Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Anak siapa yang kamu bawa Arumi?" Yudha kaget ketika Arumi menggandeng anak blasteran warna kulit pun kontras dengan kebanyakan kulit orang Indonesia.
"Nanti ceritanya di rumah Mas" jawab Arumi segera membuka pintu mobil membantu Adel naik.
"Tunggu Rumi, jangan-jangan kamu menculik anak ini" Yudha menahan tangan Rumi ketika hendak menyusul Adel.
"Om nggak boleh malah-malah, Ate Lumi bukan menculik, tapi Adel yang mau ikut" Adeline cemberut tidak terima siapapun yang berani berbicara dengan suara meninggi kepada calon mamanya.
Yudha menatap anak kecil dengan bahasa cadel itu dengan dahi berkerut. "Kecil-kecil rupanya galak" batin Yudha
"Ayo Mas, kita ngobrol di mobil saja" Rumi segera masuk lalu menidurkan Adel di pangkuan, memberi bekal susu formula dalam botol selayaknya seorang ibu.
"Ya sudah" Yudha segera masuk, kemudian menjalankan kendaraan roda empat itu menuju kediamannya. Yudha Qodir adalah kakak kandung Arumi. Pria 25 tahun itu mengajar di salah satu sekolah SMP negeri. Jika hari ini tidak ke sekolah karena tidak ada jam.
"Ayah sama Ibu sehat kan Mas?" Arumi sudah tidak sabar ingin bertemu kedua orangtuanya yang selama satu semester tidak ia kunjungi.
"Alhamdulillah... tapi beliau sekarang sedang mengajar" tutur Yudha, saat ini di rumah hanya ada Mbok.
"Ibu ngajar setiap hari ya Mas"
"Betul, jam mengajar Ibu lebih banyak daripada aku Rum" Yudha menceritakan jika ayah dan ibunya masih bersemangat walaupun usianya sudah 50 tahun, sedangkan ayah 55 tahun.
Ayah Arumi adalah dosen perguruan tinggi negeri yang menomorsatukan pendidikan kedua anaknya. Maka beliau mempunyai harapan agar Rumi melebihi ayah, dan ibunya. Pak Seno bukan orang tua pemaksa, ia membiarkan anak-anak berkembang sesuai kemampuan. Namun, sebagai orang tua beliau ingin kedua anaknya menjadi orang yang berguna bagi negara.
Bukan hanya pak Seno Yahya, dan Yudha Kadir yang berprofesi sebagai pengajar, tapi ibu Astiti Ningrum ibu kandung Arumi Meidina pun menjadi guru di SMA negeri. Itulah keluarga Arumi semua menjadi pegawai negeri. Walaupun tidak kaya tetapi berkecukupan.
"Bagaimana skripsi kamu" Yudha menatap adiknya dari kaca spion.
"Alhamdulillah Mas, sudah selesai"
"Lalu siapa anak itu? Jangan-jangan kamu selama di Jakarta melanggar norma sampai punya anak" seloroh Yudha, sebenarnya Yudha percaya adiknya bukan orang seperti itu tetapi adiknya pulang tiba-tiba membawa anak tentu saja menjadi tanda tanya.
"Ngawur" Arumi ingin menggeplak bahu Yudha seperti biasanya jika bukan karena sedang menyetir.
"Ate Lumi sekalang syudah jadi Mama Adel, Om" Adel yang sudah menghabiskan satu botol susu ikut bicara.
"Sudah jadi Mama?" Yudha tidak mengerti.
"Mas, sebenarnya aku mau menikah dengan Papanya Adel, tapi aku takut Ayah dengan Ibu tidak merestui" Arumi pun lantas mengendur.
"Maksudnya kamu mau menjadi istri kedua? Kalau itu yang kamu maksud, Ayah dengan Ibu termasuk aku akan menentang kamu Rumi" Tegas Yudha.
"Idih, ya nggak lah Mas, Papa Adel sudah duda kok"
"Duda mati atau cerai?" Cecar Yudha, jika papa Adel duda cerai, Yudha khawatir adiknya akan menemui masalah di kemudian hari. Lain halnya jika sudah meninggal tentu akan berbeda cerita.
"Ya, aku malah belum tanya Mas" Arumi menunduk menatap Adel ingin bertanya kemana mama kandungnya, tetapi anak itu ternyata pulas.
"Kamu ini bagaimana Rum, menikah itu akan menjadi surga jika kamu dengan calon suami kamu saling mengasihi dan mencintai, tetapi sebaliknya. Akan menjadi neraka jika ada orang ketiga dalam perkawinan kalian" nasehat Yudha, sebagai seorang guru tentu saja Yudha bisa berkata bijak.
Arumi tertegun mendengar nasehat kakak laki-laki nya itu, kenapa juga ia sampai lupa menanyakan kemana perginya mama Adel.
Yudha tidak lagi melanjutkan pertanyaan ketika sudah tiba di depan rumah lantai dua, nampak asri dilihat dari jalan yang hanya dipagar pendek. Itulah kediaman kedua orang tua Arumi. Arumi menggendong Adeline masuk, ketika Mbok membuka pagar.
"Ya Allah... anak ini lucu sekali, anak siapa Non? Mbok kagum ketika memandangi anak perempuan dalam gendongan Arumi.
"Anak saya Mbok, kamar saya sudah dibersihkan?" Arumi ingin segera menidurkan Adel.
"Sudah Non" Mbok mengangkat tas Arumi, lalu mengikuti anak majikannya itu ke lantai dua di mana kamar Arumi berada.
Arumi menidurkan Adel di tempat tidur miliknya, lalu ke kamar mandi bersih-bersih sebelum merebahkan diri di samping Adel. Arumi aktifkan handphone yang ia matikan sejak di pesawat belum diaktifkan.
Banyak telepon maupun pesan masuk, tetapi yang dia buka pertama kali telepon dari Davin hingga 5 kali.
"Ada apa" Arumi ketik pesan singkat, lalu dia kirim.
Hanya hitungan detik, telepon bergetar. Agar tidak mengganggu tidur Adel, ia membuka pintu balkon lalu mengangkat telepon Davin.
"Kamu sudah sampai belum? Kenapa mengajak Adel tidak izin saya?" Tanya Davin kencang.
Arumi menjauhkan hape dari telinga, karena suara Davin mengganggu pita suara.
"Rumi, kenapa kamu tidak menjawab" Davin berkata lebih kencang.
"Saya sudah izin Tante Rose" hanya itu jawaban Arumi kemudian menutup telepon sepihak. Sedetik kemudian hape Arumi berbunyi lagi.
"Mau apa Pak Davin, kalau mau marah-marah saya tidak mau dengar" ketus Arumi.
"Mana Adel? Saya mau bicara?" Davin kali ini bertanya tidak menarik urat leher.
"Lagi tidur"
"Kalau Adel sudah bangun saya mau bicara"
"Iya" Arumi hanya menjawab satu kata, kemudian kembali ke kamar setelah Davin memutus sambungan telepon. Arumi ambil foto Adel yang sedang pulas lalu mengirimkan kepada Davin agar pria itu percaya bahwa Adeline baik-baik saja. Ceklis dua berubah warna, tetapi tidak ada tanggapan dari Davin, Arumi menggerutu. "Nggak sopan, balas emote apa kek" Arumi meletakkan handphone lalu tidur.
Siang harinya Arumi bangun karena mendengar suara adzan. Di sebelahnya Adeline masih pulas memeluk boneka pemberian Arumi yang selalu dia bawa kemana-mana.
Arumi shalat dzuhur sebelum ke lantai bawah, ketika tiba di tengah-tengah anak tangga menatap sang kakak yang sedang sibuk mengoreksi kertas.
"Lagi kerjain apa Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Yudha yang tidak menyadari kedatangannya.
"Lagi koreksi ulangan harian" Yudha membetulkan posisi kaca mata lalu kembali menyoret-nyoret kertas.
"Ya ampun... murid-murid Mas Yudha pintar-pintar sekali" Arumi geleng-geleng ketika melihat kertas yang sudah selesai Yudha koreksi. Beberapa soal benar semua, walaupun ada yang salah hanya satu atau dua.
"Siapa dulu dong gurunya" Yudha tertawa.
Suara kendaraan roda dua masuk halaman, Arumi segera berlari meninggalkan Yudha. Karena ingin segera bertemu ayah dan Ibu yang baru turun dari motor.
"Assalamualaikum..." Arumi tersenyum menyambut kedatangan kedua orang tuanya yang berboncengan motor.
"Arumi..." Astiti segera memeluk putrinya. "Kamu kok agak kurus?" Lanjut Astiti menatap Arumi dari atas sampai bawah.
"Nggak apa-apa Bu, aku kemarin memang sedang lembur revisi skripsi" Arumi tidak seluruhnya berbohong.
"Terus kapan kamu wisuda?" Pak Seno yang sudah parkir motor menguyek rambut Arumi.
"Aku belum tahu Yah, nanti kalau sudah mau wisuda pasti aku kabari" Arumi belum menyinggung tentang pernikahannya karena pak Seno dan bu Astiti baru saja tiba.
"Kamu tidak usah kembali ke Jakarta Rumi, sambil menunggu wisuda, sebaiknya mengajar honor dulu di sekolah SMP negeri di tempat Mas Mu ngajar" titah pak Seno.
"Atee... Adel cali-cali di kamal kok nggak ada" ucap Adeline yang baru saja bangun, mengejutkan pak Seno dan bu Astiti.
...~Bersambung~...