Semua telah terjadi, imanku rasanya telah kubuang jauh. Berganti Nafsu syahwat yang selama ini selalu kupendam dalam-dalam.
Apakah ini benar-benar keinginanku atau akibat dari sesuatu yang diminumkan paksa kepadaku oleh pria-pria itu tadi.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Satu yang pasti, aku semakin menikmati semua ini atas kesadaranku sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pot Bunga
Beberapa hari kemudian kejadian itu terulang lagi. Rinda kembali terlambat bangun, kebiasaan menonton drama sampai larut malam membuatnya jadi susah bangun pagi.
Kembali mertuaku menyuruhku untuk membangunkan Rinda karena dilihatnya istriku sedang sibuk menyiapkan makanan untuk kami tanpa ada yang membantu.
“Bangunin Rinda pahh.. siram pake air keras kalo perlu...” ucap istriku menahan emosi.
“Ehh.. ngawur aja mama ini.. suaminya marah ntar,” balasku.
Kali ini dengan santai aku naik ke lantai dua dan langsung membuka kamar Rinda tanpa mengetuknya lagi.
Kupikir kalaupun aku ketuk pasti gak bakalan dibuka juga. Memang Rinda biarpun cantik begitu kalau tidur jadi mirip kebo, susah dibangunin.
“Rin... bangun.. udah siang nihhh,” ucapku pelan.
Pagi ini pemandangan yang aku lihat berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Kalau biasanya Rinda tidur memakai daster, sekarang ini dia malah hanya memakai celana dalam dan BH saja.
Selimut yang menutupi tubuhnya sudah acak-acakan sampai setengahnya sudah menggantung di atas lantai.
“Ayo dong Rin.. bangun.. gak enak sama mama tuh,” kataku lagi.
“Hooaaaammhhh... iya.. iya mas.. udah bangun nihh...”
“Yaudah cepetan turun.. masak tiap pagi minta dibangunin terus sih.”
Dengan tenang Rinda beranjak duduk di tepian tempat tidur seperti biasanya. Meskipun tubuhnya hanya terbalut BH dan cel4na dalam saja, tapi dia tak sedikitpun merasa malu atau risih dengan kehadiranku di depannya.
Kulitnya yang putih mulus jadi terlihat jelas di mataku. Perutnya yang masih rata dan gundukan kemalu4nnya yang tercetak tebal di balik cel4na dalam membuatku tergoda untuk melihatnya lebih lama.
Namun aku kembali ingat, ada hati yang harus aku jaga di rumah ini.
“Mas...” ucap Rinda ketika aku akan keluar dari kamarnya.
“Apa?”
“Bagus ya mas?”
“Apanya yang bagus?”
“Dari tadi ngeliatin ini terus....” ucap Rinda sambil menimang kedua susvnya yang terbungkus BH putih berenda.
“Eh, anu.. emm.. bagus... baru yah BH-nya?” selorohku bercanda.
“Ihh.. ditanyain isinya kok malah bahas bungkusnya, sih, mas?”
“Duhh... kamu ini ada-ada aja... udah cepetan kamu keluar... ditungguin mama tuh.”
Aku hampir saja mati kutu dibuatnya.
Rupanya Rinda tahu kalau aku tadi melihat ke arah bulatan payud4r4nya. Mungkin lain kali biar istriku saja yang membangunkannya, supaya tak ada fitnah diantara kita.
Meskipun aku memang suka melihat pemandangan itu tapi kalau diteruskan bisa-bisa Rinda lapor ke Ariefna. Kalau sudah begitu pasti aku dan Ariefna jadi ribut karena mengira aku berbuat mesvm padanya.
Sewaktu aku dan istriku menikmati sarapan, Rinda yang baru turun dari lantai dua lagi-lagi melewati kami dengan langkah santainya. Kembali kulihat istri dari sepupu istriku itu menutupi tubuhnya dengan handuk seperti hari-hari sebelumnya.
Namun pagi ini berbeda, dia menggunakan handuknya sebagai kemben sebatas perutnya, sedangkan dad4nya dia biarkan terbuka hingga susvnya yang terbungkus BH putih itu terumbar kemana-mana.
“Duhh.. tuan putri baru bangun.. dicariin mama tuh Rin,” ucap istriku menyambut kedatangannya.
“Hihihi.. maaf kak.. ngantuk banget sih...”
Keduanya tampak santai bicara tanpa mempedulikan bagaimana perasaanku. Istriku nampak biasa saja melihat Rinda yang memamerkan payud4r4nya yang hanya tertutup BH saja. Sedangkan aku harus belingsatan sendiri antara melihat dan tidak melihat.
“Bagus nih kak, murah lagi...” ucap Rinda.
“Ohh.. modelnya sih biasa aja Rin,” balas istriku santai membahas BH yang dipakai Rinda.
“Iya sih... tapi mas Bima aja bilang bagus tadi.”
“Ehh.. apa?” aku gelagapan sendiri mendengar ucapan Rinda. Kulihat istriku mulai menatapku.
“Hemmm.. papa mau beli yang model begitu?”
“Bo—boleh mah.... tapi bukannya Mama udah punya yang model Rinda gitu,” balasku sambil mulai menata ekspresi wajahku.
“Eh, iya pah.. bener.. lama ga kepake yang itu... ntar deh aku cari,” istriku terlihat kembali santai, aku pun selamat dari keributan yang tak perlu terjadi.
Rinda mengedipkan matanya padaku sambil senyum. Dia lakukan itu tanpa sepengetahuan istriku. Memang ada niat dia menggodaku, atau malah sengaja memancing keributan antara aku dan Ariefna.
Mulai nakal juga nih cewek, harus lebih hati-hati aku menghadapinya.
...𓀐𓂸ඞ 𓀐𓂸ඞ...
Sore harinya aku pulang dari tempat kerja masih belum terlalu gelap. Mungkin sekitar jam 4 aku sudah tiba kembali di rumah. Belum aku sempat mandi, Ariefna langsung memintaku membantu mertua untuk membersihkan taman depan rumah.
Ada banyak pot-pot besar yang harus digeser letaknya. Aku pun menyanggupinya. Setelah mengganti pakaian kerjaku dengan sebuah celana kolor, segera aku pergi ke depan rumah.
“Bim, itu yang sebelah sana digeser kearah tembok,” ujar mertuaku melihatku datang.
“Iya Ma...”
Selain aku dan mertua, di situ juga ada Rinda yang semula membantu membersihkan taman. Penampilannya biasa saja dengan paduan kaos abu-abu dan celana lengging warna hitam.
Rambutnya yang diikat ekor kuda membuat keringat yang membasahi lehernya terlihat. Aku kira dia sudah lama membantu mertuaku bersih-bersih, selain sore itu hawanya memang panas.
“Sini mas aku bantuin...” Rinda mendekatiku ketika aku mengangkat pot yang agak lebar. Sebenarnya tak terlalu berat, hanya ukurannya saja yang lebar.
“Eh, iya Rin.. ati-ati yah..”
Aku dan Rinda sama-sama memegang pot yang akan kami pindahkan. Karena posisinya berada di atas tanah membuat kami berdua harus membungkuk.
Di saat itulah mataku menangkap sesuatu yang janggal di balik kaos yang dipakai Rinda. Lewat lobang leh3rnya kulihat jelas kedua payud4r4 Rinda menggantung bebas karena dia tak memakai BH.
“Udah stop dulu ngelihatnya mas... kita angkat aja dulu,” ucapnya pelan.
Rupanya dia menyadari aku sedang menatap bulatan susvnya.
“Eh, i-iiya Rin...”
Setelah pot yang lebar itu kami pindahkan, Rinda terus membantuku mengangkat pot lainnya sampai selesai.
Padahal pot-pot yang tersisa ukurannya kecil dan aku bisa mengangkatnya sendirian. Entahlah, pasti ada maksud tertentu dari perbuatannya itu. Hanya saja aku tak mau berburuk sangka dan mengira yang tidak-tidak.
“Rin.. kok ga pake BH sih? keliatan tuh...” ucapku pelan, supaya mertuaku tak ikut mendengar tentunya.
“Hihihi.. biasalah mas... tiap hari kalo di rumah ya gini.. lagian yang ngeliat tuh cuma mas Bima aja, kan?” balasnya diikuti sebuah senyuman.
“Ya enggak.. kalo kamu lagi nunduk ya orang lain bisa ngeliat juga dong Rin.. gimana sih...”
“Udah, gapapa mas.. emang kalo ngeliat mereka mau apa?” balasnya santai.
“Hmm.. dibilangin kok jawabnya gitu, sih.”
“Tenang aja mas.. jangan overdosis deh,” ucapnya aneh.
“Over protek! Aahh.. overdosis apaan?”
“Hihihihi.. iya tuh...”
Selesai kami membantu mertua menata taman di depan rumah, Rinda langsung masuk ke dalam kamar mandi. Aku yang menunggu giliran untuk mandi hanya bisa duduk-duduk santai di kursi dapur.
“Ehh.. baunya papa asem banget! Ngapain malah duduk disini?” tanya istriku mendekat.
“Loh, ya nungguin Rinda selesai mandinya dong.. emang boleh mandi bareng?” balasku sekenanya.
“Apa?? Ya gak boleh dong paahh.. sembarangan aja.”
“Makanya itu aku nungguin dia selesai maa...” ujarku tak mau kalah.
Ariefna tak bicara lagi. Dia lalu mengambil piring dan nasi untuk anakku. Selepas dia pergi aku jadi berpikir, kalau tadi dia bilang boleh, apa yang harus aku lakukan?
Pastinya aku tak berani berbuat senekat itu. Namun bayangan ketika misalnya aku bisa mandi bersama Rinda malah menyerang pikiranku. Batang pensilku tiba-tiba langsung bereaksi bangun dari tidurnya.