NovelToon NovelToon
Sisa Rasa Rosa

Sisa Rasa Rosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:680
Nilai: 5
Nama Author: Noey Ismii

Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?


Update setiap hari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ish, memalukan!

Angkasa berdeham dan menatap Rosa, “Gue seneng bisa lihat lo ketawa.”

Rosa merasa pipinya panas, dia tidak sadar tadi sudah benar-benar tertawa lepas. Segera dia membuang rasa berat di hatinya, “Tapi jadi aku yang dibayarin terus. Lain kali aku yang bayar, ya,” Rosa merasa tidak enak karena dia hanya kebagian senang-senangnya saja. Dia membelokan pembicaraan mereka.

“Apa itu ajakan kencan selanjutnya?” tanya Angkasa.

Senyum Rosa menghilang. Dia terjebak.

Angkasa tertawa melihat kebisuan Rosa.

“Kak Asa seneng banget menjebak aku ya?” mata Rosa memicing.

Anggukan Angkasa membuat Rosa cemberut.

Tapi kemudian segera terganti dengan senyuman. “Baiklah, aku masih utang es krim,” Rosa menegaskan.

Bersamaan dengan itu, makanan pesanan mereka datang. Angkasa langsung melahapnya setelah mengucapkan terima kasih. Nasi bakar pesanan mereka masih panas. Wangi dari daun pisang yang terbakar membuat perut lapar jadi semakin melilit. Jadi keduanya diam menikmati makanannya masing-masing.

“Lo pindah sendiri?” tanya Angkasa saat Rosa selesai dengan makanannya.

Rosa mengangguk.

“Rama bukan murid pindahan, kan?” tanya Angkasa lagi.

Rosa menggeleng. Dia meminum air mineralnya, kemudian menjawab, “Aku tinggal sama nenek, di desa.”

Angkasa menunggu Rosa melanjutkan ceritanya.

“Terus nenek sakit, dan Uwa akan kewalahan kalau aku ikut. Jadi aku pindah kesini,” Rosa menjelaskan garis besarnya. “Aku kepisah cukup lama sama Papa dan Rama,” lanjutnya.

“Nyokap lo?” Angkasa penasaran karena Rosa tidak menyebutkan Mama dalam ceritanya.

“Aku pindah ke desa setelah Mama,” Rosa menarik napas.

“Gak usah cerita kalau gak mau,” kata Angkasa memotong. Dia melihat Rosa kesulitan untuk menemukan kata-kata.

“Gak apa-apa, Kak, memang udah seharusnya aku berani untuk ngebahas ini. Em, aku tinggal sama nenek sejak mama meninggal,” Rosa menarik napas. Rasa sesak itu tiba-tiba kembali.

“Sorry,” kata Angkasa kemudian.

Rosa tersenyum kecil, “Udah lama sih, tapi ...,” dia menghentikan kata-katanya.

“Gue juga cuma tinggal sama nyokap. Bokap gue ga pernah pulang. Gak tau dia di mana,” kata Angkasa kemudian.

Rosa menatap cowok di depannya, “Kak Asa gak tau di mana?”

Angkasa mengangguk, lalu tersenyum, “Gue gak pernah cerita ini ke siapa-siapa,” jelasnya kemudian.

Pandangan Rosa masih lurus ke mata hitam Angkasa, “Kenapa Kak Asa cerita ini ke aku?”

“Karena Lo juga cerita yang gak pernah lo cerita ke siapa-siapa. Jadi gak hanya lo yang terbuka, kita satu sama,” jawab Angkasa ringan. Dia balik menatap lurus pada mata cokelat terang Rosa.

Sudut bibir Rosa melengkung kecil. Dia tidak percaya bisa mendapat cerita tentang keluarga Angkasa. Cowok di depannya terlihat sangat cuek, gak peduli dengan apapun, tapi caranya itu membuat Rosa nyaman berbicara dengannya.

Rosa merasa beruntung bisa kenal dengan Angkasa.

“Jadi kita temenan sekarang?” tanya Angkasa, menghentikan lamunan Rosa.

Rosa yang membiarkan angin memainkan poninya, rambutnya yang masih setia dengan kepangan tidak tergoyahkan bersandar di pundak kanan. Dia mengangguk setuju, “Salam kenal teman baru, aku Aysarosa,” katanya dengan senyuman paling tulusnya.

Angkasa mengulurkan tangan, “Aku Angkasa, Rosa, “ katanya kemudian tertawa.

“Semoga Kak Asa gak bosen punya temen tembok kayak aku,” katanya sambil menjabat tangan Angkasa yang masih terulur.

“Lo suka apa?” tanya Angkasa tiba-tiba.

Rosa menatapnya tak mengerti.

“Lo suka nyanyi gak?”

Gelengan kepala Rosa lembut tapi pasti. Dia tidak bisa bernyanyi.

"Kalau lo suka nyanyi, Utara masih buka tempat buat vokalis cewek."

Rosa menggeleng lagi. Dia tidak bisa bernyanyi. Dia tidak berminat pada apapun, tapi dia segera ingat, “Sejak tahun kemarin, aku suka pake kamera hadiah dari Papa. Kalau hari minggu lagi gak ada kegiatan sama nenek, aku akan keliling desa sambil fotoin gunung,” katanya.

“Wah, pasti tangkapan kamera lo cantik-cantik,” komentar Angkasa, penasaran, “gue boleh lihat?” tanyanya sambil masih menatap lawan bicaranya.

“Boleh. Nanti aku bawa, tapi masih gak gitu bagus. Aku fotoin apa aja yang–“ kata-katanya terhenti saat perutnya terasa melilit. Rosa tidak terlalu merasakannya tadi karena dia pikir karena lapar. Tangannya mencengkram perutnya. Lalu segera saja dia mematung. Gawat. Dia merasa tamunya datang. Matanya mengerjap beberapa kali. “Kak Angkasa, aku, em, aku—”

Angkasa menatapnya menunggu.

“Aku ... ya ampun gimana ini?” Rosa meringis kecil. Matanya menutup kemudian membuka lagi, dibukanya tas selempang mininya. Tapi langsung mencelos saat dilihatnya dia hanya membawa ponsel dan dompet. “Kak Angkasa tunggu, aku, em, darurat,” katanya terbata.

Bagaimana ini? Tidak, tenang Rosa. Kita bisa nyari solusinya. Kepalanya berbalik, mencari dimana kira-kira ia bisa mendapatkan barang yang sangat dibutuhkannya sekarang.

Rosa berdiri, dia baru berbalik selangkah dari meja saat tangan Angkasa menahannya. Rosa berbalik. Tapi Angkasa menahannya agar berdiri diam. Lalu Rosa melihat Angkasa berputar ke depannya. Dia membuka jaketnya, menutup bagian belakang Rosa dan menalikan lengan jaket di depan, dipinggangnya.

Rosa menutup mata. Memalukan.

Angkasa bertindak lebih cepat. Dia menuntun Rosa menuju toilet yang untungnya tidak jauh dari kafetaria. “Kamu bawa?” tanya Angkasa.

Rosa tidak mengerti dengan kesigapan Angkasa. Dia bahkan merasakan cowok itu berdiri di belakangnya. Menutupi pandangan orang-orang.

“Lo bawa–“ Angkasa menarik napas, “–itu?”

Segera Rosa mengerti, Angkasa peka dengan ketiba-tibaan Rosa. Bibirnya mengerucut, dia menggeleng. “Aku lupa,” katanya kemudian.

Matanya sudah berkaca-kaca. Tapi bisa dilihatnya Angkasa menunduk.

“Tunggu disini, gue tanya ke sana dulu. Semoga ada,” katanya berbalik, tapi berbalik lagi, “jangan panik,” katanya sambil mengacak lembut puncak

kepala Rosa sebelum benar-benar meninggalkan

Rosa mematung.

Tidak sempat untuk malu, Rosa hanya diam menunggu Angkasa yang berlari kembali ke kafetaria.

Tak lama, cowok itu kembali. Sosok jangkungnya yang memakai jeans hitam, kaos putih, dengan kalung perak di lehernya yang bergoyang saat dia berlari, menghipnotis Rosa. Rambut berponinya juga ikut bergoyang. Dia tersenyum saat sampai di hadapan Rosa. Menyerahkan keresek hitam ke tangan Rosa dan mendorong gadis itu masuk ke toilet.

Rosa baru sadar setelah pintu otomatis toilet tertutup dan perutnya melilit.

Dia segera masuk ke salah satu bilik.

-o0o-

Rosa terlalu malu untuk mengingat apa yang terjadi siang tadi. Tetiba saja dia sudah naik di motor Angkasa dan melaju membelah jalan. Dan setibanya di depan rumah, dia langsung turun dan berlari ke rumah. Dia bahkan tidak berani menatap cowok itu.

Bagaimana cowok itu tau?

Saat di bilik kamar mandi tadi, Rosa kaget karena di dalam keresek hitam itu bukan hanya ada pembalut tapi juga tisu. Dia bahkan gak bilang apa-apa saat kaget tadi. Apakah dia bilang? Rosa ingat dia tidak bisa bicara. Jadi bagaimana

Angkasa tahu tentang tamu bulanannya.

Dia malu untuk bertanya. Tapi cowok itu juga tidak bicara apa-apa. Angkasa hanya menawarinya untuk pulang saat itu juga. Dan

Rosa langsung menyetujuinya.

Tangannya menggenggam ponselnya yang dari tadi hanya menampilkan chat terakhir Angkasa yang memberi tahu dia sudah sampai di rumah.

Rosa menimbang apakah dia harus bertanya sekarang atau tidak. Dia juga belum berterima kasih. Akhirnya dia membiarkan chat Angkasa tidak terbalas.

Dia masih bergelung di tempat tidurnya saat pintu kamarnya diketuk. Rosa merasa tidak bertenaga, “Buka aja, gak dikunci,” teriaknya lemah.

Pintu terbuka kecil, suara Rama terdengar. Dan membuat Rosa semakin ingin membenamkan dirinya ke lubang hitam sekalian!

-o0o-

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!