Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Darimana kamu bawa kakek ini?" tanya dokter Laska penasaran.
Yaya menatapnya.
"Ini tuh kakek Jaya, tetangganya bi Mira mantan pengasuh aku." Ia menjelaskan. Jawaban gadis itu menghilangkan rasa penasaran Laska. Sang dokter tersenyum, ia merasa lega karena Yaya terlihat semakin membaik dan lebih ceria semenjak ia bertemu dengan seseorang yang pernah ia ceritakan dulu.
Tentu saja sebagai dokter pribadinya, Laska merasa senang. Apa sih kebahagiaan seorang dokter selain melihat pasiennya sembuh dan hidup seperti normal seperti orang lain, khususnya melakukan apa yang mereka mau.
"Oh iya!" seru Yaya sontak sang dokter menatapnya bingung. Yaya berjinjit bermaksud ingin berbisik ditelinga sih dokter sayangnya tinggi mereka jauh berbeda. Tinggi badannya hanya mencapai bahu dokter Laska hingga membuatnya agak kesusahan. Untung dokter Laska bukan tipe orang galak kayak kakak kelasnya sih Savaro itu.
Dokter tampan itu berinisiatif membungkukkan badannya supaya gadis itu bisa leluasa berbisik.
"Jangan bilang ke papa kalau aku ke sini yah." bisik Yaya akhirnya. Sekali lagi dokter Laska tersenyum lalu mengangkat jempol didepan wajah gadis itu. Tentu dia tahu hubungan Yaya dan papanya sekarang ini tidak begitu baik, tidak mungkin juga dia melapor kalau ujung-ujungnya hanya akan membuat pasiennya stres. Setelah cukup lama berbincang, dokter Laska kemudian meninggalkan mereka karena masih ada pasien lain yang harus ia urus.
Yaya duduk dibagian kiri tepi ranjang menunggu kakek Jaya terbangun. Tangannya terangkat mengusap-usap rambut sih kakek yang hampir semuanya sudah beruban. Gadis itu tertawa kecil. Pasti kalau dirinya tua, akan beruban seperti ini juga. Semoga saja waktu itu dia sudah jadi istri Gavin. Yaya tersenyum malu-malu membayangkan betapa senangnya dirinya jika menjadi istri seorang Gavin. Semoga saja keinginannya bisa terkabul.
***
Yaya berjinjit saat memasuku kawasan kediaman keluarganya. Setelah dilihatnya cukup aman, ia lalu mengendap-endap memasuki rumahnya. Gadis itu amat berhati-hati agar tidak ketahuan.
Sekarang jam sudah menunjukkan hampir jam satu malam dan ia baru sampai rumah. Dia harus menjaga kakek Jaya sampai bi Mira datang gantiin dia. Jadinya dia telat pulang, dan ia lupa sekali kalau hari ini papanya ada di rumah. Bukannya takut dimarahi, ia hanya merasa capek mendengar semua omelan papanya. Kalau pria tua itu sudah marah pasti akan mengungkit-ngungkit masa lalu. Dan kalau sudah mulai mengungkit masa lalu, mereka akan bertengkar. Gadis itu hanya mencoba menghindari pertengkaran dengan sang ayah.
"Darimana saja kamu!"
Belum sampai setengah jalan ke kamarnya, lampu ruang tengah tiba-tiba menyala. Menghentikan langkah Yaya. Gadis itu memiringkan kepala menoleh ke papanya yang sedang duduk di sofa sambil menatapnya penuh kemarahan. Daripada takut, ia memilih menunjukkan sikap berani dan menantang menatap papanya. Meski dalam hati sebenarnya ia takut. Tapi apa boleh buat, ia tidak boleh terlihat lemah.
"Dari rumah temen." sahutnya asal. Hanya itu alasan yang terpikir dipikirannya sekarang. Papanya mencibir.
"Jangan bohong kamu. Papa sudah dengar dari Sara kamu ke bar."
"Hah?!" Yaya melongo. Ke bar? Yang benar saja. Bahkan sampai sekarang dirinya belum pernah masuk ke tempat yang disebutkan papanya itu.
Yaya sungguh tidak habis pikir kenapa Sara suka sekali mencari gara-gara dengannya. Lagian papanya juga malah terus saja percaya sama sih cewek munafik itu. Memangnya ada bukti gitu dia ke bar? Gadis itu tersenyum sinis. Jangan-jangan papanya memang sengaja lagi mau memakai kesempatan ini agar bisa memarahinya. Pria tua itu kan masih menyalahkannya karena kepergian sang mama.
"Mau jadi apa kamu? Kamu mau bikin malu papa hah?" bentak pria tua itu lagi dengan nada tinggi. Mau tak mau emosi Yaya ikut naik.
"Iya! Aku jadi kayak begini juga kan karena papa." balas gadis itu dengan nada yang tak kalah tinggi. Mau bagaimana lagi, ia sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya karena papanya terus menyalahkannya.
"Anak kurang ajar kamu!"
Sebuah gelas yang berisi air di atas meja melayang mengenai kepala Yaya dan jatuh ke lantai bersamaan dengan bunyi pecahan. Gadis itu terdiam ditempatnya. Ia merasakan sakit dikepalanya. Tangannya terangkat perlahan memegangi kepala bagian kirinya. Ia bisa merasakan darah segar dari kepalanya bercucuran mengenai tangannya. Sakit? Tentu saja dia merasa sakit, tapi berusaha keras menahan rasa sakitnya. Pandangannya tetap lurus menatap papanya yang sama sekali tidak terlihat khawatir atau merasa bersalah sama sekali.
Yaya tersenyum miris. Hatinya terluka. Rasa sakit akibat luka itu tiba-tiba hilang. Ia tidak bisa merasakan sakit itu lagi karena terlalu sibuk memikirkan hatinya yang berkali-kali lipat lebih sakit. Sebenci itukah papanya padanya? Apa dirinya di hati pria tua itu sudah tidak berarti lagi?
"Yaya, kamu nggak kenapa-napa kan?"
suara mamanya Sara memecah keheningan. Wanita paruh baya itu berlari ke arahnya sambil menunjukkan raut wajah khawatir yang dibuat-buat. Yaya merasa muak melihatnya, ingin sekali ia memaki mereka tapi dirinya tidak punya tenaga lagi. Sialan. Ia tidak berguna. Kali ini gadis itu mulai merasa pusing. Kepalanya pening dan ia merasa seperti mau jatuh. Namun sekali lagi ia memaksakan diri agar tidak terjatuh. Lalu menghempas kasar tangan mama tirinya yang mencoba memegangi lengannya kemudian berbalik pergi dari situ begitu saja. Masih melekat di hatinya betapa kejamnya sang papa terhadapnya.
"Sara, telpon dokter Laska suruh kesini sekarang!"
gadis itu masih bisa dengar perintah mama tirinya ke Sara sebelum ia benar-benar menghilang masuk ke dalam kamar. Tapi Yaya sama sekali tidak merasa lega dan berterimakasih, ia malah tertawa merendahkan. Munafik, tukang cari perhatian. Pasti dalam hati mereka mengutuknya supaya cepat mati. Ia tahu istri baru papanya itu sengaja mau cari perhatian di depan sih pria tua. Dan pastinya mereka senang melihat dirinya diperlakukan seperti ini oleh ayah kandung sendiri.