Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Festival
"Gue dari.....tadi lihatin lo dari kejauhan hehe."
"Apa lo bilang?"
"Gue lihatin lo dari kejauhan, Nara. Gue selalu ada di sisi lo. Ayo lanjutkan perjalanan kita." Begitu ujar Uto tanpa rasa dosa. Kemudian Uto melangkah lebih dulu dari Nara, seakan menunjukkan bahwa kepergiannya harus di ikuti.
Nara membuntut dibelakang Uto. Kedua tangannya meninju-ninju udara dibelakang kepala lelaki itu. Lalu, Uto berbalik tiba-tiba, membuat Nara menarik tangannya cepat seraya tersenyum palsu.
"Apa ada yang mau lo tanyain? gue ngerasa lo mau getok kepala gue tadi."
Senyuman Nara berubah menjadi cengiran lebar. "Hehehe, kok lo tau aja sih. Itu... gue mau nanya, tadi yang bantuin gue siapa?"
"Yang mana?" Dahi Uto mengeryit.
"Astaga Uto?! Kan tadi lo bilang selalu ada di sisi gue. Gimana sih? Masa nggak tahu!" Nara memutar bola matanya kesal. Dia berkata dengan nada jengkel. Sementara itu, Uto hanya terkekeh. "Gue cuma bercanda, manusia."
Uto melanjutkan langkah sambil mulai menerangkan. Nara disampingnya mensejajarkan langkah.
"Yang tadi lo lihat itu adalah Dewa Iblis yang lo dengar dari para pengunjung kedai tadi." Begitu kata Uto dengan suara tenang namun penuh makna. Nara mengeryitkan dahi, kebingungannya semakin bertambah.
"Dewa Iblis? Kenapa dia nolongin gue? Bukannya Iblis itu jahat?" Suaranya penuh keheranan.
Uto berhenti sejenak dan menatap Nara dengan pandangan lekat. "Iya Iblis itu jahat, tapi apakah lo pernah dengar kalimat penjahat lahir dari orang baik yang tersakiti? Ingat Nara, apa yang lo sangka hitam belum tentu gelap. Dan apa yang lo kira putih, belum tentu terang. Ini dunia bayangan. Refleksi---"
"Iya stop, gue tahu kata-kata yang mau keluar dari mulut lo. Kembali ke perkenalan apa itu dunia bayangan, iya kan?"
"Pintar!" Uto kembali melanjutkan langkah yang diikuti Nara. Tujuan mereka bukan lagi hutan tempat mereka berasal. Keduanya masuk ke dalam permukiman penduduk.
Hari pun sudah menapaki malam. Uto mengajak Nara masuk ke tengah-tengah festival.
...*****...
Raze, tengah mempersiapkan segala sesuatunya dengan benar. Dia berdiri di depan cermin, menatap tajam bayangannya sendiri. Malam itu, ia sudah selesai dari rembuk membahas pernikahannya dengan putri salah satu menteri terkemuka di kerajaannya. Terkadang, dia merasa seperti pion di dalam kehidupannya ini, namun ambisi kemenangan atas sayembara dari sang Raja yang diadakan beberapa waktu lalu membuatnya lebih percaya diri. "Tak ada yang lebih hebat dari melihat kekalahan mu, Arven! Dewa pun tahu siapa yang pantas duduk di singgasana."
Tetapi, meski terlihat begitu yakin dan bangga, ada satu sisi Raze yang tak pernah diketahui oleh banya orang. Sebagai Pangeran Malam, dia tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Malam hari adalah waktunya untuk melarikan diri dari kekakuan istana. Setiap malam tanpa ada yang tahu selain pengawal setianya, Raze akan keluar istana menyusuri lorong-lorong kota dan merasakan kebebasan yang hanya bisa di dapatkan dibawah cahaya bulan.
Malam itu Raze memutuskan pergi ke festival yang berlangsung di luar tembok istana. Cahaya lampion berpendar di udara, menyinari jalan yang dipenuhi orang-orang bersorak, pedagang yang menawarkan berbagai macam barang, dan penari yang menari dengan riang. Festival itu dikenal dengan kegembiraan rakyat, dimana mereka menyambut hasil panen yang melimpah. Semua yang ada disekitar tampak begitu sederhana, begitu banyak kebahagiaan tanpa tercemar politik dan takhta. Begitulah pandangan hingar bingar tersebut di mata seorang pangeran Raze.
Ketika sosoknya telah datang, penduduk segera menyingkir memberi jalan. Bukan lebih kepada decak kagum dan segan terhadap salah satu pangeran dunia bayangan ini, tetapi lebih kepada menghindari masalah. Raze terkenal selalu ingin dimengerti apa maunya.
"Junto, ada kabar apa hari ini dikalangan bawah selain melimpahnya hasil panen?" Tanya Raze kepada pengawalnya. Junto sekonyong-konyong bertekuk lutut, menyatukan kepalan tangan di depan kepalanya sambil berbicara tegas.
"Pangeran, siang tadi telah terjadi penghinaan terhadap kerajaan."
"Siapa yang berani melakukannya? Apakah sudah kau patahkan lehernya?" Raze terlihat geram namun masih bisa berbicara tenang.
"Dia seorang wanita cantik dan pintar bicara, Pangeran. Hamba sudah melakukan penyerangan dengan membawa beberapa pasukan parjurit, tetapi Nona itu berhasil selamat."
Raze baru saja akan memukul Junto ketika gadis bergaun ungu lewat di depan keduanya. Nara berhenti, mempertanyakan apa yang sedang mereka lakukan. Terlebih, lelaki yang bertekuk lutut adalah orang yang Nara kenal sebagai lelaki tak bisa menghargai orang lain.
Nara melirik ke arah Uto, bermaksud komunikasi lewat sorot mata, bilang pria ini adalah pembuat onar di kedai. Namun, Uto lagi-lagi tidak ada bak ditelan bumi.
Huh, Uto menghilang lagi.
"Kalian sedang apa?" Tanya Nara pada Raze dan Junto dengan suara tenang namun penuh rasa ingin tahu. Pangeran Raze yang tadinya mau melanjutkan konfrontasi, langsung terhenyak. Wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan ketegangan yang ia rasakan.
"Tidak ada yang penting." Jawab Raze, mencoba mengabaikan rasa cemas yang muncul.
"Tapi posisi kalian seperti ingin saling menyakiti."
Raze seperti tersudut oleh pernyataan Nara. Biasanya, Pangeran itu bisa mengendalikan situasi hanya dengan kehadirannya. Tapi wanita ini--yang jelas bukan dari dunia Istana-- sepertinya tidak takut padanya. "Kami hanya menyelesaikan masalah."
"Cobalah berbicara, jangan bertindak. Kadang masalah bisa selesai dengan baik kalau kalian bersedia mendengarkan satu sama lain." Kata-kata Nara membuat Raze terdiam. Tidak pernah ia berfikir untuk menyelesaikan masalah dengan bijaksana. Biasanya, ia langsung mengambil keputusan, namun kata-kata Nara menggugah sesuatu dalam dirinya.
"Emmm, kau kan pria yang tadi makan tidak mau membayar dan juga melakukan penyerangan pada ku kan? Apakah kau melakukan hal yang sama pada Tuan ini?" Nara menelisik Junto. Raze terhenyak, dan langsung mengerti situasi. Dia menatap tajam Junto.
"Dia adalah pengawal ku. Aku adalah pangeran Raze, dan kau tahu siapa itu Raze?" Tanyanya kepada Nara. Yang ditanya menaikkan kedua alisnya.
.
.
Bersambung.