Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 Calon Mantu?
Di dalam sebuah mobil, Auriga duduk sambil menunggu Cecil, sekretarisnya, yang sedang menemani wanita asing seorang tanpa identitas jelas mencari pakaian di sebuah toko. Bersama Auriga, ada seorang sopir dari cabang perusahaan mereka di Jakarta. Hari ini seharusnya Auriga bekerja di kantor cabang mereka di kawasan elite Jakarta itu, sesuai jadwalnya selama seminggu ke depan.
Namun, karena kejadian tak terduga ini, ia memutuskan untuk menyelesaikan "urusan" dengan wanita itu terlebih dahulu, mengantarkannya ke tempat sang nenek. Sesuai rencananya, wanita itu akan membantu neneknya sebagai asisten, meski Auriga sendiri masih meragukan keputusan tersebut.
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, wanita itu hanya diam. Sangat diam, seperti seseorang yang kehilangan arah. Dia menurut saja apa yang Auriga katakan, ke mana pun dibawa, tanpa protes. Sumpah, demi apa pun, dia tidak seperti ini saat pertama kali bertemu. Wanita itu bertanya banyak hal, padahal jelas kehadirannya jelas tidak diinginkan oleh Auriga malam itu.
Sakit leher gue! nunduk mulu sebenarnya!
Auriga menghela napas panjang, merasa lelah dengan situasi yang tidak masuk akal ini. Bisa-bisanya dia terjebak dalam urusan dengan orang asing yang kondisi mentalnya tampak tidak stabil. Pandangannya tertuju pada toko pakaian di mana Cecil sedang membantu wanita itu memilih baju. Auriga memperhatikan mereka dari dalam mobil, sampai kemudian dia turun.
“Pak, mau ke mana?” tanya sopir dengan sopan.
Auriga mengangkat tangannya, meminta sopir itu diam. Dia berjalan menjauh dari mobil, merogoh ponselnya, dan menghubungi seseorang yang merupakan rekannya tidak lain adalah Mahendra.
“Hallo, Pak Mahen?” suara Auriga terdengar sedikit lelah saat telepon tersambung.
“Oh, hai, Ga. Gimana? Sudah ketemu Pak Rusdi?” tanya Mahendra di ujung telepon.
“Belum, rencananya nanti siang. Bapak di mana sekarang?”
“Saya lagi jalan ke bandara. Jadi, saya berangkat ke Vietnam hari ini.”
“Oh, jadi ya? Baiklah.”
“Kenapa? Ada yang mau kamu bicarakan?” nada Mahendra terdengar penasaran.
“Yang semalam, perempuan yang pingsan karena kejatuhan lampu itu...” Auriga ragu-ragu sejenak.
“Iya? Kamu kenal? Asisten saya bilang katanya dia orang asing yang menyelinap masuk. Bukan dari bagian manajemen model yang kami pakai untuk acara.” Mahendra terdengar heran.
Auriga menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata. “Sebenarnya saya—”
Namun, sebelum dia sempat menjelaskan lebih jauh, pandangannya tertuju ke arah Cecil yang sedang berjalan kembali ke mobil bersama wanita asing itu. Wanita itu berjalan dengan kepala tertunduk, tampak tenang, sementara Cecil sibuk membawa beberapa tas belanjaan. Auriga menghela napas berat.
“Pak Mahen, maaf, Cecil sudah kembali. Nanti saya lanjutkan lagi. Safe flight, Pak,” katanya buru-buru, lalu mengakhiri panggilan sebelum Mahendra sempat menanggapi.
Auriga menyandarkan punggungnya ke kursi mobil, menghembuskan napas panjang. Semua orang cuci tangan. Tidak ada yang mau bertanggung jawab. Pihak hotel mengelak, rumah sakit pun menolak terlibat lebih jauh, bahkan Mahendra hanya mendengar laporan sepintas dari asistennya.
Kini, entah bagaimana, semua masalah itu jatuh ke pundaknya. Auriga bahkan dituduh oleh beberapa staf hotel dan rumah sakit memiliki hubungan dengan wanita asing itu.
“Sial,” gumamnya pelan. Seharusnya tadi malam aku langsung lari saja. Atau mungkin lebih baik aku bawa dia langsung ke rumah sakit jiwa daripada terjebak begini. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa dia tidak akan tega melakukan itu. Meski kesal, ada sisi dalam dirinya yang merasa bertanggung jawab, walaupun tanpa alasan yang jelas.
Ketika pintu mobil terbuka, Cecil melirik Auriga dengan ekspresi bertanya. “Pak, semua sudah selesai. Kita langsung jalan?”
Auriga mengangguk pelan. “Ayo.” Pandangannya beralih pada wanita asing itu yang tetap bungkam.
Cecil membantu wanita asing itu masuk ke mobil, duduk di kursi belakang bersama Auriga, sementara ia sendiri mengambil tempat di depan, di samping sopir.
“Pak, maaf, saya terpaksa memilihkan pakaiannya tadi. Soalnya, Mbaknya diam saja, nggak ada reaksi sama sekali,” kata Cecil dengan nada agak ragu.
Tadinya mau milih crop top sama hot pants sih, tapi kan mau dekatin kamu, Mas. Ya minimal insyaf dulu. Abel bicara dalam hati.
Auriga menghela napas, sedikit malas menanggapi. “Ya, terserah. Dia memang tidak bisa banyak bicara,” ujarnya sambil melirik wanita itu sekilas. Entahlah, Auriga sendiri sebenarnya tidak yakin. Hanya saja, dokter mengatakan seperti itu.
Bisa kok, Balas ucapan kamu, I love you too mas. I love you more juga boleh. Abel terus berbicara tanpa suara.
“Dia sakit, ya, Pak?” tanya Cecil, melirik ke belakang dengan tatapan ingin tahu.
Sakit.. ya rela sakit karena kamu, kurang effort apa lagi
“Hmm...,” Auriga mendengus singkat. “Saya harap kamu bisa bantu-bantu dia nanti, Cecil.” Kemudian, dengan suara tegas, ia memberi perintah kepada sopir. “Ayo, jalan.”
Sementara mobil melaju perlahan meninggalkan area parkir, Cecil diam-diam menyimpan banyak pertanyaan di benaknya. Siapa sebenarnya perempuan ini? Kenapa bosnya membawanya keluar dari rumah sakit? Dan kenapa dia harus disuruh memilihkan pakaian dan mencarikan kebutuhannya? Semua ini terasa begitu aneh bagi Cecil, tapi dia tahu lebih baik menahan diri daripada banyak bertanya.
Di kursi belakang, wanita asing itu, Abel, melirik Auriga dari sudut matanya. Wajah pria itu tampak lelah, jelas terlihat frustrasi dengan situasi ini. Ya ampun, haruskah aku merasa bersalah karena menyusahkan dia seperti ini? Pikirnya. Namun, secepat itu pula ia menghapus perasaan bersalah tersebut. Tidak, tidak perlu merasa bersalah. Toh, semua ini sudah terjadi. Sudah separuh jalan. Kalau mundur sekarang, apa gunanya?
Tapi, perlahan, sesuatu tentang Auriga menarik perhatiannya. Abel memperhatikan caranya berbicara dengan Cecil, tegas tapi tetap pengertian memberi izin Cecil bisa ikut berbelanja juga untuk dirinya sendiri. Abel juga memperhatikan bagaimana Auriga memperlakukan sopirnya tadi memberi uang tambahan hanya karena rencana mereka berubah dan tidak langsung menuju kantor. Bahkan, Abel ingat bagaimana Auriga memperingatkan sopir itu untuk tidak merokok, dengan alasan menjaga kesehatannya.
“Bapak punya keluarga yang menunggu di rumah. Jangan bikin mereka khawatir karena tiba-tiba bapak sakit,” ujar Auriga dengan nada tenang, tapi penuh makna.
Astaga, pria ini seperti apa sih? Kenapa dia baik banget? Pikir Abel sambil menatap ke luar jendela, mencoba mencerna situasi yang aneh tapi entah kenapa mulai terasa hangat ini. Di tengah kekacauan yang ia buat, ada sesuatu tentang Auriga yang membuatnya merasa sedikit lebih nyaman dia adalah pria yang bertanggungjawab.
Baru saja Abel memuji Auriga dalam hatinya, kini ia mendadak ingin mengumpat pria itu. Semua karena teringat ucapan Auriga sebelum mereka meninggalkan rumah sakit.
“Kamu, entah siapa pun kamu, tolong kerja samanya. Saya bantu kamu, jadi tolong bantu saya agar tidak membuat kekacauan. Entah bagaimana, tapi pada akhirnya saya yang kena masalah dan harus bertanggung jawab atas hal yang tidak masuk akal ini. Sebenarnya, saya mau bawa kamu ke panti sosial,” ujar Auriga sambil melirik tajam. “Ya, semua orang tidak kenal kamu. Kamu tanpa identitas, tanpa keluarga yang mencari. Tapi, saya ubah rencana. Saya akan bawa kamu ke tempat nenek saya. Dia butuh seseorang untuk bantu-bantu, jadi teman dia ke mana-mana. Ya, mungkin lebih seperti asisten pribadi, bukan pembantu rumah tangga biasa.”
“Asisten pribadi?” Abel akhirnya bersuara, suaranya terdengar ragu. “Saya tidak tahu… apakah saya bisa.”
Auriga mendesah, jelas-jelas kesal. “Kamu bantu-bantu saja. Apa pun yang diminta, lakukan. Paham?” Nada bicaranya tegas, nyaris tanpa kompromi. “Pokoknya, nanti nenek saya yang akan kasih perintah. Kamu ikuti saja. Jangan buat masalah.”
Abel hanya bisa mengangguk pelan, tidak punya pilihan lain.
“Kamu sakit? Masih terasa sakit? Atau mungkin kamu ingat sesuatu? Ada bayangan apa pun, sekecil apa pun?”
“Tidak,” jawab Abel singkat, suaranya lirih.
Auriga menghela napas panjang, tampak semakin lelah. “Baiklah. Kalau begitu, ikuti kata saya. Tapi, ingat, kalau kamu macam-macam, saya terpaksa bawa kamu ke tempat yang seharusnya.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Oh ya, satu hal lagi. Mulai hari ini, nama kamu Ana, sampai kamu ingat siapa diri kamu sebenarnya. Minimal, nama kamu.”
“Ana?” Abel mengulang, seakan ingin memastikan ia mendengar dengan benar.
“Ya. Ana. Mulai sekarang.”
Ciee punya feeling ya, Ana kan juga bagian dari nama aku Arabella Anais Anderson uhuk uhuk!
***
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya mobil yang ditumpangi Auriga, Abel, dan Cecil tiba di sebuah rumah besar. Di sana, sosok seorang wanita tua nenek Auriga sudah menunggu di halaman.
Abel tersadar dari lamunannya saat melihat bangunan itu. Ia kembali teringat bagaimana sikap Auriga tadi di rumah sakit, menyebalkan, penuh intimidasi tapi… entahlah dia sangat bertanggung jawab. Abel menunduk, mencoba memahami situasi yang rasanya membuat dia takut sekali karena bermain-main seperti ini
Oma dari jauh menatap mobil yang baru saja berhenti di depan rumah. Perlahan, ia berjalan mendekati Auriga yang turun terlebih dahulu, diikuti oleh Cecil, sekretarisnya, dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berpakaian sederhana, namun kecantikannya tetap memancarkan pesona yang alami. Ia tampak begitu muda, jauh dari bayangan Oma tentang siapa yang akan dibawa Auriga.
Dalam pikirannya, Oma membayangkan Auriga akan membawa seorang wanita paruh baya atau setidaknya ibu-ibu berusia matang yang cocok menjadi asisten pribadinya. Namun, yang muncul di hadapannya sekarang justru seorang wanita muda, seperti… calon istri, bukan seorang pekerja.
“Oma!” sapa Auriga dengan nada ceria, berusaha memecah perhatian neneknya.
Biasanya, Oma akan langsung menyambut Auriga dengan penuh antusias. Namun kali ini, sorot matanya tak lepas dari wanita muda itu. Ada raut penasaran yang tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, Oma menarik lengan Auriga, membawanya menjauh dari Cecil dan wanita itu.
“Ini beneran calon mbak?” bisiknya penuh selidik. “Kamu nemu di mana dia?”
Auriga langsung mengerutkan kening, “Kenapa? Apakah calonnya harus tua dan lansia?”
“Nemu dimana? Maksudnya kamu bawa dari mana?”
“Namanya Ana, sodara jauh teman aku. Lagi butuh kerjaan dan tempat tinggal ibu kota keras. Aku pastikan dia bisa bantu oma, apapun keluhan oma jika tidak suka atau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, aku akan atasi.”
Abel mengumpat dalam hati mendengar pelan ucapan Auriga. Sial, dia benar-benar jadi pembantu, pikirnya. Tapi, tidak apa-apa, asal Auriga juga ada di sini.
Sementara itu, Oma masih sibuk berbicara dengan cucunya. “Ini mah cocok jadi calon mantu. Ya Tuhan ada ada saja.bJadi, kamu akan tinggal di Oma, kan, beberapa hari ke depan? Apartemen kamu kan masih disewakan, ya?”
Calon mantu jalur kesialan?
Auriga menggaruk rambutnya, merasa sedikit bingung dengan keadaan yang semakin rumit. “Ya, hanya hari ini,” jawabnya, berusaha terlihat tenang.
“Di sini, pokoknya kamu di sini sampai pulang,” kata Oma, menegaskan.
Oma kembali melanjutkan, “Kalau gitu, Oma nggak bisa bantu teman kamu, Oma cari yang lain.”
Auriga menghela napas panjang, merasa kasihan pada Abel. “Astaga, Oma, kasihan dia,” ujar Auriga, sedikit kesal. “Baiklah, iya. Aku di sini beberapa hari, sampai minggu nanti.”
Abel yg gugup takutbpenyamarannya ketahuan sama Riga kok aku yg deg degan jantung berdebar ya🤭
KK trimkasih upnya di tunggu kelanjutanya🙏
takut ada sesuatu
padahal ini masalah hati yg buat Abel berbuat konyol pura2 Amnesia 🙆🏻♀️
haduh bahaya berlll
next akak tris 🙏
💪💪
Padahal masalah sepele “Cintq…
Huhuhu jadi ga sabar up kak 🥰🥰