Ditalak ketika usai melahirkan, sungguh sangat menyakitkan. Apalagi Naura baru menginjak usia 20 tahun, harus kehilangan bayi yang dinyatakan telah meninggal dunia. Bagai jatuh tertimpa tangga dunia Naura saat itu, hingga ia sempat mengalami depresi. Untungnya ibu dan sahabatnya selalu ada di sisinya, hingga Naura kembali bangkit dari keterpurukannya.
Selang empat tahun kemudian, Naura tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja sebagai sekretaris, ternyata anak pemilik perusahaannya adalah Irfan Mahesa, usia 35 tahun, mantan suaminya, yang akan menjadi atasannya langsung. Namun, lagi-lagi Naura harus menerima kenyataan pahit jika mantan suaminya itu sudah memiliki istri yang sangat cantik serta seorang putra yang begitu tampan, berusia 4 tahun.
“Benarkah itu anak Pak Irfan bersama Bu Sofia?” ~ Naura Arashya.
“Ante antik oleh Noah duduk di cebelah cama Ante?” ~ Noah Karahman.
“Noah adalah anakku bersama Sofia! Aku tidak pernah mengenalmu dan juga tidak pernah menikah denganmu!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Terjebak Di Lift
Banyak mata menatap ke arah Irfan, Noah dan Naura. Dalam hati kecil pria itu sangat menentang permintaan putranya yang ingin bersama Naura, dan bisa dipastikan akan ada perdebatan jika ia menunjukkan sikap egoisnya dengan Noah. Sedangkan di sisi Naura sendiri tidak bisa memaksakan pria itu untuk menurunkan Noah dari gendongannya, hak Irfan inilah yang terpikir oleh wanita itu.
Namun, rengekkan Noah yang meminta turun dari gendongan Irfan menjadi pusat perhatian para karyawan yang sama-sama menunggu giliran masuk ke dalam kotak besi. Irfan mendesah kecewa dan sangat terpaksa menurunkan bocah itu. Dan apa yang terjadi, Noah tampak sumringah pada Naura, langkah kakinya bergegas mendekati wanita yang baru ia kenal, lalu tangan mungilnya menyentuh tangan Naura yang kosong untuk ia genggam.
“Ante antik, boleh Noah cama Ante?” tanya Noah dengan mimik wajah polosnya.
Tubuh Naura berdesir seketika, seiringan rasa hangat yang menyergap relung hatinya. Tatapan mungil yang begitu bersih seakan menebus hati Naura yang sudah lama dirundung kesedihan ditinggal buah hatinya yang sangat ia inginkan.
Wanita itu lantas agak membungkukkan punggungnya dengan sudut bibirnya mengembang. “Papinya Noah bakal marah gak sama Tante? Soalnya Tante'kan gak boleh dekat-dekat sama Dede ganteng?” tanya Naura sangat pelan, akan tetapi masih bisa didengar oleh Irfan.
Bocah itu lantas mendongakkan wajah, menyipitkan matanya saat tatapannya berserobok dengan papinya.
“Ckckck ... Ante ndak ahat cama Noah. Adi Papi ndak oleh malah-malah cama Ante antik, anti epet tua loh aya Opa!” tegur Noah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mata Irfan refleks membulat, bisa-bisanya anaknya menegurnya di depan orang banyak dengan laga bos kecilnya.
Naura mengatup bibirnya agar tidak tergoda untuk menertawakan Noah yang sedang menegur papinya. Mau bagaimana pun anak-anak seusia Noah sedang menggemaskan, kadang mengesalkan, kadang bikin hati orang dewasa bahagia.
“Dede ganteng,” panggil Naura dengan lembutnya sembari menggoyangkan tangan mungil yang menggenggam agar bocah kecil itu menatap dirinya.
“Ya, Ante,” balas Noah melirik dengan mendelik-delik.
Wanita itu tersenyum hangat. “Lain kali sama Papi tidak boleh berkata seperti itu ya. Kan, itu papinya Noah, sama papi harus hormat dan sayang,” ujar Naura dengan lembutnya.
Tercubitlah hati Irfan dengan perkataan Naura barusan, lantas ia menggiring pandangannya ke arah pintu lift yang sepertinya sebentar lagi akan terbuka.
“Ndak apa-apa Ante, Noah atut Ante dimalahin cama Papi. Adi mending Noah biyangin aja, biar Ante ndak dimalahin cama Papi. Anti alau Ante dimalahin cama Papi biyang ama Noah ya, bial Noah malahin Papi” balas Noah dengan polosnya.
“Eh.” Naura tak jadi berkata-kata, maksud Noah sangat baik ingin melindungi dirinya. Dan sikap Noah bikin Naura tenggelam dalam perasaan hangat, hingga yang menyadari matanya yang indah agar berbinar-binar.
“Ayo masuk lift sudah terbuka pintunya!” ajak Irfan suaranya begitu tegas seiringan dengan langkah gagahnya masuk ke kotak besi.
Meski hati Naura meragu, sehubungan Noah masih menggenggam tangannya ia terpaksa ikut masuk ke lift istimewa itu meskipun sirat mata Irfan tak bersahabat padanya. Tapi, tidak masalah buat Naura, jika nanti Irfan kembali menegurnya pun ia sudah menyiapkan mentalnya, kenapa juga mesti takut.
Akhirnya mereka bertiga masuk di dalam lift, dan sebagai sekretaris Naura'lah yang menekan tombol angka 12. Sesaat suara hening menyelimuti kuda besi tersebut, antara Naura dan Irfan sama sekali tidak bersuara. Sementara Noah sibuk mengayun tangan Naura.
Hingga beberapa menit kemudian keheningan pecah saat lampu kotak besi itu kedap kedip, lalu tak lama agak menghentak sampai mereka bertiga berpindah posisi, layaknya orang terguncang karena gempa. Irfan langsung menarik Noah, dan membawanya dalam pelukannya sementara tangan Naura langsung memegang besi yang ada di bagian belakang punggungnya dengan perasaan cemas, lantas tas dan paper dari coffe shop terjatuh. Lalu tanpa menunggu lama, kotak besi itu terasa terguncang kembali.
“AAKHH!” pekik Naura tampak semakin takut, refleks Irfan menarik lengan wanita itu dan memeluk bersamaan ia memeluk Noah. Naura tidak bisa mengelaknya karena posisi mereka saat ini sedang tidak baik-baik saja, entah apa yang sebenarnya terjadi, hingga beberapa menit kemudian guncangan itu berhenti dan kotak besi tidak bergerak sama sekali.
“Papi, Noah atut,” ujar Noah, suaranya terdengar ingin menangis.
Buru-buru Naura menarik dirinya dari pelukan Irfan dengan paras wajahnya yang memucat. Kemudian ia menatap sendu dan menarik Noah dari pelukan Irfan, lalu mengendongnya.
“Ada Tante dan Papi, De, jangan takut,” ujar Naura dengan lembutnya, padahal ia sendiri juga sedang takut.
“Ante, Noah atut,” adunya, bola mata mungilnya berair, lantas dengan lembutnya tangan Naura mengusap rambut Noah lalu membawanya dalam pelukannya.
“Kita hanya sebentar di sini, sebentar lagi kita akan keluar kok,” ujar Naura, tutur begitu lembut bagaikan seorang ibu.
Irfan tidak berdiam diri saja melihat kebersamaan Noah dan Naura, pria itu bergerak menekan tombol emergency dan memberitahukan jika lift berhenti di lantai 6. Kemudian tidak kama menelepon Deri untuk memberikan kabar darurat. Dan melalui sambungan telepon baru Irfan mengetahui jika Jakarta sedang ada gempa, dampaknya beberapa lift di perusahaan Grup Mahesa kena guncangan gempa.
Musibah memang tidak mengenal waktu dan tempat, kini mereka bertiga terjebak dalam lift.
“Kita harus menunggu, barusan ada gempa,” ujar Irfan memberitahukan pada Naura tanpa menyebut nama wanita itu.
Wanita itu hanya bisa terdiam, sedangkan Noah sudah terisak menangis dalam gendongannya.
Naura menarik napasnya dalam, lalu menurunkan pandangannya ke lantai, tampaklah minuman dan makanan yang belum sempat ia nikmati.
“Kita harus sabar menunggu tim penyelamat,” lanjut kata Irfan. Ia ingin mencoba menenangi mantan wanita itu yang sebenarnya penakut jika terjadi sesuatu hal, tapi hatinya terasa berat.
Lagi, Naura hanya bisa mendengarkan tanpa banyak bicara. Lalu tidak lama kemudian dia membuka sepatu stilettonya dan membawa dirinya bersama Noah untuk duduk di bawah, karena keadaan tidak memungkinkan untuk ia terus berdiri sambil menggendong Noah.
“Biar Noah sama saya saja,” pinta Irfan sembari mengulurkan kedua tangannya.
Kepala Noah melirik ke arah papinya. “Ndak au, Noah auna cama Ante,” balas Noah dengan matanya yang basah, kedua tangan mungil merangkul leher Naura, lalu Noah kembali menenggelamkan wajahnya ke pundak wanita itu seakan tempat yang ternyaman baginya saat ini.
Irfan tertegun, dengan terpaksa ia menarik tangannya dan tatapannya masih setia pada kedua orang tersebut.
Ikatan darah itu sangatlah kuat, tanpa perlu dijelaskan siapa mereka berdua naluri seorang anak dan ibu sangatlah kuat meski lautan atau pulau memisahkannya.
Bersambung ... ✍️
emang pas nikah orang tuanya ga datang??? ga di kenalin
kan ngelawak sebab ceritanya di Indonesia
kalo di luaran kan cuma kedua pengantin udah sah