Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Aku Tidak Boleh Egois
Happy Reading.
Tepat pukul 8 malam Aluna sampai di rumah. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Aluna masuk ke rumah. Tidak lupa juga membawa paper bag belanjaannya.
"Bagus sekali jam segini baru pulang!" omel Mona.
Aluna memutar bola matanya merasa jengah ketika harus mendengar ocehan sang ibu mertua.
"Ya Tuhan, Mama mertua ... aku lelah. Apakah Mama tidak lelah terus mengajak aku berdebat," ujar Aluna.
"Kamu jadi istri tidak becus bagaimana saya tidak kesal. Kalau kamu setiap hari seperti ini siapa yang akan masak, siapa yang akan beres-beres rumah?" omel Mona lagi.
"Ada Mama sama Sandra, kan?" ucap Aluna. "Kalian juga tidak ada pekerjaan selain makan, tidur, nonton drama, dan belanja. Jadi apa salahnya kalian melakukan itu semua," sindir Aluna.
"Kamu benar-benar sudah berani melawan saya ya," geram Mona.
"Kalian sudah keterlaluan jadi aku pun harus melawan," balas Aluna.
"Mama lama-lama bisa gila menghadapi kamu, menantu kurang ajar!" Makian Mona justru membuat Aluna semakin di atas angin.
Pandangan Sandra dan Mona beralih pada paper bag yang ada di tangan Aluna. Kedua pasang mata itu melebar melihat logo yang menempel di paper bag itu, semuanya dari brand ternama.
"Apa ini?" Sandra meminta secara paksa paper bag yang ada di tangan Aluna. Karena tidak siap Aluna pun terpaksa membiarkan adik iparnya mengambil dan juga melihat isinya.
"Ini baju dan tas. Dan … harganya sangat mahal," ucap Sandra tidak suka.
Bukan hanya adik iparnya, ibu mertuanya pun terkejut dengan apa yang ada hadapan mereka. Barang yang mereka ingin miliki sudah lebih dulu dimiliki oleh Aluna.
"Dari mana kamu medapatkan uang untuk membeli semua ini?" tanya Mona. "Kamu pasti menjual dirimu," tuduh Mona.
"Apa urusan kalian aku dapat uang dari mana untuk membeli ini semua." Aluna mengambil kembali paper bag miliknya dari tangan Sandra. "Ini milikku dan … jangan pernah berharap kalian memilikinya," ejek Aluna. "Sudahlah, aku lelah harus berdebat dengan kalian terus."
Aluna berjalan ke arah anak tangga. Ia melihat sang suami yang baru saja turun dan siap untuk pergi.
"Baru pulang?" tanya Hariz.
"Hmmmm." Aluna bergumam sebagai bentuk respon kepada Hariz. "Kamu mau pergi?" tanya Aluna.
"Ada janji sama teman," jawab Hariz. "Hanya sebentar," imbuhnya.
"Oh," respon Aluna.
"Aku pergi." Hariz mencium pipi Aluna dan berbisik, "kamu cantik. Aku suka kamu yang seperti ini."
Bohong jika Aluna tidak terpengaruh dengan pujian sang suami, tetapi mengingat apa yang telah dilakukan oleh sang suami membuat ia segera menepis perasaan itu.
"Hariz! Lihat istri kamu pergi seharian ternyata untuk menghambur-hamburkan uang kamu," tuding Mona.
Hariz memberi jarak dengan Aluna, keduanya menoleh ke asal suara. Mereka melihat Mona dan Sandra datang mendekat.
"Menghambur-hamburkan uang suamiku?" Aluna tertawa mendengar kalimat yang ibu mertuanya lontarkan. "Mama ngomongin aku apa ngomongin diri Mama sendiri dan Sandra?" sindir Aluna. "Asal kalian tahu aku membeli semua ini dengan uangku sendiri. Apa Mama tidak ingat Mama melarang anak Mama ini untuk memberiku uang," ucap Aluna sinis.
"Lalu kamu dapat dari mana uang untuk membeli semua ini, Aluna. Ini juga brand ternama harganya juga mahal. Di kamar juga aku melihat ada banyak barang-barang baru." Haris menarik lengan Aluna memaksa sang istri untuk melihat ke arah dirinya.
"Aku menjual diriku seperti apa kata Mama kamu. Apa kamu puas?" Aluna melepaskan diri dari Hariz lantas pergi ke kamar meninggalkan suami dan juga keluarganya yang sudah mulai memaki dirinya.
Hariz mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali ke kamar untuk menyusul Aluna.
Aluna sendiri menaruh paper bag ke meja dengan sedikit kasar membuat beberapa barang keluar dari dalamnya dan jatuh ke lantai. Aluna tidak memperdulikan akan hal itu. Ditambah lagi Hariz datang menyusulnya.
"Katakan yang sejujurnya Aluna! Dari mana kamu dapatkan uang untuk membeli semua ini?" tanya Hariz dengan nada tegas.
"Bukankah sudah aku katakan kalau aku menjual diriku," jawab Aluna.
Hariz menarik lengan Aluna mencegah sang istri untuk pergi. "Aku mengenal kamu Aluna! Kamu pikir aku percaya kamu bisa melakukan itu," tampik Hariz.
"Kenapa tidak? Semua orang bisa berubah karena keadaan. Sama seperti sikap kamu yang berubah terhadapku," serang Aluna. "Kamu masih terus menerus membela keluarga kamu yang sudah jelas-jelas salah. Aku muak, Mas. Harus terus mengalah dan terus disalahkan."
"Ya Tuhan, Aluna." Hariz menggusar rambutnya ke belakang merasa frustrasi dengan keadaan itu. "Aku sudah minta maaf dan kamu masih bersikap seperti ini padaku."
"Apa ibu dan adik kamu ada pikiran untuk meminta maaf padaku, hah? Tidak, 'kan? Mereka justru makin terus menindasku jika aku diam saja," sungut Aluna.
"Mama hanya ingin yang terbaik untuk rumah tangga kita," ucap Hariz.
"Terbaik untuk kita atau untuk diri mereka sendiri," hardik Aluna.
"Lalu apa yang kamu lakukan sekarang benar?" tanya Hariz. "Kamu pergi seharian, berbelanja, sedangkan mama sama adik aku di rumah mengerjakan pekerjaan rumah?" tuding Hariz. "Kamu egois Aluna, sekarang kamu memikirkan dirimu sendiri dari pada memikirkan keluarga ini."
"Apa … aku egois …." Aluna tertawa sumbang sambil menahan tangis. "Dari dulu aku mencoba diam, Mas dengan perlakuan kamu sama keluarga kamu. Dari dulu kamu membiarkan ibu dan adik kamu melakukan apapun yang mereka mau dan mereka sukai, kamu diam saja, justru kamu mendukung mereka tanpa melihat perasaan aku. Dan sekarang saat aku memanjakan diriku sendiri, melakukan apa saja yang aku mau kamu mengatakan jika aku egois? Apa hanya mereka yang boleh egois dan aku tidak." Kesabaran Aluna sampai di ambang batas, ia mengambil botol parfum lalu melemparnya untuk melampiaskan kemarahannya.
PRANG
Botol parfum itu hancur hingga menimbulkan suara yang nyaring. "Karena keegoisan kalian juga orang tuaku meninggal bahkan kalian bersenang-senang di saat aku sedang berduka! Dan sekarang kamu masih mengatakan aku egois!"
"Aluna, calm dawn," pinta Hariz.
Dengan ucapannya, Hariz pikir Aluna bisa meredam kemarahan Aluna yang sudah memuncak? Tentu tidak.
Aluna sudah tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Ia menangis sejadi-jadinya lantas memukuli dada Hariz bahkan sesekali mendorong tubuh sang suami.
Hariz sendiri hanya bisa diam menerima perlakuan Aluna, dirinya sadar jika ia sudah salah. Melihat Aluna menangis histeris membuat hatinya ikut sakit. Hariz ikut menitihkan air matanya. Di rengkuhnya sang istri lantas memeluknya dan mencium ujung kepala Aluna berulang-ulang.
"Lepas!" pinta Aluna di sela isak tangisnya.
"No, Aluna." Hariz semakin erat memeluk Aluna tanpa berniat melepaskannya meskipun Aluna terus memaksanya. "Maafkan aku."
Aluna menggeleng di pelukan Hariz. Rasanya sulit baginya untuk memaafkan apa yang telah suaminya lakukan.
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang