Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
°
°
°
Seminggu berselang setelah insiden tersebut, kesehatan Khanza menunjukkan perbaikan signifikan. Berkat perawatan intensif yang direkomendasikan oleh Arbi, kondisinya terus membaik.
Khanza merasa lega dan bersyukur atas perubahan kondisinya. Ia mulai melakukan terapi fisik untuk memperkuat otot-ototnya dan meningkatkan kemampuannya agar bisa berjalan kembali. Kikan, mama Khanza selalu mendampingi putrinya, memberikan dukungan dan motivasi.
Kini, Khanza hanya perlu beristirahat yang cukup dan menjalani proses pemulihan pasca operasi patah tulang. Perlahan tapi pasti, ia kembali pulih dan siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat baru.
Namun ada yang berbeda dengan Khanza, sekarang dia lebih pendiam dan sering melamun. Nyonya Kikan yang menyadari keadaan putrinya segera berkonsultasi dengan dokter psikiater.
Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman rumah sakit, Khanza bertemu dengan seorang dokter muda yang ramah. Dokter itu bernama Dr. Diana, seorang psikiater yang kemudian menjadi teman ngobrolnya.
Khanza merasa senang menemukan teman yang bisa mengerti dirinya. Khanza tersenyum lembut, merasa nyaman dengan kehadiran Dokter Diana. "Terima kasih, Dokter. Anda mau berteman dengan saya," katanya dengan suara lembut.
Dokter Diana tersenyum balik, netranya memancarkan kehangatan. "Tidak perlu sungkan. Itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan saya, untuk membantu pasien agar merasa lebih baik."
Hari-hari selanjutnya mereka sering bertemu. Khanza mulai terbuka dan mau berbagi cerita tentang kehidupannya. Dia menceritakan kisah pribadinya yang menyukai kakak sepupunya. Selalu merasa iri dan cemburu jika tidak mendapatkan perhatian. Dokter Diana mendengarkan dengan sabar, layaknya seorang sahabat.
"Saya sangat menyukainya dari dulu, tapi dia malah mau menikah dengan teman saya, tapi aku berhasil menghasut gadis itu untuk membatalkan pernikahannya. Sayangnya dia justru menikahi orang lain." Khanza menatap jauh ke depan, matanya berkaca-kaca.
"Dokter, apa salah jika saya tidak terima dan marah? Saya hanya mau dia melihat saya sebagai seorang wanita, tapi dia tetap menganggap saya sebagai adiknya." Khanza mulai terisak.
Dokter Diana menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut untuk menenangkannya.
"Apa dokter tahu, saya... saya sebenarnya bukanlah anak Papa. Dan mama sangat mendukung saya untuk mendapatkan pria itu."
Deggg
Ucapan Khanza membuat Anaya dan Ersa terkesiap. Mereka langsung menutup mulutnya tak percaya. Keduanya saling melempar tatapan seolah mata mereka yang berbicara.
Sore itu Anaya dan Ersa ijin pulang cepat, dengan alasan urusan keluarga. Dan mereka memang berniat menjenguk Khanza. Selain ingin tahu kondisi kesehatan gadis itu, ada hal lain yang ingin mereka khususnya Anaya, lakukan. Namun siapa sangka mereka justru mendengar hal yang tidak terduga, tanpa harus bersusah payah menyelidikinya.
Mereka benar-benar seperti mendapatkan durian runtuh. "Ternyata niat baik, memang selalu mendapatkan kemudahan ya, Sa?"
"Heeemm, dan itu yang namanya rejeki tidak disangka-sangka datangnya."
Mereka tersenyum puas, dan berlalu dari sana, melupakan tujuan awal mereka. "Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi keluarga mereka nanti, seandainya tahu Khanza itu bukan anaknya Om Dodi. Iiiihhh... sanggup!"
"Ya sudah tidak usah dibayangkan. Repot-repot amat mau membayangkan kisah hidup orang lain. Kalau aku sih, ogah!" Ersa berkata sarkas.
"Diiih, kok kamu jadi ketus gitu sama aku. Memangnya aku mau mikirin mereka? Iiih... buang-buang waktu, tahu nggak!" Anaya langsung merajuk.
Suasana berubah hening dan dingin, hanya deru mesin mobil yang terdengar memecah kesunyian.
Tiba-tiba Ersa punya ide. "Nay, ke salon, yuk! Tapi kamu yang bayar."
Anaya langsung melotot tajam pada sahabat. "Kenapa harus aku yang bayar?"
"Nih, dengar ya, Anaya sayang! Kita ke salon untuk melakukan perawatan dari ujung kaki ke ujung rambut. Dengan kamu terlihat cantik dan menarik, pasti membuat Kak Akmal makin klepek-klepek sama kamu," ungkap Ersa.
Anaya diam mencerna ucapan sahabatnya, menimbang-nimbang dan berpikir. Beberapa hari yang lalu Akmal memberinya kartu sakti berwarna hitam padanya. Dan sampai saat ini dia belum menggunakannya.
Anaya menoleh pada Ersa. "Baiklah, tapi jika gagal kamu harus bertanggungjawab!"
Ersa tersenyum lebar. "Dijamin berhasil, dan tidak akan gagal. Tapi kalau benar-benar berhasil, jangan lupa pajaknya buat aku." Ersa memainkan alisnya.
"Dasar, itu namanya tidak ikhlas bantu teman. Bilang saja mau malak." Anaya mengerucutkan bibirnya.
"Ya, mau bagaimana lagi. Punya temen dua, suaminya tajir melintir ya harus dimanfaatkan." Tawa Ersa makin keras.
"Terserah kamu lah!" Anaya akhirnya menyerah pasrah.
Ersa mengarahkan laju kendaraan ke mall. Sesampainya di sana mereka segera masuk sebuah ke salon, dan langsung disambut hangat oleh pegawai salon dan tersenyum ramah. "Selamat datang di salon kami! Apa yang bisa kami bantu, Nona?"
Ersa balas tersenyum. "Kami ingin melakukan perawatan yang lengkap. Mulai dari rambut, wajah, dan tubuh."
Pegawai salon pun mengangguk. "Baiklah, mari silakan duduk. Kami akan segera mempersiapkan perawatan untuk Anda."
Sambil menunggu giliran mereka, keduanya pun mengobrol sambil memainkan ponselnya masing-masing.
Pintu salon terbuka, dan dua orang pelanggan masuk. Salah satu dari mereka adalah Nyonya Kikan, mama Khanza. Ia begitu terkejut saat melihat Anaya dan langsung menunjukkan ekspresi yang tidak menyenangkan.
"Sia*lan, bukannya aku sudah menyuruh ketiga preman itu, untuk menyingkirkannya. Ternyata mereka membohongiku."
Dengan memasang wajah angkuh, dia mendekat lalu berkata dengan nada merendahkan, "Aku tidak percaya salon mewah seperti ini, menerima klien dari kalangan...rendah."
"Dan ternyata salon ini memang sudah hilang pamornya, sampai orang miskin pun diterima melakukan perawatan di sini. Apa dia sanggup bayar!" sambungnya dengan sinis.
Anaya memilih bungkam, meskipun hatinya merasa terluka dan marah. Karena dia tahu kata-kata itu ditujukan untuk menghina dirinya. Ia berusaha tetap tenang.
Nyonya Kikan tersenyum sinis dan terus berusaha memprovokasi Anaya. "Orang miskin seperti dirimu tidak pantas berada di sini, kamu hanya membuang-buang waktu dan uang, karena kamu akan tetap begitu saja. Udik, ya tetap udik!" Nyonya Kikan kemudian tertawa meremehkan.
Anaya memandang Nyonya Kikan lalu berkata dengan tenang. "Nyonya Kikan, saya memang miskin tapi saya tidak pernah melakukan hal kotor, apalagi sampai menipu orang untuk mencapai tujuan saya."
Lalu ia menambahkan, "Aku berhak berada di sini seperti orang lain. Karena aku membayar, bukan berhutang. Jadi jangan menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan luarnya saja. Dan saya merasa bahagia dengan diri saya sendiri, itu yang terpenting."
Melihat keributan Manajer salon pun mendekat. "Maaf, Nyonya. Jika Anda merasa tidak nyaman berada di sini, silakan meninggalkan salon kami, dan carilah salon yang lain."
Nyonya Kikan merasa terhina dan wajahnya merah padam. Dengan menahan amarah ia menatap penuh kebencian pada Anaya dan mengeluarkan kata-kata pedas.
"Meskipun berapa banyak uang yang kamu keluarkan, kamu tetap akan sama. Dan kamu tidak pantas bersanding dengan Akmal. Karena hanya Khanza lah wanita yang pantas mendampingi Akmal."
Bohong jika Anaya tidak merasa malu dan sakit hati. Ersa merangkulnya dan berusaha menenangkan sang sahabat.
Namun tanpa di duga Anaya segera berdiri dan menghampiri Nyonya Kikan yang akan keluar dari salon, lalu berkata dengan setengah berbisik, "Itu karena Khanza bukan lah putri Tuan Dodi, melainkan putri Anda bersama pria lain."
°
°
°
°
°
Astaga, Akmal yang mau bermanja-manja/Facepalm/