... Riana," balas Ade dengan senyum canggung, ia berusaha untuk tenang.
Wanita yang bersamanya, Nia, segera melirik ke arah Riana. Dengan tangan yang kini menggenggam lengan Ade lebih erat, Nia bertanya dingin, "Siapa ini?"
Riana tersenyum ramah. "Oh, perkenalkan, saya Riana. Saya dan Ade dulu teman satu sekolah,".
Ade menoleh ke Nia, berusaha menenangkan wanita itu agar tidak cemburu. "Ini temanku, sayang," katanya berbisik pelan.
Riana, melihat ekspresi Nia yang tidak percaya, langsung berkata, "Jangan salah paham, saya hanya ingin memberitahu Ade kalau acara reuni sekolah kami besok diundur. Kebetulan saya bertemu dengannya di sini. Lagipula, saya sudah menikah." Riana mengangkat tangannya, menunjukkan cincin pernikahan dengan berlian biru kecil di jari manisnya. "Suami saya sedang menunggu di tempat lain."
Nia mengangguk pelan, meski ekspresinya masih tampak tak puas.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Silakan lanjutkan belanjanya," ujar Riana sambil menatap sekilas ke arah Ade. Ia berbalik dan berjalan ke kasir dengan dua potong pakaian yang diambil dengan asal.
Setelah membayar, Riana keluar dari toko dengan langkah perlahan. Namun, saat melewati etalase kaca, matanya melirik ke arah Ade. Ia memberi senyum miring padanya, sebelum langkahnya benar-benar keluar.
Riana menuju toilet yang tak jauh dari sana, memastikan langkahnya terlihat dari dalam toko. Sesaat setelah Riana menghilang di balik pintu toilet, Ade memicingkan matanya. Ia berpaling ke Nia. "Aku ke toilet sebentar, ya," katanya. Nia mengangguk begitu saja tidak merasa curiga.
Di dalam toilet, Riana sedang membasuh tangannya di wastafel. Ia bersenandung kecil, menunggu seseorang yang sudah terpancing olehnya.
Langkah kaki terdengar mendekat. Riana melirik dari cermin. Ade masuk dan menutup pintu di belakangnya. Pria itu menyandarkan tubuhnya di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada, memasang senyum miring di wajah tampannya.
"Jadi, reuni apa ini?"
Riana tidak terkejut. Ia mengeringkan tangannya dengan tisu sambil tersenyum santai. "Kamu nggak berubah, Ade. Masih sama seperti dulu, ah bahkan lebih buruk dari sebelumnya,".
Ade mendekat, pandangannya penuh kecurigaan. Namun, sebelum ia bisa berbicara lebih jauh, suara langkah kaki lain terdengar dari luar.
Ade langsung mengernyit, bingung mencari alasan jika tertangkap basah sedang berada di toilet wanita. Namun, sebelum hal itu terjadi, Riana bertindak cepat. Ia menarik tangan Ade dan mendorongnya ke salah satu bilik kamar mandi, mengunci pintu dari dalam.
"Diam," bisik Riana pelan. Ade hanya menatapnya dengan bingung, sementara dua wanita tadi hanya masuk dan mencuci tangan mereka dan bergegas keluar lagi.
Ade terduduk di atas kloset kamar mandi, sementara Riana berdiri tepat di depannya, kedua tangannya bersedekap, menatapnya tajam.
"Apa ini maksudnya?" tanya Ade dengan nada menggoda, senyum nakal terukir di wajahnya. Ia mengulurkan tangan, menarik pergelangan tangan Riana agar lebih mendekat.
Riana melihat tangan Ade yang sudah meremas kedua pantatnya, Ade masih tersenyum simpul menatapnya. Riana tidak menepis tangan itu dan membiarkannya saja, dengan senyum seringai nya.
"Jadi ini maksudmu adalah reuni, saat kita bercinta di perpustakaan dulu" balas Ade lagi dengan suara parau nya.
"Tutup mulutmu," ujar Riana tajam sambil menepis tangan Ade yang mulai mencoba melepas kancing bajunya.
Ade mengernyit, terlihat bingung sekaligus heran. "Terus? Apa yang kau inginkan dariku sekarang?" tanyanya, menatap Riana dengan tatapan penuh tanda tanya.
Riana menatapnya dingin. "apa Kau masih ingin bertemu dan bersama Tari lagi?"
Mendengar nama mantan pacarnya disebut, Ade menyeringai kecil. "Tari? Ada apa dengannya? Apa dia masih belum bisa melupakan aku?" balas Ade santai, lalu menarik tangannya kembali dan merapikan rambutnya dengan sikap acuh.
Riana tetap diam beberapa detik, menatap Ade dengan ekspresi datar. Kemudian, ia berkata pelan namun penuh maksud, "Kalau kau memang ingin kembali pada Tari, aku bisa membantumu melakukannya."
Ade tertawa kecil, suara tawanya menggema di ruangan sempit itu. "Hahaha! Riana, Riana... Aku kasihan sekali pada sahabat polos mu itu, karena punya sahabat sepertimu. Bahkan sampai sekarang dia masih belum tahu kalau kau yang menyebabkan kegugurannya," sindir Ade, sambil mengusap sudut matanya yang basah karena tertawa.
Riana mendekat, menatapnya tajam dengan mata yang berkilat penuh amarah. "Dia tidak akan pernah tahu... kalau kau tetap menutup mulut sialan mu itu." Nada suaranya mendesis penuh ancaman.
Ade mengangkat bahu, senyum sinis nya kembali menghiasi wajahnya. "Jadi, apa maumu sebenarnya, Ria?
"Aku tidak di sini untuk membahas masa lalu," Riana berkata dingin. "Aku akan membantumu mendekati Tari lagi. Yang ku minta sangat sederhana-bawa dia pergi jauh-jauh dari suamiku."
Ade menyipitkan matanya, mencoba mencerna maksud Riana. "Suamimu yang kaya itu? Apa maksudnya? Apa hubungannya Tari dengan suamimu?"
Riana mendesah kesal, melipat kedua tangannya di dada. "Aku akan menjelaskannya nanti. Yang jelas, kau mau membantuku atau tidak?"
Ade menyeringai, sudut bibirnya terangkat penuh ejekan. "Sayang, memang sejak kapan aku pernah menolak permintaanmu?" katanya sambil menatap Riana dengan pandangan nakal.
"Kaulah yang memutuskan menjauh dariku, bukan? Setelah kau mendapatkan suami kaya, kau membuangku begitu saja."
Lalu Ade menarik sebelah tangan Riana dan memaksanya untuk duduk di pangkuannya.
Riana merasakan sesuatu dibawah pantatnya menonjol, hari ini ia memakai rok jeans berwarna hitam yang panjangnya hanya sampai menutupi lututnya.
"Jadi kau setuju kan ahhhh" Riana tidak bisa menahan erangan yang keluar dari mulut nya saat Ade yang sudah mengulum sebelah dadanya.
Ade tidak menjawab dan hanya fokus pada kegiatannya. Lalu sejenak ia menarik mulutnya dan menatap Riana yang matanya sudah terpejam menikmati sentuhannya.
Merasakan Ade berhenti Riana melihat kebawah menatap Ade yang sedang melihatnya dengan mata yang penuh nafsu.
"Aku tidak membawa kondom"
Riana tidak menjawab ucapannya, lalu menarik rok jeans yang dikenakannya sedikit keatas, ia menarik kebawah celana dalam berwarna merah yang ia kenakan dengan terburu-buru.
Setelah berhasil melepaskannya, Riana membuka resleting celana Ade dan mengeluarkan sesuatu yang terlihat besar dan tegak menjulang tinggi.
Lalu Riana kembali menatap Ade yang diam di posisinya, nafsu terlihat dimata keduanya. Lalu Riana memposisikan benda panjang itu dengan tangannya kearah pintu masuknya.
Lalu dengan perlahan Riana turun dengan di iringi dengan suara erangan yang keluar dari keduanya.
" Ahh/ahhh" desah keduanya saat tubuh mereka telah menyatu dengan sempurna.
Trrr... Trrr... Suara dering telepon membuat Riana yang sedang bergerak dengan naik turun melirik ke bawah dimana ponselnya tergeletak begitu saja.
Nama Yudha, suaminya, tertera di sana. Namun, alih-alih menjawab, Riana mengabaikan panggilan itu dan kembali fokus pada kegiatannya.
Di bilik kamar mandi itu terdengar suara erangan yang tertahan dari keduanya, mereka melakukannya cukup lama dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah 3 dan artinya mereka melakukannya tanpa henti selama 30 menit dari saat mereka memulainya.
Pintu terbuka dan Riana keluar dengan pakaiannya yang sudah ia rapihkan kembali, ia menuju wastafel dan mengambil beberapa helai tisu dan ditaruh perlahan ke celana dalamnya.
Jika ia tidak melakukannya, cairan akan terus keluar dari bawahnya. Dibelakang nya terlihat Ade yang berjalan kearahnya sambil menarik kembali resletingnya.
"Halo, sayang," ujar Ade dengan suara manja yang terdengar dibuat-buat. Ia memegang ponsel yang menempel di telinganya, wajahnya menampilkan senyum tipis.
"Ah, aku sebentar lagi keluar. Perutku tadi sakit, jadi aku duduk sebentar di sini," lanjutnya dengan nada yang terdengar santai.
"Iya, aku akan menyusul mu. Tenang saja-iya, baiklah... Aku mencintaimu," ucap Ade sebelum menutup telepon.
Ade memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, lalu melirik ke arah cermin. Di sana, ia bisa melihat bayangan Riana yang sedang mencuci tangannya dengan ekspresi kesal terpampang jelas di wajahnya.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" goda Ade dengan senyum nakalnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap Riana dengan pandangan yang penuh ejekan. "kau mau melanjutkannya lagi di rumahku nanti malam?"
Mendengar ucapan Ade membuat Riana mengernyit dan menatap tajam pada Ade, bahkan bagian bawah nya masih berdenyut sampai sekarang karena gerakan Ade yang terlalu kasar.
Seperti nya karena tadi pagi ia juga melakukannya dengan suaminya makanya menambah parah keadaannya.
"Tutup mulutmu. Dan angkat teleponku saat aku menghubungimu," ujar Riana dingin, menatap Ade tajam sebelum mengambil tisu untuk mengelap tangannya. Ia berjalan cepat menuju pintu, membukanya dengan keras, lalu keluar meninggalkan Ade yang terkekeh menatapnya.
Ade hanya menyeringai tipis, senyum kemenangan tersungging di wajahnya. Setelah pintu tertutup, ia berbalik, menatap bayangannya di cermin, lalu mulai merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat ulah Riana.
Namun, tak lama dalam keheningan ini pikirannya mulai melayang. Nama Tari, mantan pacarnya, muncul di benaknya. Wanita itu adalah satu-satunya gadis yang berhasil mengambil hatinya. Sekelebat memori sontak hadir di kepalanya.
Meski Ade adalah pria brengsek, ada satu hal yang ia jaga-ia tidak pernah menyentuh Tari seperti ia memperlakukan wanita lain.
Namun, kehamilan Tari saat itu adalah sebuah pengecualian. Itu semua adalah murni ketidaksengajaan.
Malam itu secara tidak sadar ia merenggut keperawanan tari, tapi ia tidak akan melakukan hal itu Jika Tari melakukan sedikit saja perlawanan. Tapi dia hanya diam menerima perlakuan kasarnya, dan ya hasilnya seperti yang ia bayangkan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menepis rasa bersalah yang tiba-tiba ia rasakan. Rasanya orang seperti dirinya tidak pantas merasakannya.
Ade tersenyum getir sambil bergumam pelan, "Cinta pertama, ya? Entah aku atau dia yang lebih bodoh saat itu."