Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.
Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?
Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Menuju Kejelasan
Hari itu, cuacanya agak mendung, kayak hati gue. Gue baru aja selesai ngobrol sama Nathan kemarin, dan rasanya perasaan ini malah makin membingungkan. Semua yang terjadi belakangan ini bikin gue merasa terjebak antara apa yang gue mau dan apa yang seharusnya gue lakukan.
“Lo kenapa, Ran?” Reyhan tiba-tiba nanya, dia duduk di sebelah gue sambil ngerutuhin rambutnya yang udah mulai panjang. Gue cuma bisa nyengir, meski rasanya gak ada yang lucu.
“Ah, nggak apa-apa. Cuma… gue lagi mikirin banyak hal aja,” jawab gue sambil ngeliat ke luar jendela, ngebatin. Gue nggak mau ngerepotin Reyhan lebih jauh. Dia udah cukup banyak ngurusin hal-hal lain, gue nggak mau nambahin beban.
“Lo tahu kan, kalau lo butuh ngomong, gue ada,” kata Reyhan dengan nada santai, tapi gue bisa lihat dia serius banget. Gue ngerasa sedikit lega, karena di tengah segala kerumitan ini, masih ada orang yang peduli.
Gue cuma mengangguk. Gue tahu, kalau bicara dengan Reyhan, semuanya bakal terasa lebih ringan, meski nggak selalu ada solusi.
Tapi masalahnya bukan cuma soal Nathan, atau perasaan gue ke dia. Sekarang, gue juga harus mikirin Keira. Dia nggak salah apa-apa. Dia juga temen gue, dan gue nggak mau tiba-tiba ngelukai perasaannya.
“Nathan udah ngerasa bingung, Ran. Lo harus jujur sama dia,” kata Reyhan lagi, seakan-akan tahu pikiran gue. “Kadang, kita harus ngambil keputusan susah. Tapi, nggak ada yang bisa lo dapetin kalau lo terus-terusan ragu.”
Gue tahu itu bener. Tapi ya, gue masih nggak tahu apa yang harus gue lakukan.
Reyhan ngelirik ke arah gue, seperti nunggu jawaban, tapi gue cuma diam. Kadang, diam itu lebih baik daripada ngomong sesuatu yang bisa bikin keadaan makin rumit.
“Kalau lo mau, gue bisa bantu cari jalan keluar,” lanjut Reyhan, senyumnya masih tetap ada meskipun dia tahu gue lagi galau. “Gue nggak janji bisa ngatasin semua masalah lo, tapi gue akan selalu ada buat lo.”
Gue mulai ngerasa sedikit tenang. Kehadiran Reyhan, meskipun cuma sebentar, udah cukup buat gue merasa nggak sendirian.
Tapi, gue juga tahu. Keputusan itu harus datang dari gue. Gue yang harus milih, gue yang harus siap dengan konsekuensinya.
Hari itu berjalan dengan pelan, seolah-olah dunia menunggu keputusan gue. Gue duduk di kafe favorit, tempat yang biasa gue kunjungi saat butuh waktu untuk berpikir. Anya, si barista, ngasih senyum hangat kayak biasa, sambil nanya, “Apa yang bisa saya bantu, Aruna?”
Gue cuma mengangguk dan pesan kopi seperti biasa. Gue butuh sesuatu yang bisa bikin gue merasa lebih jernih.
Saat gue lagi ngaduk kopinya, tiba-tiba hape gue bergetar. Ternyata Nathan yang ngirim pesan.
Nathan:
Lo lagi ada waktu? Gue butuh ngomong sama lo.
Gue langsung berhenti ngaduk kopi dan baca pesan itu berulang-ulang. Dia butuh ngomong? Apa mungkin dia juga ngerasa bingung sama hubungan ini? Atau mungkin, dia udah mulai ngerasa ada yang aneh?
Aruna:
Iya, gue ada waktu. Ada apa, Nat?
Gue nunggu balasan Nathan sambil ngeliat keluar, berusaha menenangkan diri. Beberapa detik kemudian, pesan masuk.
Nathan:
Gue nggak tahu harus mulai dari mana, tapi… ada hal yang pengen gue bahas sama lo.
Gue ngerasa ada ketegangan di antara kata-kata itu. Gue sadar, mungkin ini saat yang tepat untuk gue jujur, buat ngungkapin apa yang gue rasain.
Beberapa menit kemudian, gue ngelihat Nathan masuk ke kafe. Gimana caranya dia bisa datang lebih cepat dari yang gue kira? Gue berdiri, dan dia langsung nyamperin meja gue, wajahnya kelihatan serius.
“Lo pesen kopi juga?” gue coba nyapa dengan senyum tipis. Tapi di balik senyuman itu, ada perasaan campur aduk yang susah gue jelasin.
Nathan duduk dan langsung ngelirik ke arah gue. “Ada yang harus kita omongin,” katanya, nadanya agak berat.
Gue cuma bisa ngangguk. “Gue tahu, Nat.”
Dia memandang gue lama, kayak nunggu gue ngomong duluan. Padahal, gue juga bingung mesti mulai dari mana.
“Jadi, gimana?” akhirnya dia yang ngomong duluan.
Gue tarik napas dalam-dalam, coba menenangkan pikiran gue. “Nathan, gue… gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi, belakangan ini gue merasa semuanya nggak sesederhana itu,” gue mulai, sambil nyatain perasaan gue yang udah lama tertahan.
Nathan menunduk, nggak langsung jawab. Matanya tampak penuh kebingungan. “Aruna, gue tahu ini nggak mudah, tapi gue juga nggak bisa terus-terusan ngebiarin semuanya nggak jelas kayak gini.”
Gue nggak bisa lagi nahan diri. Semua yang selama ini gue pendam, akhirnya keluar begitu aja. “Gue nggak tahu kalau lo punya perasaan yang sama. Tapi gue juga nggak bisa terus-terusan hidup di antara perasaan ini, Nat.”
Nathan diam, seakan dia sedang mencoba mencerna kata-kata gue. “Lo… lo mau gue jawab sekarang?” tanyanya pelan, masih dengan wajah yang penuh tanya.
Gue cuma mengangguk pelan, nunggu jawaban dari dia. Gue tahu, keputusan ini penting. Gue harus mendengar apa yang dia rasakan, karena itu bakal nentuin langkah selanjutnya buat kita berdua.
“Aruna,” Nathan akhirnya bilang, suara dia tegas meski masih ada keraguan di matanya. “Gue nggak tahu gimana cara ngomongnya, tapi… gue juga ngerasa hal yang sama.”
Hatiku langsung berdebar, tapi gue berusaha untuk tetap tenang. “Jadi… lo…?”
Nathan menggigit bibirnya, lalu bilang, “Gue nggak bisa janji apa-apa. Tapi, gue pengen coba sama lo. Gue nggak mau terus-terusan nunggu atau ragu. Gue udah nggak tahan, Aruna.”
Ada perasaan lega dan cemas bersamaan dalam diri gue. Lega karena akhirnya dia ngomong apa yang selama ini gue rasa. Tapi juga cemas, karena hubungan ini bakal berbeda setelah ini.
“Apa lo yakin?” Gue nanya, walaupun gue tahu jawabannya.
Dia mengangguk, “Iya, gue yakin. Gue tahu ini nggak gampang, tapi gue siap.”
Gue hanya bisa tersenyum, meski hati gue masih penuh pertanyaan. “Oke,” jawab gue pelan, “kita lihat aja nanti, Nat.”
Gue merasa sedikit lebih tenang, meskipun gue tahu perjalanan ini nggak akan mudah. Tapi yang jelas, gue nggak lagi sendirian dalam kebingunganku.
Setelah obrolan itu, suasana di kafe terasa lebih ringan. Meskipun hati gue masih bergejolak, tapi ada sesuatu yang berbeda. Gue nggak tahu pasti apa yang bakal terjadi, tapi setidaknya sekarang kita punya kejelasan.
Nathan nyeruput kopinya, kemudian nyengir ke gue. “Lo nggak khawatir kalau semuanya bakal jadi awkward, kan?” tanyanya, seolah mencoba ngeredain ketegangan.
Gue cuma ngelengos, “Mungkin iya, mungkin nggak. Tapi, gue rasa kita bisa atasi, kan?” Gue balik nanya, nggak mau kelihatan terlalu tertekan.
Nathan angkat bahu. “Gue harap aja bisa.” Tapi tatapannya lebih lembut sekarang, nggak kayak tadi yang penuh kebingungannya.
“Kita berdua sih harus bisa, Nat,” gue jawab dengan nada santai. “Jadi, gimana? Lo udah ngomong ke Keira?” Gue nanya, meskipun gue sendiri udah bisa nebak jawabannya.
Nathan menunduk, terlihat ragu. “Belum. Gue nggak tahu harus mulai dari mana.”
Gue menghela napas. “Gue ngerti. Tapi lo harus jelas sama dia, Nat. Lo nggak bisa terus-terusan di posisi yang nggak jelas gini.”
Dia mengangguk pelan, seolah-olah mikir keras. “Iya, gue tahu. Tapi gue nggak mau ngelukain Keira. Gue nggak tahu caranya ngejelasin ini semua.”
Gue ngerti perasaan Nathan. Itu pasti berat buat dia, karena Keira nggak salah apa-apa. Tapi, di satu sisi, gue juga ngerasa ini adalah kesempatan buat Nathan ngerasain hal yang lebih nyata.
“Lo harus ngomong, Nat. Kalau nggak, lo bakal terus-menerus dihantui perasaan nggak jelas ini. Keira berhak tahu, dan lo juga berhak memilih.”
Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya angguk. “Lo bener, Aruna. Gue harus nyelesain semuanya.”
Setelah itu, obrolan kita berlanjut lebih ringan. Mungkin ini adalah langkah pertama buat kita berdua—ngerti satu sama lain, dan lebih jujur soal perasaan kita.
Beberapa minggu berlalu setelah pertemuan itu. Nathan akhirnya ngelakuin apa yang harus dia lakukan: ngomong ke Keira tentang perasaannya. Gue tahu itu nggak mudah buat dia, dan pasti sakit buat Keira juga. Tapi setidaknya, semua jadi lebih jelas.
Keira datang ke gue setelahnya. Matanya merah, dan gue bisa lihat dia berusaha keras buat nggak nangis. “Aruna, gue… gue nggak tahu kalau semuanya bakal berakhir kayak gini.” Suaranya agak gemeteran, dan gue bisa ngerasain betapa beratnya dia nerima kenyataan itu.
Gue cuma bisa ngerangkulnya. “Keira, gue ngerti kok. Lo nggak sendirian. Semua bakal baik-baik aja.”
Setelah kejadian itu, hubungan gue dan Nathan berjalan lebih lancar. Kita nggak lagi terlalu khawatir soal Keira atau apa yang orang lain pikirkan. Yang penting, kita tahu apa yang kita rasain.
Dan meskipun gue tahu ini baru permulaan dari perjalanan yang panjang, rasanya sekarang lebih ringan. Gue dan Nathan akhirnya bisa jujur sama perasaan masing-masing. Sekarang, yang terpenting adalah gimana kita ngadepin semua itu bersama.