“Regina Meizura Carlton sebenarnya sudah mati. Namun, tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk membalas dendam*
Bagaimana rasanya dikhianati oleh suami, adik, ibu tiri dan juga ayah yang selalu memihak pada mereka. Hingga kematian merenggut Regina dan kesempatan kedua kali ini dia tidak akan melewatkan kasih sayang dari Axel Witsel Witzelm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleena Marsainta Sunting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Terasa Menyakitkan
“Apa kamu masih ingin ice cream dan kentang gorengnya?” Axel berbicara sambil mengusap rambutku.
Dia terus tersenyum melihat tingkahku. Aku malu. Hanya bisa memeluknya dengan erat. Ini pertama kalinya aku merasa seperti saat ini.
Terus berdebar tanpa henti dan perasaan itu hanya bisa aku rasakan ketika bersama dengan Axel.
Dulu aku pernah salah mengartikan perasaanku. Aku berpikir cintaku dulu pada Nicholas adalah cinta sejati, tapi setelah aku mengetahui semua kebusukan mereka, aku hanya menyesal membiarkan para serangga itu tetap di sisiku.
Secepatnya aku harus mengusir serangga itu menjauh agar aku tidak kembali tersengat oleh mereka.
“Aku mau, tapi aku gak mau turun dari sini,” ucapku menjawab lirih, sungguh memalukan, aku bertambah cegil dan tak tahu diri setelah perlakuan dari Axel barusan.
Aku merasa itu adalah ikatan dan janji kami yang tak sempat terealisasi di masa lalu. Sekarang, aku hanya mengakui Axel seorang sebagai kekasihku.
“Jadi, aku bagaimana kalau Billy yang membelinya? Apa boleh?” kata Axel lagi meminta izinku, aku hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap wajahnya.
Aku benar-benar malu.
“Boleh aku minta sosis dan bakso bakar sebagai tambahan. Uhm … lalu salad buah,” ucapku lirih sambil memainkan jariku di dada Axel.
Yang terdengar hanya hembusan nafas kasar dari Axel, kemudian dia membuka kaca mobilnya, “Billy!” panggilannya.
Aku melirik diam-diam saat merasakan tubuh Billy mendekat kearah mobil.
“Pergilah, belikan, ice cream strawberry, kentang goreng, sosis juga bakso bakar, lalu salad buah tambahannya,” ucap Axel mengulangi semua pesanan ku.
Aku tersenyum saat mendengar. Dia benar-benar memperhatikan semua inginku. Aku benar-benar tidak salah memilih orang yang kucintai kali ini.
“Apa anda tidak salah, Tuan? Dia itu manusia atau ikan buntal sih?” celetuk Billy ketika mendengar tuannya berkata.
Ini adalah pertama kalinya aku meminta makanan yang sesuai dengan keinginan ku. Rasa antusias ku melambung tinggi.
Axel hanya mendelik dan aku, “Apa kau bilang? Ikan buntal? Kamu tuh yang ikan julung-julung. Mulutmu itu sama persisnya,” dengkusku tidak mau kalah melawan ocehan balik dari Billy.
Aku hampir saja kesurupan kalau menghadapi sikap Billy. Dia ini siapanya Axel sih? Axel bahkan tidak marah saat dia berkata seperti itu padaku. Aku kesal.
“Aku tidak mau lagi, antarkan aku pulang sekarang!”
Aku yang sebal malah beneran marah karena perkataan Billy, padahal Billy baru saja akan berbalik pergi dengan perintah tuannya.
“Benarkah? Baik kalau seperti itu,” jawab Billy cepat. Telinganya melebihi telinga kelinci.
“Aghhh!!” jeritku dan Axel hanya mendelik tanpa berkata Billy bergegas pergi.
“Jangan marah, Billy hanya menunjukkan sikap perhatiannya padamu!”
“Apa yang perhatian sih? Itu namanya mengejek orang!”
“Sudahlah, jangan diambil hati. Sungguh, Billy hanya perhatian padamu, Regi!”
“Hmm … baiklah, baiklah, aku gak bikin panjang lagi masalahnya,” cetusku, namun Axel malah menatapku.
“Kenapa? Apa ada yang salah? Kenapa kau melihatku seperti itu?” sambil mengerutkan kening aku berkata, sebenarnya aku sudah bisa menebak, Axel pasti bingung dengan perubahan sikapku.
“Katakan, kenapa kau melakukan ini semua? Apa ini hanya trikmu? Kau hanya ingin membuatnya cemburu dan memanfaatkanku? Hmm?!”
Axel mencercaku dengan pertanyaan, sepertinya rasa penasarannya sudah tidak terbendung.
Aku terdiam dengan pertanyaan. Aku juga tidak mungkin bercerita kalau sebenarnya aku sudah mati dan melihat semua pengkhianatan suami juga adik tiriku. Dan di detik penghabisan hidupku dialah yang datang menolongku.
Dia bahkan pergi meninggalkanku lebih dulu karena melindungiku. Rasanya aku gak sanggup kalau harus menceritakan semua.
“Apa menurutmu, Tuhan itu adil?”
Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan.
Axel mengerutkan kening.
“Aku hanya merasa, aku telah bermimpi buruk dan mimpi itu terlihat sangat nyata. Aku tidak ingin mimpi itu menjadi nyata. Dan, aku mungkin terdengar seperti orang gila, aku ingin mengubah mimpi itu. Sekali saja, aku ingin mengubahnya. Aku ingin hidupku baik-baik saja dan bahagia dengan orang yang kucintai, apakah itu salah?”
Kataku penuh arti dengan guratan wajah yang sulit Axel artikan. Dia menatapku dalam dan mataku yang bergerak tak menentu membuatku menahan sesak di tenggorokan juga air mata yang tertahan.
“Apa aku ada dalam mimpimu?”
Pertanyaan yang tidak mungkin aku bayangkan dari seorang Axel. Dia tidak menghakimi semua perubahanku, namun dia hanya mengomentari ceritaku tentang mimpi.
Aku tahu, ini bukan hanya cerita tentang mimpiku. Itu adalah kisah kelamku yang aku jalani bersama dengan Nicholas, Minna, Papa dan ibu tiriku.
Semua yang terasa masih sangat menyakitkan.
Aku menjawabnya dengan anggukan dan kembali air mataku mengalir tanpa bisa aku kontrol. Itu secara reflek, aku tidak bisa membendungnya.
Hatiku memang sudah hancur berkeping-keping. Jiwaku memang sudah terlukai oleh penghianat mereka.
“Apa di mimpimu, aku menyakitimu,” aku menggeleng dan berkata, “En—enggak! Kamu adalah bagian terbaik dalam mimpi burukku. Berkat kamu aku bisa bangkit dan ingin memulai hal baru, ya … seperti yang sedang aku lakukan sekarang,” ucapku bergetar diiringi dengan derasnya air mataku.
“Syukurlah, Regi, aku sangat takut. Jika dalam mimpimu, aku menyakitimu,” ucap Axel sambil menghapus air mataku, “tolong jangan menangis dan jangan ingat lagi mimpi burukmu itu, uhm!” Aku mengangguk dan kembali tanpa ragu memeluknya.
Yang aku inginkan sekarang hanya memeluknya dengan erat. Aku nggak mau lagi berpisah dengannya. Hingga suara ketukan dari kaca mobil mengubah semua.
Agghh … dasar si ikan julung-julung. Dia selalu saja mengganggu momen berharga ku dengan Axel. Selalu saja temingnya tidak tepat.
“Tuan, ini pesanannya,” kata Billy kecut sambil memberikan satu paper bag yang sudah diisi dengan semua pesanan ku.
“Akhirnya, terima kasih banyak ikan julung-julung. Ternyata kamu benar-benar baik banget!”
Sebelum paper bag itu sampai di tangan Axel, aku sudah merampasnya lalu aku turun dari pangkuan Axel. Sekarang aku seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat jajanan.
“Ya … ampun, Nona, kau sebegitunya, katanya kau banyak uang dan bisa membelinya, tapi kau terlihat seperti orang yang tiga hari tidak makan saja,” ejek Billy padaku.
Namun, kali ini ejekannya seolah tidak terdengar. Aku sedang fokus makan ice cream lalu menggigit sosis bakar.
Axel pun menyadarinya. Ucapan Billy memang tidak salah. Aku seperti anak kecil yang mencoba semua lalu belepotan memakannya.
“Pelan-pelan, kalau kurang kita bisa membelinya lagi. Aku akan membelikan sebanyak apapun yang kamu inginkan,” kata Axel seperti kasihan sambil mengusap rambutku seperti anak kucing liar yang baru ditemukan di jalan lalu di beri makanan.
Aku nggak menyangka rasanya bebas tanpa aturan seperti ini. Ini benar-benar luar biasa. Aku senang sekali. Aku bisa menghirup udara seperti ini.
Urusan setelah ini aku yakin sekali, keluargaku, Minna, dan Nicholas pasti akan menuntut penjelasanku.
Sebelum itu terjadi, aku harus makan yang kenyang agar punya tenaga untuk menghadapi sikap licik mereka.
***