Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Spirit Kerja
"Emang kenapa, Pak?" tanya gue.
"Bahaya kalau sampai banyak yang tahu."
"Banyak yang nyariin dia, Do. Lo hati-hati, deh."
Mery menarik pedang gue di atas meja.
"Kenapa jadi hitam gitu, Do!?" tanya Sulay.
"Gara-gara Torgol, Pak. Dia kena tusuk pedang ini."
"Kok bisa!?"
Gue berbisik:
"Ditusuk asap merah itu!"
Mery mengangkat sarung pedang pemberiannya. Sekarang, kalau dilihat-lihat pedang ini jadi kelihatan keren. Pedang dan sarungnya berwarna hitam mengkilap serta gagangnya berwarna merah. Seperti setangkai bunga mawar berduri. Sulay menggoreskan jempol kanannya ke mata pedang gue. Keluar percikan api serta asap hitam di sana.
"Sekarang pedang lo dilapisi ilmu hitam, Do. Kalau lo gak bisa gunainnya, lo bakal sering kena masalah."
"Oh gitu, ya, Pak. Yaudah, deh ... keluarin aja lagi Torgolnya. Mumpung kita lagi ada di kantor juga."
"Dikeluarin gimana? Dia udah menyatu sama pedang lo!"
"Iya, Do. Ibaratnya kayak lo nyoba misahin gula dari kopi yang udah jadi."
"T-terus!? Gue harus gimana sekarang!?"
"Kita harus cari informasi soal Torgol, biar lo ngerti kekuatan dan kelemahannya dia."
"Yaudah, deh. Mer ... kami pergi dulu, ya."
"Eh, eh! Asal pergi aja lo!"
Gue menatap cangkir kopi yang sudah kosong. Dan gue gak punya uang.
"G-gue ... maaf, ya ... emm gue gak punya uang."
"Lo baru boleh pergi kalau lo udah perhatiin rambut baru gue."
Gue memperhatikannya sebentar. Gak ada yang berubah dari model rambutnya. Panjang dan dikepang dua. Hanya aja, sekarang warnanya hitam kecampur cokelat.
"Bagus, kok. Cocok di kamu,"
"K-kamu?" Pupil mata Mery membesar.
"Eh i-iya ... iya. Bagus di kepala lo! Iya bagus ... buat lo. Lo sama kamu, kan s-sama ... maksud gue iya ... cantik, kok."
Sulay ketawa kecil mendengarkan gue yang ngomong belepotan.
"Cantik? Lo bilang gue cantik?"
Gue menyepak kaki Sulay.
"Ayo, Pak! Berangkat kita!"
Mery ketawa. Gue buru-buru kabur.
Gue dan Sulay menuju ruangan tempat gue bertemu Torgol pertama kali. Sebuah ruangan kaca transparan yang di dalamnya banyak orang-orang aneh di dalam akuarium. Sayangnya, kami gak bisa buka pintunya. Karena gak mungkin kami menjebol ruangan itu, jadinya kami terpaksa ke ruang admin terlebih dahulu buat minta izin masuk.
Ruangannya ada di paling depan ketika masuk kantor. Di sana, kami berhadapan dengan seorang cewek yang gak punya alis! Mukanya jadi aneh banget! Padahal gue yakin wajahnya cantik, kalau ada segaris alis aja di sana. Dia menunggu kami bersuara.
"Kami dari tim lapangan, mau minta izin masuk ke ruang spirit," kata Sulay.
"Sudah dapat izin dari si Bos?"
"Sudah."
"Boleh lihat buktinya?"
"Bukti?"
"Iya, bukti izinnya."
Sulay menatap gue.
"Tenang, Pak."
Gue mengangkat pedang dan menunjukkannya pada cewek itu.
"Ini buktinya, Mbak. Ini adalah pedang milik ketua terdahulu yang legendaris. Kata si Bos, siapa pun pemiliknya sekarang punya akses sama seperti pendahulunya."
Cewek itu memperhatikan pedang gue. Gue menatap Sulay dengan senyum kecil. Gue keren banget.
"Mohon maaf, gak ada kebijakan seperti itu di sini."
Karena gagal, kami pergi ke ruang informasi. Sekali lagi, Sulay memperingatkan gue buat gak usah ngomong atau pun senyum ke cewek-cewek di sana. Gue disuruh nunduk aja. Terakhir gue ke sini, gue dilempar keluar secara misterius. Orang-orang yang punya informasi emang suka jual mahal. Heran.
"Kami butuh informasi soal spirit dengan kode Torgol."
"Kalian dari tim lapangan, ya?"
"Iya."
"Mohon maaf, boleh lihat surat izin dari si Bos dulu?"
Karena melihat Sulay yang kebingungan, gue sekali lagi mencoba hal dan ucapan yang sama kayak tadi. Gue bilang kalau gue punya akses karena megang pedang ini.
"Oh, maafkan kami, Pak. Tunggu sebentar, ya ... kami kumpulin berkasnya dulu."
Gue dan Sulay berpandangan heran. Berhasil!? Gak butuh waktu lama, kami dapat informasi soal Torgol, tapi sayangnya kami tetap gak dapat akses buat masuk ke ruangan itu. Katanya, emang gak ada yang boleh masuk ke sana kecuali si Bos sendiri atau didampingi si Bos langsung. Gak masalah, kami rasa berkas ini sudah cukup membantu.
Kami kembali ke kantin, ke tempat Mery berada. Kantin berasa longgar saat kami datang. Gak banyak orang kali ini. Aneh banget. Kami duduk bertiga dan Sulay membuka berkas setebal piring yang diisi lontong. Iya, gue lapar lagi.
"Jenis: Spirit hibrida, perpaduan unggas dan humanoid. Tahun rekrut: 1998. Durasi aklimatisasi di ruangan kaca: 9 tahun. Kategori: Jin hitam. Pengasapan: Iya. penggabungan media: Iya. Difungsikan untuk: Pertarungan brutal dan kemenangan mutlak. Kemampuan khusus: Emosional. Kelemahan: Benda tajam. Status: Tidak aktif."
Kami bertiga berpandangan dan gue gak banyak mengerti ucapan Sulay barusan.
"Terus gimana caranya ngendaliin kekuatan dia, Pak?"
"Tanpa ada kekuatan dia di pedang lo, sebenarnya lo sendiri juga udah bisa bertarung brutal. Yang gue gak ngerti, apa spesialnya dari kemampuan emosional?"
"Terus kelemahannya aneh banget lagi. Masa iya kelemahannya benda tajam? Dia aja bisa masuk ke pedang lo, kan?" sahut Mery.
Gue mengingat kejadian ketika gue bisa menebas kobaran api.
"Waktu itu, sebelum gue bisa menebas kobaran api, gue merasa emosional banget. Ada keinginan buat nyelamatin orang, dan ada perasaan sedih di dekat gue."
"Lo bisa menebas api, Do!?" tanya Mery.
"Awalnya tentu aja gak bisa. Dan waktu gue mendengar suara Torgol dari pedang gue, tiba-tiba aja gue bisa."
"Tunggu ... tunggu, Do. Lo gak ceritain semua hal. Iya, kan? Sekarang coba lo cerita jujur ke kami. Apa yang terjadi sama Torgol waktu kita tinggal, dan kenapa lo terlibat soal kebakaran itu?" Sulay menatap gue dengan tajam.
Karena emang kantin lagi sepi, dan gue emang gak berencana rahasiain hal ini ke mereka, jadinya gue ceritain semuanya. Selengkapnya, sejelasnya, sejujurnya. Perbedaan reaksi antara Sulay dengan Mery adalah ketika bagian mie instan.
"Lagian lo bego juga, sih. Harusnya sebelum lo bawa pulang, lo cek dulu belanjaan lo," kata Sulay.
Mery menatap gue. Gak tahu kenapa bola matanya berkaca-kaca.
"Jadi ... lo udah biasa kelaparan, Do?"
Gue cuma mengangguk.
"Satu lagi, Do yang gue bingung sama lo. Lo ngapain repot-repot pergi ke warung tengah malam dengan uang 5 ribu rupiah, buat ngasih makan jin? Lo aneh banget, tahu!"
"Mana gue tahu, Pak ... lagian dia bilang dia bukan hantu, dan dia emang kayak cewek biasa."
"Kayak cewek biasa!? Mana ada cewek biasa yang bisa tembus gitu!"
"Udah ... udah! Lo kenapa, sih nyalahin dia terus? Dia, kan emang gak tahu apa-apa. Mendingan sekarang kita cari tahu, dia mau apa dari Mardo."
"Itu yang paling penting, tapi sebelum itu, kita harus cari tahu dulu soal kursi yang dilempar Torgol di pemancingan. Kita harus cari tahu, selama dia di sana, dia ngapain aja. Lo bilang lo ketemu hantu penunggu pohon, kan?"
"Iya, Pak. Tangannya bisa panjang. Serem!"
"Kita ke sana sekarang. Kita tanyain langsung sama hantunya."
Mery menahan tangan gue.
"Do ... kalau lo pulang nanti, dan lo kelaparan lagi ... telpon gue, ya."
"Kenapa, Mer?"
"Kenapa lo malah nanya, sih!? Harusnya lo iyain aja! Jadi gak romantis, kan!"
"Hah? Kok jadi gue yang salah?"
Mery melepas tangan gue sambil cemberut.
"Pokoknya, nanti telepon gue!”