Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Perkenalan
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah Kirana bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Udara pagi yang sejuk menyapa wajahnya saat ia melangkah keluar dari rumah. Seperti biasa ia akan pergi ke sekolah mengendarai motornya namun kali ini ia sendirian. Ririn sahabatnya masih berada di Surabaya sementara Arif adiknya sudah dijemput temannya untuk pergi ke sekolah bersama.
"Berhati-hatilah Nak…!" seru Paman Budi dari dalam rumah.
"Iya Paman… jangan khawatir," jawab Kirana sambil tersenyum kecil.
Kirana menyalakan mesin motornya lalu melaju perlahan meninggalkan rumah. Pikirannya masih penuh dengan bayangan pemuda yang ia tolong semalam. Wajahnya yang pucat dan luka-luka di tubuhnya masih terngiang-ngiang di benaknya.
Sesampainya di sekolah Kirana mencoba fokus pada pelajaran namun pikirannya terus melayang ke pemuda itu. Ia bertanya-tanya apakah pemuda itu sudah sadar atau bagaimana keadaannya sekarang.
"Kirana kamu baik-baik saja?" tanya Dina yang duduk di sebelahnya dengan penuh dengan kekhawatiran.
"Iya aku baik-baik saja kok," jawab Kirana mencoba tersenyum meski hatinya masih dipenuhi dengan kecemasan.
Selesai sekolah Kirana langsung bergegas ke ATM yang ada di sebuah bank di ibu kota kecamatan. Ia mengambil sejumlah uang beasiswanya untuk menebus resep yang diberikan oleh Dokter Guna. Setelah itu ia mencari apotek terdekat untuk membeli obat-obatan yang dibutuhkan.
"Obatnya sudah lengkap ya Bu," ucap Kirana sambil menyerahkan uang kepada kasir.
"Iya sudah lengkap Nak… Semoga cepat sembuh ya," jawab kasir dengan ramah.
Kirana mengangguk pelan lalu bergegas meninggalkan apotek. Ia langsung menuju pondok Kakek Sapto tempat pemuda itu dirawat. Sepanjang perjalanan hatinya berdebar-debar penuh dengan kecemasan dan harapan.
-----
Sesampainya di pondok Kirana melihat Kakek Sapto sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir the hangat.
Kakek Sapto menghela napas berat sambil duduk di kursi kayu di teras pondoknya. Wajahnya terlihat lelah namun penuh dengan kepedulian. Kirana yang baru saja tiba langsung mendekat mendengar suara helaan napas itu.
“Ada apa Kek…? Kenapa kelihatan lemas begitu…?” tanya Kirana suaranya penuh dengan kecemasan.
Kakek Sapto mengangkat kepalanya perlahan menatap Kirana dengan pandangan yang berat. “Tadi pemuda itu sudah sadar Nak. Tapi…” Ia berhenti sejenak seolah mencari kata-kata yang tepat. “Dia bilang penglihatannya samar-samar. Dia sepertinya tidak bisa melihat dengan jelas seperti orang rabun.”
Kirana merasa dadanya sesak mendengar kabar itu. “Apa… apa karena lukanya Kek…?”
Kakek Sapto mengangguk pelan. “Kakek curiga itu akibat pukulan di kepalanya. Benturannya mungkin memengaruhi saraf penglihatannya.”
Kirana langsung merogoh saku celananya mengambil ponsel. Jarinya gemetar saat ia membuka daftar kontak mencari nomor Dokter Guna yang ia dapatkan kemarin setelah mengantarkan dokter itu pulang. Setelah menemukan nomornya ia segera menekan tombol panggil.
“Dok… ini Kirana. Maaf mengganggu tapi…” Suaranya tercekat sejenak sebelum akhirnya ia melanjutkan. “Pemuda yang kami tolong itu sudah sadar tapi dia bilang penglihatannya samar-samar. Apa ini berbahaya Dok?”
Di seberang telepon Dokter Guna terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang tenang namun serius. “Itu kemungkinan besar akibat benturan atau pukulan di kepalanya Kirana. Saraf penglihatan bisa terganggu jika ada tekanan atau kerusakan di area tertentu. Tapi jangan terlalu khawatir dulu. Saya akan ke pondok sepulang dari Puskesmas. Saya juga akan bawa obat-obatan lain yang mungkin dibutuhkan.”
Kirana menghela napas lega meski kecemasannya belum sepenuhnya hilang. “Terima kasih Dok... Kami tunggu kedatangan Dokter…”
Setelah menutup telepon Kirana menatap Kakek Sapto yang masih duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. “Dokter Guna akan datang sepulang dari Puskesmas Kek... Dia bilang mungkin saraf penglihatannya terganggu karena benturan.”
Kakek Sapto mengangguk pelan. “Kakek harap tidak ada yang serius. Pemuda itu sudah cukup menderita.”
Kirana menghela napas lagi lalu duduk di samping Kakek Sapto. “Kirana juga berharap begitu Kek... Tapi kenapa ya Kek… dia sampai ingin dibunuh seperti itu? Apa dia terlibat dalam sesuatu yang berbahaya?”
Kakek Sapto mengerutkan kening. “Kakek juga tidak tahu Nak. Tapi yang penting sekarang kita bantu dia sembuh dulu. Urusan lain bisa kita pikirkan nanti.”
Kirana mengangguk pelan. Ia merasa lega memiliki Kakek Sapto yang bijaksana dan tenang dalam situasi seperti ini. Namun di dalam hatinya masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab tentang pemuda itu.
“Kakek… boleh Kirana menemuinya sebentar? Kirana mau memberinya obat dulu…” tanya Kirana suaranya pelan.
“Tentu saja Nak... Tapi jangan terlalu lama ya. Dia butuh istirahat…,” jawab Kakek Sapto sambil tersenyum kecil.
Kirana mengangguk lalu bergegas masuk ke dalam pondok. Hujan rintik masih terdengar menetes di luar dan menciptakan irama yang samar namun menenangkan. Ia menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu kamar pelan lalu membukanya perlahan.
Di dalam pondok pemuda itu terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam tapi dari cara napasnya teratur, Kirana bisa menebak bahwa ia tidak benar-benar tidur. Ada ketegangan di wajahnya seolah sedang berusaha keras mengingat sesuatu yang sulit dijangkau pikirannya.
“Maaf mengganggu...” ucap Kirana pelan seperti takut mengagetkan pemuda itu.
Kelopak mata pemuda itu bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka. Ia menoleh ke arah suara Kirana dengan tatapan kosong karena matanya masih buram karena cedera. “Tidak apa-apa... Aku tidak tidur.” Suaranya terdengar lemah tetapi cukup jelas.
Kirana melangkah mendekat dengan langkah pelan seolah tak ingin mengganggu ketenangan di ruangan itu. Dia menarik kursi kayu yang terletak di samping tempat tidur lalu duduk dengan hati-hati. Matanya tak lepas dari pemuda yang terbaring lemah di hadapannya. Dari dalam tas sekolahnya dia mengeluarkan bungkusan obat yang tadi sudah dibelinya di apotek. Jarinya yang halus membuka tutup botol air minum yang dibawanya dengan hati-hati lalu mengambil beberapa butir obat sesuai dosis yang dianjurkan.
“Ini minum dulu obatnya…” ujarnya dengan suara lembut sambil menyodorkan obat itu ke arah pemuda. Senyum tulus mengembang di bibirnya mencoba memberikan sedikit ketenangan meski hatinya sendiri masih dipenuhi kecemasan.
Pemuda itu perlahan berusaha duduk meski tubuhnya terlihat masih lemah. Tangannya yang gemetar meraih obat yang diberikan Kirana. Dia menelan butiran obat itu satu per satu lalu mengambil gelas air yang sudah disiapkan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Setelah meneguk air dia menarik napas panjang seolah mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa.
Kirana memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama. Matanya yang tajam mencoba menangkap setiap detail dari wajah pemuda itu. Dia berharap bisa menemukan petunjuk siapa dia sebenarnya. Tapi yang dia lihat hanyalah wajah yang penuh dengan tanda tanya sama seperti yang dirasakannya.
“Dokter Guna akan datang nanti,” ucap Kirana mencoba memecah keheningan yang mulai terasa berat. “Dia bilang mungkin penglihatanmu terganggu karena benturan di kepala.” Suaranya terdengar pelan namun penuh perhatian. Dia berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa semuanya akan baik-baik saja meski di dalam hatinya sendiri dia masih merasa ragu.
Pemuda itu mengangguk pelan dan matanya yang masih samar mencoba menatap Kirana. “Terima kasih…” ujarnya dengan suara serak seolah setiap kata yang keluar membutuhkan usaha besar.
Kirana tersenyum kecil mencoba memberikan semangat. “Kamu tidak perlu khawatir. Dokter Guna akan membawa obat-obatan lain yang mungkin bisa membantu.” Dia berusaha menenangkan pemuda itu meski hatinya sendiri masih dipenuhi kecemasan.
Pemuda itu kembali mengangguk pelan lalu menatap ke arah jendela. Matanya yang masih samar seolah mencoba menembus kabut yang menyelimuti penglihatannya. Kirana mengikuti pandangannya dengan perasaan campur aduk. Dia menarik napas dalam mencoba menenangkan diri. Di benaknya dia tahu ada banyak misteri yang belum terungkap tapi untuk saat ini yang terpenting adalah memastikan pemuda itu bisa pulih.
Keheningan sesaat menyelimuti ruangan itu. Hanya suara hujan yang turun di luar yang masih terdengar menciptakan suasana yang tenang namun juga mencekam. Kirana merasa ada sesuatu yang aneh di antara mereka seperti sebuah ikatan yang mulai terbentuk meski masih samar. Dia tidak tahu mengapa tapi melihat pemuda itu dalam kondisi seperti ini membuat hatinya tergerak untuk menjaga dan melindunginya.
“Mas… siapa namanya?” tanya Kirana akhirnya memecah keheningan yang mulai terasa berat. Suaranya lembut penuh kehati-hatian seolah tak ingin membuat pemuda itu merasa tertekan. Dia memanggil dengan sebutan 'Mas', karena sepertinya pemuda itu lebih tua darinya.
Pemuda itu menoleh ke arah Kirana matanya yang masih kabur mencoba fokus pada wajahnya. “Satria…” jawabnya singkat suaranya terdengar serak namun jelas.
“Satria…” ulang Kirana seolah mencoba meresapi nama itu. Dia menunggu sejenak berharap ada informasi lebih yang akan diberikan tapi Satria hanya diam. Tidak ada cerita tambahan dan tidak ada penjelasan lebih lanjut. Hanya nama itu saja yang dia dapat.
Kirana mengangguk pelan mencoba menerima kenyataan bahwa untuk saat ini itu saja yang bisa dia ketahui. “Tidak apa-apa yang penting Mas sembuh dulu…,” ujarnya dengan senyum kecil mencoba memberikan semangat.
Mereka hanya berkenalan dengan singkat tapi bagi Kirana itu sudah cukup untuk saat ini. Dia tahu ada banyak hal yang harus diungkap tapi semua itu bisa menunggu. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Satria bisa mendapatkan istirahat yang cukup dan perlahan pulih dari kondisinya.
“Mas butuh istirahat…,” ujar Kirana sambil berdiri dan merapikan selimut yang menutupi tubuh Satria. “Aku akan menunggu di luar kalau Mas butuh sesuatu.”
Satria mengangguk lagi lalu perlahan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kirana memandangnya sejenak sebelum akhirnya meninggalkan ruangan dengan langkah pelan. Dia tahu ada banyak hal yang harus dihadapi tapi untuk saat ini yang terpenting adalah memastikan Satria bisa mendapatkan istirahat yang cukup.
Di luar ruangan Kirana menarik napas panjang mencoba menenangkan diri. Dia merasa ada sesuatu yang aneh tentang Satria tapi dia tidak bisa menjelaskan apa itu. Yang dia tahu dia harus membantunya dan mungkin suatu saat nanti semua misteri ini akan terungkap dengan sendirinya.
-----
Bagiamana keadaan Satria setelah ini? Apa yang akan dilakukannya…?