"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lonceng Paviliun Bulan Kembar
Mei menatap pantulan wajahnya yang beriak di permukaan teh. Untuk sesaat, dia hampir tidak mengenali dirinya sendiri—ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya, seolah pengetahuan tentang Paviliun Bulan Kembar telah mengubah sesuatu yang fundamental dalam dirinya. Kedua Cermin di tangannya terasa lebih berat dari biasanya, seolah mereka juga merasakan beban keputusan yang harus dia buat.
"Jadi," dia berkata perlahan, masih menatap pusaran dalam tehnya, "Paviliun Bulan Kembar adalah kedai teh pertama. Dan setiap kedai teh yang ada sekarang..."
"...adalah gema dari yang pertama," Madam Lian menyelesaikan kalimatnya. "Seperti lingkaran di permukaan air yang terus melebar, setiap kedai teh membawa sedikit serpihan dari kekuatan aslinya."
Wei An bergerak gelisah, matanya yang retak melirik ke arah bulan kembar yang semakin mendekat. "Tapi ada yang harus kau pahami, Mei. Kekuatan itu... tidak sesederhana yang kau kira."
Mei menunggu Wei An melanjutkan, tapi cendekiawan itu tampak ragu. Ada sesuatu dalam cara dia memegang gulungannya yang membuat Mei teringat akan hari pertama mereka bertemu—hari hujan itu ketika semua dimulai.
"Setiap teh yang kau seduh," Master Song mengambil alih, suaranya lembut seperti denting keramik yang beradu, "setiap kenangan yang kau lihat... mereka bukan sekadar bayangan masa lalu. Mereka adalah... pilihan."
"Pilihan?" Mei mengulang kata itu, merasakan getaran aneh dari kedua Cermin saat dia mengucapkannya.
Liu Xian, yang sedari tadi diam, melangkah mendekat. Dalam cahaya bulan kembar, sisik-sisik emasnya menciptakan pola yang menari di tanah. "Ketika kau menyeduh teh, Mei, kau tidak hanya melihat apa yang terjadi. Kau melihat apa yang bisa terjadi."
Sesuatu dalam kata-kata Liu Xian membuat Mei teringat akan semua teh yang pernah dia seduh—semua kenangan yang dia lihat. Bagaimana terkadang detail-detailnya terasa tidak konsisten, bagaimana beberapa kejadian seolah memiliki versi yang berbeda.
"Maksudmu..." Mei berhenti sejenak, mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja dia dengar. "Semua kenangan yang kulihat... mereka adalah kemungkinan yang berbeda? Realitas yang berbeda?"
Madam Lian mengangguk perlahan, sisik-sisiknya yang tersisa berkilau redup. "Dan itulah mengapa kau istimewa, Mei. Kau tidak hanya bisa melihat kenangan—kau bisa melihat semua kenangan, dari semua kemungkinan."
Tiba-tiba, pusaran dalam cangkir teh Mei berubah arah lagi. Sisik Naga Lazuli di dalamnya kini memancarkan cahaya yang berbeda—bukan lagi biru gelap, tapi sesuatu yang lebih dalam, seperti warna langit di antara dua waktu.
"Tapi itu tidak masuk akal," Mei berkata, suaranya bergetar. "Jika setiap teh yang kuseduh menunjukkan kemungkinan yang berbeda, bagaimana aku bisa tahu mana yang benar? Mana yang... nyata?"
Wei An tertawa pelan—tawa yang terdengar pahit. "Itulah pertanyaan yang membuat para tetua memutuskan untuk memisahkan dunia, bukan? Ketakutan akan apa yang 'nyata' dan apa yang 'mungkin'."
Master Song mengetuk tanah dengan tongkatnya, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar. "Tapi mereka salah, Mei. Tidak ada yang 'lebih nyata' dari yang lain. Semua kemungkinan itu nyata—hanya ada di waktu yang berbeda."
Mei merasakan sakit kepala yang familiar mulai menyerang. Ini terlalu banyak untuk dipahami sekaligus. Dia melirik ke arah kedua bulan yang semakin dekat satu sama lain, cahaya mereka mulai berbaur menciptakan warna yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
"Dan Paviliun Bulan Kembar?" dia bertanya, meski dalam hati sudah bisa menebak jawabannya.
"Adalah tempat di mana semua kemungkinan itu bertemu," Madam Lian menjawab. "Tempat di mana semua waktu mengalir bersama, seperti sungai-sungai yang bermuara ke laut."
Liu Xian mendongak ke arah bulan kembar. "Dan seperti laut yang dipengaruhi oleh bulan, Paviliun itu juga memiliki pasang surutnya sendiri. Saat bulan kembar berada dalam posisi seperti ini..."
"...kita bisa mencapai tempat itu," Wei An menyelesaikan. "Tapi hanya jika kita memiliki kunci yang tepat."
Mei menatap kedua Cermin di tangannya. "Dan kalian pikir ini adalah kuncinya?"
"Bukan," Master Song menggeleng. "Cermin itu hanya akan membantumu menemukan jalan. Kunci yang sebenarnya..." dia melirik ke arah cangkir teh di tangan Mei.
Mei mengangkat cangkirnya lebih dekat ke mata, mengamati sisik Naga Lazuli yang masih berputar di dalamnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara sisik itu bergerak sekarang—bukan lagi mengikuti pusaran teh, tapi seolah memiliki kehendaknya sendiri.
"Sisik ini..." dia berbisik, "bukan hanya potongan dari Naga Lazuli, kan?"
Madam Lian tersenyum—senyum yang sama seperti saat pertama kali dia menyajikan teh hitamnya yang terkenal kepada Mei. "Itu adalah kenangan, Mei. Kenangan dari saat pertama teh diseduh di Paviliun Bulan Kembar."
"Dan dengan meminumnya," Wei An menambahkan, "kau tidak hanya akan melihat kenangan itu. Kau akan..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba, kedua bulan di langit bersinar lebih terang dari sebelumnya. Cahaya mereka menciptakan pilar-pilar yang menjulang ke langit, bersilangan tepat di atas tempat mereka berdiri.
"Waktunya hampir tiba," Liu Xian berkata mendesak. "Kau harus memutuskan sekarang, Mei."
Mei sekali lagi menatap teh di tangannya. Dalam cahaya bulan kembar, dia bisa melihat bayangan dirinya yang lain di permukaan cairan itu—versi-versi dirinya dari kemungkinan yang berbeda, semua menatap balik dengan ekspresi yang berbeda-beda.
"Jika aku meminumnya," dia bertanya pelan, "apa yang akan terjadi padaku?"
Keheningan yang menyusul pertanyaannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Para Penjaga dan Pengembara saling bertukar pandang, seolah sedang berbagi rahasia yang tidak bisa mereka ungkapkan.
"Kau akan melihat kebenaran," Madam Lian akhirnya berkata. "Semua kebenaran, dari semua waktu."
"Dan kemudian?"
"Dan kemudian," Wei An menjawab dengan suara yang nyaris berbisik, "kau harus memilih."
"Memilih apa?"
Tapi sebelum ada yang bisa menjawab, sesuatu yang luar biasa terjadi. Kedua bulan di langit akhirnya bertemu, cahaya mereka berpadu menciptakan fenomena yang belum pernah Mei lihat sebelumnya. Udara di sekitar mereka mulai bergetar, dan untuk sesaat, Mei bisa melihat... celah.
Celah dalam kenyataan itu sendiri, seperti retakan di cermin raksasa, dan di dalamnya...
Mei melihat sekilas bayangan sebuah bangunan kuno—Paviliun Bulan Kembar dalam wujud aslinya. Tapi bukan hanya satu bangunan yang dia lihat. Ada ribuan versi dari paviliun yang sama, semua ada di waktu yang berbeda, semua menunggu...
"Ini saatnya," Master Song berkata, suaranya terdengar jauh. "Kau harus memutuskan sekarang, Mei."
Mei menggenggam cangkir tehnya lebih erat, merasakan kehangatan yang familiar sekaligus asing. Di permukaan teh, sisik Naga Lazuli kini berdenyut seirama dengan detak jantungnya, seolah keduanya telah terhubung oleh sesuatu yang lebih dalam dari takdir.
Dengan satu tarikan napas dalam, Mei membuat keputusannya.
Tapi tepat sebelum teh itu menyentuh bibirnya, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dari kejauhan, terdengar suara yang membuat semua yang hadir membeku—suara yang tidak seharusnya ada di waktu ini, di tempat ini.
Suara lonceng dari Paviliun Bulan Kembar yang asli.
Dan dalam dentangnya yang bergema melintasi waktu, Mei mendengar sesuatu yang mengubah segalanya—sebuah pesan yang tersembunyi dalam nada-nadanya, sebuah kebenaran yang bahkan para Penjaga dan Pengembara tidak ketahui.
Kebenaran tentang mengapa dunia benar-benar terbelah.
Dan dengan pemahaman itu, Mei menurunkan cangkirnya, matanya menatap lurus ke arah celah di langit yang mulai menutup.
"Ada cara lain," dia berkata pelan, suaranya dipenuhi keyakinan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Selalu ada cara lain."
Wei An, Master Song, Madam Lian, dan Liu Xian menatapnya dengan campuran keterkejutan dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang terlihat seperti... harapan?
"Apa maksudmu?" Wei An bertanya, matanya yang retak berkilat aneh dalam cahaya bulan yang menyatu.
Mei mengangkat kedua Cermin di tangannya, menatap pantulan bulan kembar di permukaannya. "Kalian bilang Paviliun itu adalah tempat di mana semua waktu bertemu. Tapi kalian salah."
Dia berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama dentang lonceng yang masih bergema.
"Paviliun itu bukan tempat di mana waktu bertemu," dia melanjutkan. "Paviliun itu adalah tempat di mana waktu belajar untuk mengalir bersama."
Dan dengan kata-kata itu, sesuatu mulai berubah. Bukan hanya di langit atau di sekitar mereka, tapi dalam cara realitas itu sendiri bergetar—seperti not musik yang menemukan harmoninya yang sempurna.
Tapi apakah perubahan ini adalah yang mereka harapkan? Atau justru sesuatu yang jauh lebih rumit?
Jawabannya, seperti teh yang belum diminum di tangan Mei, masih menunggu untuk diungkap.