Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Pemulihan
Setelah tiga hari di pondok Kakek Sapto, kondisi Satria perlahan membaik. Meski matanya masih belum bisa melihat dengan jelas namun tubuhnya sudah mulai bisa digerakkan walaupun belum mampu berjalan. Dia sudah bisa duduk dengan nyaman dan luka-lukanya mulai mengering berkat perawatan telaten dari Kirana, Kakek Sapto dan Dokter Guna. Mereka bergantian merawatnya dan memberikan obat serta memastikan Satria merasa nyaman.
Namun latar belakang kejadian yang menimpa Satria masih menjadi misteri. Kirana dan Kakek Sapto memilih untuk tidak menanyakannya langsung. Mereka tidak ingin memicu trauma yang mungkin masih membekas di benak Satria. "Biarlah dia yang bercerita saat sudah siap," begitu kata Kakek Sapto pada Kirana suatu malam. Mereka percaya Satria akan menjelaskan semuanya ketika waktunya tepat.
Ririn yang baru datang dari Surabaya sudah mendengar kabar tentang pemuda yang diselamatkan Kirana. Begitu pula dengan Dina yang sejak awal sudah tahu dan bahkan tidak pernah absen mengunjungi pondok Kakek Sapto. Dina selalu datang dengan semangat tinggi dan siap mengajak Satria ngobrol tentang apa saja.
"Eh Mas Satria… kamu pernah lihat film horor yang baru rilis kemarin nggak?" tanya Dina suatu siang sambil duduk di samping tempat tidur Satria.
Satria yang masih terbaring lemah hanya menggeleng pelan. "Belum... mataku masih belum bisa melihat jelas," jawabnya dengan suara lemah.
"Ah nggak apa-apa… nanti aku ceritain deh. Tapi jangan ketakutan ya!" Dina tertawa kecil mencoba menghibur. "Kalau kamu ketakutan nanti aku yang harus nemenin tidur di sini lho!"
Kirana yang sedang menyiapkan obat di sudut ruangan ikut tersenyum mendengar candaan Dina. "Dina… jangan mengganggu Mas Satria dong. Dia kan masih dalam pemulihan," tegur Kirana sambil membawa segelas air dan obat ke dekat Satria.
"Ah Kirana… kamu terlalu serius. Santai aja dong. Biar Mas Satria nggak bosan di sini…," balas Dina sambil menyeringai. "Lagipula kan aku cuma bercanda. Satria pasti kuat ya?"
Satria hanya tersenyum lemah. "Terima kasih Dina... tapi mungkin lain kali saja ceritanya," ujarnya mencoba menanggapi candaan Dina dengan baik.
Sementara itu Ririn lebih banyak menghabiskan waktu untuk latihan dan belajar. Meski begitu dia selalu menyempatkan diri untuk membantu Kirana merawat Mas Satria. "Kirana kamu sudah capek hari ini… Istirahat dulu aku yang nemenin Satria sebentar…," kata Ririn suatu sore sambil mengambil alih tugas Kirana.
"Terima kasih Rin.... Tapi aku nggak apa-apa kok," jawab Kirana sambil tersenyum. "Aku cuma mau pastiin dia baik-baik aja."
Ririn mengangguk memahami. "Kamu memang baik banget Kirana. Tapi jangan lupa jaga diri sendiri ya. Kalau kamu sakit siapa yang bakal rawat Mas Satria?"
Kirana tersenyum kecil. "Iya Rin. Aku akan istirahat sebentar."
Di tengah suasana pondok yang tenang, Satria perlahan merasa nyaman. Meski masih banyak pertanyaan yang mengganjal di benaknya namun dia merasa beruntung berada di antara orang-orang yang peduli padanya. Dia tahu suatu saat nanti dia harus menceritakan semua yang terjadi tapi untuk sekarang dia memilih untuk fokus pada pemulihannya.
---
Di tengah gemerlap ibu kota Jakarta suasana di rumah keluarga Nugroho justru dipenuhi kecemasan yang mencekik. Tiga hari telah berlalu sejak terakhir kali mereka mendengar kabar dari Satria. Ponselnya tidak bisa dihubungi akan selalu masuk ke pesan suara seolah-olah menghilang begitu saja dari dunia. Nyonya Nurmala Nugroho...Ibu Satria duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah pucat dan mata yang sembab. Tangannya menggenggam erat ponsel seolah berharap ada kabar dari anak semata wayangnya itu.
“Kak Satria pasti baik-baik saja Bu,” ujar Devinta adik Satria mencoba menenangkan ibunya meski hatinya sendiri juga dipenuhi kecemasan. “Kakak pasti hanya sibuk dengan urusannya.” Tapi kata-kata itu terdengar kosong bahkan di telinganya sendiri.
Tuan Dewanto Nugroho... ayah Satria berdiri di dekat jendela dengan tangan terkepal. Wajahnya yang biasanya tegar sekarang terlihat lelah dan penuh kekhawatiran. “Aku sudah mengerahkan semua anak buahku untuk mencari dia,” ujarnya dengan suara berat. “Tapi sampai sekarang belum ada kabar.”
“Kenapa kita tidak melaporkan ini ke polisi Pa…?” tanya Devinta dengan suara gemetar. Dia tidak bisa membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya.
“Sudah…,” jawab Tuan Nugroho singkat. “Tapi mereka bilang harus menunggu 24 jam lagi sebelum bisa bertindak lebih lanjut.”
Nyonya Nugroho menangis pelan tangannya menutupi wajahnya. “Aku tidak bisa kehilangan dia… tidak bisa…hiksss...”
Devinta mendekat dan memeluk ibunya dengan erat. Dia sendiri merasa hancur melihat orang tuanya seperti ini. Tapi dia harus tetap kuat untuk mereka.
“Aku sudah menghubungi semua teman-temannya,” lanjut Tuan Nugroho mencoba menenangkan istrinya. “Tapi tidak ada yang tahu di mana dia sekarang.”
“Dia bilang akan bertemu Rudi di restorannya kan…?” tanya Devinta tiba-tiba teringat sesuatu.
“Iya… tapi Rudi bilang Satria tidak pernah datang malam itu…,” jawab Tuan Nugroho dengan suara yang semakin berat.
Ruangan itu kembali dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara tangisan Nyonya Nugroho yang terdengar memecah kesunyian. Devinta memandang ke arah jendela di mana langit Jakarta mulai gelap. Dia berdoa dalam hati semoga kakaknya baik-baik saja dan segera pulang ke rumah.
“Kita harus terus mencari…,” ujar Tuan Nugroho akhirnya memecah keheningan. “Aku tidak akan berhenti sampai menemukan dia....”
Devinta mengangguk pelan. Dia tahu ayahnya tidak akan menyerah begitu saja. Tapi di dalam hatinya dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Satria bukan tipe orang yang akan menghilang begitu saja tanpa kabar. Ada sesuatu yang terjadi dan dia berharap mereka bisa menemukan jawabannya sebelum semuanya terlambat.
-----
Sementara itu di pondok Kakek Sapto... suasana terasa berat dan sunyi. Satria terbaring lemah di atas tempat tidur kayu yang sederhana. Matanya yang masih samar-samar mencoba menatap langit-langit kamar yang dipenuhi oleh bayangan cahaya temaram dari lentera minyak. Napasnya terasa berat seolah setiap tarikan udara mengingatkannya pada beban yang harus dipikul. Dia tahu keluarganya pasti sedang mencari dirinya dengan cemas namun dia belum siap untuk kembali. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dia hadapi dan dia yakin semua ini bukanlah kebetulan semata. Ada tangan tak terlihat yang menggerakkan takdirnya dan dia tidak bisa lari dari itu.
Kirana yang duduk di sampingnya dengan raut wajah penuh perhatian memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajah Satria. Tangannya yang kecil dan hangat memegang erat tangan Satria seolah ingin memberikan kekuatan. “Mas…” suaranya pelan namun penuh makna. “Kamu pasti merindukan keluargamu ya?” tanyanya dengan nada yang lembut namun menusuk langsung ke relung hati.
Satria menatap Kirana sejenak sebelum mengangguk lemah. “Iya…” jawabnya dengan suara serak. “Tapi aku belum bisa kembali. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan dulu. Sesuatu yang lebih besar dari diriku.” Matanya menerawang seolah mencoba menembus dinding kamar dan melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan.
Kirana mengangguk perlahan meski sebenarnya dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dihadapi Satria. Tapi dia tahu satu hal dengan pasti… dia akan tetap di sisinya sampai semuanya berakhir. “Aku mungkin tidak mengerti semua yang kamu alami Mas… tapi aku di sini untukmu. Kamu tidak perlu menghadapi semuanya sendirian,” ucapannya tulus dan penuh keyakinan.
----
Apakah Satria akan kembali ke keluarga dalam waktu singkat? Kita tunggu kelanjutannya…