Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Pengakuan Kirana
Pagi itu, Kirana bangun dengan hati yang penuh kegelisahan.
Setelah semalaman bergumul dengan pikirannya sendiri, dia merasa tidak siap untuk bertemu Kaelus.
"Aku harus menghindarinya hari ini," pikirnya sambil menarik selimut lebih dalam, berharap bisa bersembunyi dari dunia.
Tapi tentu saja, takdir berkata lain.
.
Ketika Kirana akhirnya turun ke ruang tamu, niatnya hanya satu, pergi ke luar sebelum Kaelus menyadari keberadaannya.
Namun begitu dia membuka pintu depan, seseorang sudah berdiri di sana dengan santai, menyandarkan tubuhnya ke mobil hitam mewahnya.
Kaelus.
Dia mengenakan kaus lengan panjang hitam yang digulung hingga siku, celana jeans biru tua, dan sneakers putih. Jauh berbeda dari sosok CEO dingin yang selalu mengenakan setelan jas rapi.
Namun justru karena itu, dia terlihat lebih santai. Lebih... berbahaya.
Tatapannya mengunci Kirana seketika.
"Apa yang kau lakukan di pagi hari begini?" tanyanya dengan nada datar, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia sudah tahu jawabannya.
Kirana menelan ludah. "Aku... ingin jalan-jalan sebentar."
Kaelus tersenyum miring. "Bagus, kebetulan aku juga ingin mengajakmu makan siang. Naiklah."
"Tapi aku—"
"Jangan membantah, Kirana," potongnya, suaranya lebih lembut kali ini. "Aku tidak akan membiarkanmu lari dariku." Kirana terdiam.
.
Mereka tiba di sebuah restoran kecil di pinggir kota. Tempat itu jauh dari kesan mewah, hanya sebuah kafe sederhana dengan suasana nyaman dan sedikit orang.
Kaelus memilih meja di sudut ruangan, lalu menarik kursi untuk Kirana sebelum duduk di depannya.
"Kenapa ke tempat seperti ini?" Kirana bertanya, mencoba menghindari tatapan pria itu.
"Aku ingin suasana yang berbeda," jawab Kaelus santai. "Di tempat seperti ini, aku bisa menjadi pria biasa. Tanpa beban nama besar atau ekspektasi orang." Kirana mengangguk pelan.
Mereka memesan makanan, dan sepanjang waktu menunggu, suasana di antara mereka terasa canggung.
Kaelus menatap Kirana tanpa berkata apa-apa, seolah menunggu sesuatu. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara lemah.
Kaelus menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas panjang. "Aku sedang menunggu."
"Menunggu apa?"
"Menunggu kapan kau akan berhenti menghindariku."
Jantung Kirana berdegup keras.
.
"Aku tidak menghindarimu," kilah Kirana, meskipun dia tahu itu bohong.
Kaelus mengangkat alis. "Benarkah? Lalu kenapa kau terlihat gelisah sejak kemarin?"
Kirana terdiam.
Kaelus melipat tangannya di atas meja. "Aku tahu kau sedang memikirkan pengakuanku. Aku juga tahu kau ragu. Tapi aku ingin jawaban, Kirana."
Kirana mengigit bibirnya.
Dia bisa merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dia tidak bisa bersembunyi lagi.
Dengan suara pelan, dia berkata, "Aku... aku takut, Kael."
Kaelus mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin dekat dengannya. "Takut apa?"
"Takut berharap terlalu tinggi," jawab Kirana jujur. "Takut bahwa semua ini hanya perasaan sesaat bagimu. Takut bahwa aku tidak cukup baik untukmu."
Ekspresi Kaelus berubah serius.
Dia meraih tangan Kirana di atas meja, menggenggamnya erat.
"Kirana," suaranya rendah dan dalam, "aku tidak pernah main-main dengan perasaanku."
"Tapi aku hanya seorang gadis biasa—"
"Aku tidak peduli," potongnya cepat. "Kau adalah gadis yang membuatku hampir gila karena terlalu memikirkannya. Kau adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa hidup."
Kirana menahan napas.
"Aku mencintaimu," lanjut Kaelus, matanya penuh ketulusan. "Dan aku ingin kau percaya padaku." Air mata menggenang di sudut mata Kirana.
Kirana menarik napas dalam-dalam. Dia tidak bisa terus bersembunyi. Dia tidak bisa terus menghindari perasaannya.
Dia menatap Kaelus dengan mata yang bergetar. "Aku juga mencintaimu," bisiknya pelan. Kaelus terdiam.
Untuk pertama kalinya, pria itu tampak terkejut. Namun hanya sedetik, sebelum senyum lembut terukir di bibirnya. "Sekali lagi," katanya.
Kirana menggigit bibirnya, pipinya merona.
"Aku mencintaimu, Kaelus." Kaelus menutup mata sejenak, seolah ingin mengukir kata-kata itu dalam hatinya.
Ketika dia membuka mata, ada cahaya lembut di sana.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi," katanya penuh keyakinan.
Dan saat itu, Kirana tahu...
Dia telah membuat keputusan yang benar.
.
Di sudut ruangan lain di restoran itu, dua pasang mata memperhatikan dengan penuh minat.
Alice dan Alessia duduk di meja yang sedikit tersembunyi, tersenyum penuh arti saat melihat bagaimana Kaelus dan Kirana berbicara dengan serius.
Sejak awal, mereka memang sudah mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan ‘kakak-adik’ antara Kaelus dan Kirana.
Hari ini, mereka akhirnya mendapatkan jawabannya.
.
Alice menyandarkan dagunya di tangannya, menyeringai kecil.
"Kau lihat itu, Mom?" bisiknya, suaranya mengandung nada geli. "Akhirnya pria dingin itu mengaku juga."
Alessia terkikik pelan. "Aku sudah menduga akan seperti ini. Dia sudah terjebak dalam perasaannya sendiri sejak lama, tapi seperti biasa, dia terlalu angkuh untuk mengakuinya."
Alice mendengus geli. "Sejujurnya, aku tidak menyangka dia akan secepat ini berani mengungkapkannya."
Alessia melipat tangannya, menatap putranya dengan bangga. "Dia anakku. Pada akhirnya, Kaelus juga harus belajar bahwa dalam cinta, kau tidak bisa selalu bersembunyi di balik kendali."
Alice tertawa pelan. "Benar juga."
Mereka terus mengamati diam-diam, menahan tawa saat melihat bagaimana ekspresi gugup Kirana, lalu keterkejutan Kaelus setelah mendengar pengakuan dari gadis itu.
.
Saat akhirnya Kirana berbisik, "Aku mencintaimu, Kaelus," Alice dan Alessia hampir tidak bisa menahan kegembiraan mereka.
Mereka saling bertatapan, lalu tanpa ragu mengangkat tangan dan melakukan tos pelan.
"Hah! Aku menang taruhan!" Alice terkikik pelan.
Alessia mengangkat alis. "Taruhan apa?"
Alice menyeringai. "Aku bertaruh dengan diriku sendiri bahwa Kirana akan lebih dulu mengungkapkan perasaannya daripada Kael."
Alessia tersenyum penuh arti. "Sepertinya aku juga harus memberi penghargaan untuk Kirana. Gadis itu lebih berani dari yang kukira."
Alice mengangguk penuh semangat.
Mereka terus menonton, seolah sedang melihat adegan dalam film romantis.
.
Sebagai seorang ibu, Alessia merasa lega melihat putranya akhirnya menemukan kebahagiaannya sendiri.
Kaelus bukanlah pria yang mudah terbuka terhadap orang lain. Selama ini, dia selalu menjaga jarak, selalu mengutamakan logika dan kendali.
Namun, gadis polos bernama Kirana ini... berhasil menembus pertahanan Kaelus.
Dan Alessia tidak bisa lebih bangga dari ini.
Alice, di sisi lain, juga merasa seperti seorang adik yang baru saja melihat kakaknya tumbuh dengan cara yang berbeda.
Sejak kecil, Kaelus adalah sosok yang selalu kuat, tak pernah menunjukkan kelemahannya.
Tapi hari ini, dia melihat sisi lain dari kakaknya.
Sisi yang manusiawi.
Sisi yang tulus mencintai.
Alice tersenyum sendiri.
"Semoga kalian bahagia, Kak..."
Tanpa mereka sadari, hari itu menjadi salah satu momen berharga dalam hidup mereka.
Hari di mana Kaelus Moretti akhirnya menerima cintanya...
Dan hari di mana Kirana akhirnya mengizinkan dirinya untuk mencintai tanpa rasa takut.