Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Hawa Dicegat
Hari itu, Hawa merasa sedikit kewalahan. Pekerjaannya di rumah sakit sedang menumpuk, tetapi ia tetap mengutamakan Emma. Seperti biasa, ia menjemput Emma dari sekolah dan membawanya ke ruangannya di rumah sakit.
“Kak Hawa, aku suka di sini,” kata Emma sambil duduk manis di kursi kecil yang biasanya digunakan untuk pasien anak-anak.
Hawa tersenyum lembut, meski matanya tetap fokus pada catatan medis yang harus diperiksa. “Kenapa suka di sini, Sayang?”
“Karena aku bisa lihat Kak Hawa kerja. Aku juga bisa ketemu anak-anak lain,” jawab Emma polos. Ia menatap seorang anak kecil yang sedang diperiksa oleh dokter lain di seberang ruangan.
Hawa tertawa kecil. “Kamu ini lucu sekali. Tapi jangan ganggu mereka ya, Emma. Kita harus menghormati privasi pasien.”
Emma mengangguk patuh, lalu mengamati seorang anak kecil yang terlihat sedang belajar membaca kartu bergambar. “Kak Hawa, anak itu pintar sekali. Baru lihat sekali, dia sudah hafal!”
Hawa melirik ke arah yang ditunjuk Emma dan tersenyum. “Iya, dia memang anak yang pintar. Sama seperti kamu, Emma.”
Namun, suasana berubah ketika Hawa tiba-tiba dipanggil keluar oleh seorang temannya.
“Hawa, ada yang ingin bicara denganmu di luar,” kata seorang perawat.
Hawa mengerutkan kening. “Siapa?”
“Dokter muda baru itu, Dokter Malik,” jawab perawat tersebut dengan nada ragu.
Hawa menghela napas. “Baiklah, aku akan ke sana sebentar. Emma, kamu tunggu di sini ya. Jangan ke mana-mana.”
Emma mengangguk, tapi matanya penuh rasa ingin tahu. Ia mengikuti Hawa dengan pandangan sampai ke luar ruangan.
Di luar ruangan, percakapan Hawa dengan Dokter Malik berlangsung dengan nada yang cukup tegang.
“Hawa, aku tidak mengerti kenapa kamu terus menjaga jarak seperti ini,” kata Dokter Malik dengan nada frustasi.
“Aku tidak menjaga jarak, Dokter Malik. Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita. Kita adalah pekerja dirumah sakit ini, tidak lebih,” jawab Hawa tegas.
“Tapi aku sungguh menyukaimu, Hawa,” balas Malik. “Kenapa kamu tidak bisa memberiku kesempatan?”
Hawa menghela napas panjang. “Dokter Malik, ini bukan masalah kesempatan. Aku tidak punya waktu untuk hal seperti ini, dan aku tidak ingin mengubah hubungan profesional kita menjadi sesuatu yang rumit.”
Percakapan mereka terdengar samar-samar di telinga Emma. Gadis kecil itu memperhatikan ekspresi wajah Hawa yang terlihat tidak nyaman, dan naluri protektifnya terhadap "Kak Hawa"-nya langsung muncul.
Setelah beberapa saat, Hawa kembali ke ruangan dengan ekspresi yang berusaha ia netralkan. Namun, Emma sudah mencatat setiap detail kecil.
“Kak Hawa, tadi ngomong apa sama dokter itu?” tanya Emma polos.
Hawa tersenyum kecil, mencoba menghindari topik itu. “Tidak apa-apa, Sayang. Hanya masalah pekerjaan.”
“Tapi mukamu tadi serius sekali,” kata Emma sambil mengerutkan alis. “Kalau ada yang ganggu Kak Hawa, aku bakal kasih tahu Papa!”
Hawa tertawa, meskipun hatinya terasa hangat mendengar kepedulian Emma. “Tidak ada yang ganggu Kak Hawa. Kamu tidak perlu khawatir, ya.”
***
Beberapa hari kemudian, Hawa mendapat panggilan darurat di rumah sakit dan tidak bisa menjemput Emma. Dengan berat hati, ia menelepon Harrison untuk meminta bantuan.
“Maaf sekali, Tuan Harrison,” kata Hawa di telepon. “Saya benar-benar tidak bisa meninggalkan rumah sakit saat ini. Bisakah Anda menjemput Emma?”
Harrison mendengar nada cemas di suara Hawa. “Tidak masalah, aku akan menjemputnya. Jangan khawatir.”
Namun, Emma tidak senang ketika melihat ayahnya yang datang.
“Papa? Kenapa bukan Kak Hawa?” tanyanya dengan nada kecewa.
“Hawa sedang sibuk di rumah sakit, Sayang,” jawab Harrison.
“Kalau begitu kita ke rumah sakit! Aku yakin Kak Hawa pasti diganggu seseorang,” kata Emma penuh keyakinan.
Harrison mengernyitkan alis. “Apa maksudmu?”
“Papa, cepat ke rumah sakit. Aku mau lihat Kak Hawa,” pinta Emma dengan nada serius.
Harrison awalnya mengira itu hanya candaan anak kecil, tetapi tatapan serius Emma membuatnya berpikir ulang. Ia memutuskan untuk mengikuti permintaan putrinya.
Harrison melangkah tegas memasuki rumah sakit bersama Emma yang menggenggam tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka akan mengikuti permintaan anak kecilnya dengan serius seperti ini. Namun, cara Emma bicara membuatnya tidak bisa mengabaikan situasi ini.
"Papa, cepat! Kak Hawa pasti butuh kita," kata Emma dengan nada mendesak.
Harrison menghela napas panjang sambil memandangi wajah serius putrinya. "Emma, kamu ini serius sekali. Apa kamu yakin Kak Hawa ada masalah?"
"Yakin, Papa! Hatiku yang bilang gitu," serunya dengan penuh keyakinan.
Harrison mempercepat langkahnya menuju ruangan Hawa. Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang pria berdiri di dekat Hawa dengan ekspresi yang tidak ramah. Insting protektifnya langsung muncul.
"Hawa!" panggil Harrison dengan suara lantang.
Hawa terkejut mendengar suaranya dan langsung menoleh. Rasa lega tampak di wajahnya saat melihat Harrison dan Emma.
"Tuan Harrison? Kenapa Anda di sini?" tanyanya sambil berusaha tetap tenang.
"Aku datang karena Emma bersikeras. Ada apa di sini?" Harrison bertanya dengan nada tajam, matanya langsung tertuju pada pria di depannya.
Emma berlari mendekati Hawa dan memeluk pinggangnya. "Kak Hawa, aku tahu ada yang ganggu kamu! Papa juga tahu, makanya kita datang!"
Hawa mengelus kepala Emma dengan lembut. "Emma, Kakak baik-baik saja, Sayang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Namun, Harrison tidak mempercayai jawaban itu. Ia memandang pria yang berdiri di dekat Hawa dengan tatapan dingin. "Siapa Anda, dan apa urusan Anda dengan Hawa?"
Pria itu, Dokter Malik, tampak gugup. "Saya... saya hanya rekan kerja. Tidak ada apa-apa di sini, Pak."
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa wajah Hawa tampak kusut?" tanya Harrison sambil melangkah maju, tubuhnya menegaskan otoritas yang tak bisa dilawan.
"Tuan Harrison, tolong jangan salah paham," kata Hawa cepat-cepat. Ia menatap Malik dengan tatapan tegas. "Dokter Malik hanya ingin membahas sesuatu yang tidak relevan dengan pekerjaan. Itu saja."
"Jika itu tidak relevan dengan pekerjaan, maka sebaiknya Anda berhenti membahasnya," kata Harrison dengan nada dingin. "Hawa adalah salah satu orang paling penting di kehidupan Emma. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggunya, apalagi di tempat kerja."
Emma, yang mendengar percakapan itu, memeluk Hawa lebih erat. "Kak Hawa, kalau ada yang ganggu kamu lagi, aku akan bilang ke Papa supaya dia marahin mereka semua!"
Hawa tersenyum tipis sambil berusaha menenangkan Emma. "Emma, kamu ini terlalu khawatir. Kakak baik-baik saja, Sayang."
Malik, merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, akhirnya berkata, "Saya rasa saya harus pergi. Permisi."
Setelah Malik pergi, Harrison menatap Hawa dengan penuh perhatian. "Kamu harus lebih tegas, Hawa. Orang seperti dia tidak akan berhenti jika kamu hanya diam."
Hawa mengangguk pelan. "Terima kasih, Tuan Harrison. Aku akan ingat nasihat Anda."
***
Dalam perjalanan pulang, Emma tidak berhenti berbicara.
"Papa, tadi itu benar kan, aku bilang Kak Hawa butuh kita?"
Harrison tersenyum tipis. "Iya, Emma. Kamu benar kali ini."
"Berarti Papa harus percaya sama aku terus, ya! Kalau aku bilang ada yang ganggu Kak Hawa lagi, Papa langsung bawa aku ke sana," kata Emma penuh semangat.
Hawa tertawa kecil mendengar percakapan mereka. "Emma, kamu terlalu khawatir tentang Kakak. Tidak semua hal seperti yang kamu pikirkan."
"Tapi Kak Hawa harus aman," jawab Emma tegas. "Papa juga setuju, kan?"
Harrison melirik Hawa melalui kaca spion, lalu menjawab, "Tentu saja. Saya tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu Hawa."
Hawa merasa sedikit tersipu mendengar kata-kata itu, tetapi ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Emma, yang tidak menyadari keheningan canggung di antara mereka, berkata lagi, "Papa, aku suka Kak Hawa. Dia seperti mama, tapi lebih baik!"
Hawa menatap Emma dengan mata membelalak. "Emma! Jangan bicara seperti itu."
"Tapi itu benar!" jawab Emma sambil tersenyum lebar. "Kak Hawa selalu baik sama aku. Aku mau Kak Hawa terus sama kita."
Harrison tidak mengatakan apa-apa, tetapi kata-kata Emma menggores sesuatu di dalam hatinya. Ia mulai menyadari bahwa Hawa benar-benar membawa kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup mereka.
Harrison sadar dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Kehadiran Hawa tidak hanya berarti untuk Emma, tetapi juga mulai berarti untuk dirinya sendiri.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya like dan komentarnya.