Transmigrasi Gadis Pengacara

Transmigrasi Gadis Pengacara

Awal mula

Balairung istana gemerlap dengan hiasan emas dan permata, tetapi suasananya tegang seperti langit yang mendung sebelum badai. Dua pangeran muda, Arven dan Raze, berdiri di tengah aula, saling melontarkan tatapan penuh kemarahan. Di singgasana megah di ujung ruangan, Raja Veghour menatap mereka dengan kerutan di dahi.

“Apa yang terjadi?” tanya Raja dengan suara berat yang menggetarkan ruangan.

Arven, pangeran sulung yang berusia tiga belas tahun, berbicara lebih dulu. Wajahnya memerah, tapi matanya teguh. “Raze menuduhku mencuri pedang perak miliknya, Paduka. Tapi itu tidak benar!”

Raze, pangeran kedua yang satu tahun lebih muda, tersenyum tipis penuh rasa menang. “Jangan bohong, Arven. Aku melihatmu keluar dari ruang senjata tadi pagi. Dan saat aku memeriksa, pedangku hilang.”

“Itu karena aku pergi mencari busurku! Aku bahkan tidak menyentuh pedangmu!” seru Arven, suaranya pecah oleh amarah yang ia tahan.

Raja Veghour menatap kedua anaknya, lalu melirik ke arah prajurit yang berdiri di sisi aula. “Bawa saksi ke mari. Kita akan dengar dari mereka.”

Seorang pelayan muda melangkah maju. Tubuhnya gemetar, tetapi ia menunduk hormat kepada Raja. “Ampun, Paduka. Saya melihat Pangeran Arven keluar dari ruang senjata pagi ini.”

Arven tertegun. “Kamu tahu aku tidak mencuri apa pun! Aku hanya mengambil busurku!”

Pelayan itu menunduk lebih dalam, menghindari tatapan Arven. Kenyataannya, ia telah menerima ancaman dari Raze beberapa jam sebelumnya. Jika ia tidak memberikan kesaksian sesuai keinginan sang pangeran kedua, nyawanya bisa terancam.

“Cukup,” ujar Raja Veghour. Tatapannya dingin, seperti pedang yang baru diasah. Ia memandang Arven dengan kekecewaan yang menusuk. “Kamu tahu mencuri adalah perbuatan tercela. Sebagai anakku, kamu seharusnya menjaga kehormatan keluarga.”

“Tapi Ayah—”

“Tidak ada tapi-tapian!” potong Raja. “Kamu akan dihukum menjalani tugas-tugas istana selama seminggu penuh tanpa istirahat. Mungkin itu akan mengajarkanmu arti tanggung jawab.”

Arven membuka mulutnya untuk membantah, tetapi pandangan tajam ayahnya menghentikannya. Ia menunduk, menahan amarah dan sakit hati yang mendidih di dalam dirinya.

Raze berdiri di samping dengan wajahnya penuh rasa puas. Namun, di balik senyumnya, ada kenyataan yang ia sembunyikan. Pedang peraknya sebenarnya ia sembunyikan di bawah tempat tidurnya pagi tadi, hanya untuk memberi pelajaran kepada pangeran sulung yang selalu menang darinya. Padahal Arven tidak pernah menang dari Raze kalau dihadapan raja. Dia memang unggul di bidang apapun dari Raze, tapi tidak dengan kasih sayang sang ayah.

Setelah balairung kosong, Arven duduk di anak tangga, memandang jauh ke luar jendela. Hatinya penuh dengan rasa kecewa dan marah. Biasanya kalau ibunya alias sang ratu masih bersamanya, Arven akan ada yang selalu memeluk. Sedangkan sekarang dia hanya bisa terdiam seorang diri menerima ketidakadilan. Ibunya Raze, sang selir yang sudah naik takhta menjadi ratu, menghampirinya seraya bertanya keadaan anak itu.

"Pangeran Arven, maaf bila ibu--"

Belum selesai kalimat sang ratu, Arven berdiri dari duduknya, menatap ibunya Raze dengan tatapan tidak suka. Lalu Arven pergi begitu saja meninggalkan Ratu Baily yang memandang Arven dengan tatapan nanar.

...___________________________________________...

Selamat membaca pemirsa.

Masa kini, di zaman kesibukan manusia.

Langit sore meredup, menyisakan semburat jingga yang merayap di sela tirai jendela ruang tamu. Nara duduk dengan kaku, seperti boneka yang terjebak dalam bingkai waktu. Di hadapannya, Papa dan Mama berbicara dengan nada tegas, namun lembut, seperti belati yang dibalut sutra.

“Kamu sudah dewasa, Nara,” kata Papa, membuka pembicaraan. “Kami merasa ini saat yang tepat untuk mengenalkan mu dengan anak teman Papa. Dia cocok sekali untukmu.”

Nara hampir tersedak mendengar kata-kata itu. Perjodohan? Di zaman ini? Ia menatap mereka bergantian, mencoba memastikan bahwa ini lelucon. Tapi ekspresi tegas di wajah mereka tidak memberikan ruang untuk bantahan.

"Kami sudah memikirkannya matang-matang,” imbuh Papa, matanya seperti tebing yang tak bisa ditembus. “Perjodohan ini bukan hanya demi kamu, tapi juga keluarga kita.”

"Papa sama Mama mau jodohin aku? demi keluarga kita yang gimana sih Pa? mau menyatukan dua kekuatan biar perekonomian keluarga kita makin meroket?"

“Nara, dengarkan dulu,” Mama mencoba melunak. “Bukan begitu maksudnya. Mama sama Papa jodohin kamu sama dia, ya karena dia anaknya baik, dan keluarganya dekat dengan kita.”

“Tapi Nara nggak mau. Masa di jaman modern kaya sekarang masih aja urusan hati ditentuin sama orangtua. Menikah itu harus dengan orang yang saling mencintai."

"Tapi kan kamu bisa mencoba berkenalan dulu Nara. Cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu." Papa tidak mau kalah.

"Tetap nggak bisa begitu Pa."

"Nara, kami hanya ingin yang terbaik,” sambung Mama, suaranya selembut angin malam. Namun di balik nada itu, ada desakan yang tidak bisa diabaikan. “Dia anak yang baik. Kamu akan menyukainya jika mau mencoba.”

Nara tertawa kecil, pahit. “Cinta bukan eksperimen, Ma.”

"Yasudah gini aja, sebagai bentuk bakti kamu kepada orangtua, Papa mau kamu tetap menemui anak temannya Papa. Entah itu kapan, Papa tunggu kamu sampai siap!" tidak ada yang mau kalah antara Nara dan orangtuanya. Nara sebenarnya tidak punya pacar. Tapi malas juga kalau sampai dijodohkan.

"Pa, Ma, jodoh itu bukan paksaan, tapi pertemuan yang Tuhan siapkan dengan cinta, bukan tekanan. Jadi kalau Papa Mama masih bersikeras memaksa Nara, ingat apa kata tukang sate."

Tanpa mendengar balasan, ia bergegas naik ke kamarnya menyisakan kalimat yang menuntut penjelasan lebih.

"Emangnya tukang sate bilang apa Ma?" Papa bertanya kepada istrinya. Wanita itu hanya mengedikkan bahu pertanda bingung.

"Pokoknya kita tidak boleh menyerah. Papa mau Nara menerima perjodohan ini. Umurnya sudah tiga puluh satu tahun, jadi sudah habis batas waktu yang sudah kita berikan untuk dirinya."

"Iya Pa, Mama setuju. Mama tidak akan menyerah membujuknya."

...***...

Beberapa bulan kemudian.

Nara menarik napas panjang, berdiri di depan cermin. Hari ini adalah hari besar—sidang terakhirnya sebagai pengacara muda. Namun, pikirannya terusik. Selama berbulan-bulan, orang tuanya terus mendesaknya soal perjodohan. Mereka ingin dia menikah dengan anak kolega bisnis, padahal Nara tidak pernah sekalipun menginginkan itu.

“Apa hidup gue nggak bisa santai sebentar aja?” gumamnya.

Setelah sidang selesai dengan hasil yang memuaskan, Nara memutuskan kabur sejenak dari rutinitas. Dia mengambil mobilnya tanpa tujuan pasti. Jalanan membawanya ke sebuah desa yang sunyi. Angin segar dan pemandangan hijau membuat hatinya sedikit lega.

Di sebuah tikungan, dia melihat seorang wanita tua duduk di beranda rumah kayu yang sederhana. Wanita itu menyapanya ramah.

“Anak muda, mampir dulu. Sepertinya lelah,” katanya.

Nara berhenti. Ia butuh suasana baru. Mereka berbincang, dan dari cerita sang nenek, Nara tahu rumah itu akan dijual karena nenek ingin pindah ke kota bersama anak-anaknya.

“Rumah ini seperti membawa kedamaian,” kata Nara sambil memandangi pekarangan yang luas dan rapi.

“Kalau kamu suka, belilah. Aku yakin rumah ini akan membawa ketenangan untukmu,” ujar nenek dengan senyum lembut.

Tanpa berpikir lama, Nara setuju. Rumah itu kini menjadi tempat pelariannya dari segala penat dunia. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa punya kendali atas hidupnya sendiri.

Gue tinggal disini aja ah untuk sementara waktu. Penat juga ngeladenin perjodohan Papa dan Mama. Kasihan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, menikah itu harus dengan pilihan hati. Selama ini gue juga lagi usaha menemukan jodoh dengan cara natural.

Nara bahkan mengambil keputusan untuk tidak bilang pada orangtuanya soal pembelian rumah tersebut. Dia mau menjadikan rumah ini sebagai tempat pelariannya. Tanpa dia sadari, angin yang berhembus terasa begitu berbeda. Seakan membawa kabar kalau dia---

.

.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Ikan

Ikan

Tenang, Sayang. Mulai saat ini, Kakak yang akan memelukmu

2024-12-22

1

Dewi Payang

Dewi Payang

Suapan dan ancaman seumpama virus mematikan didalam hukum dan keadilan.

2024-12-22

1

Ikan

Ikan

Naon kata tukang sate teh?

2024-12-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!