Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan Veltika tidak bisa berbohong
Denis terdiam sesaat, tatapannya masih terpaku pada Veltika yang kini terlihat cemas dan serba salah. Suasana di dalam kamar mandi menjadi semakin sesak dengan ketegangan yang tak terucapkan. Denis menghela napas pelan, kemudian mengangguk. Meskipun hatinya berat, ia tahu bahwa saat ini adalah yang terbaik.
"Baik," jawab Denis, suaranya tetap lembut meski ada nada kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. Ia bangkit dari bathub, air yang menetes dari tubuhnya menciptakan suara pelan di lantai yang dingin. "Aku akan keluar, tapi ingat, Veltika," kata Denis sambil meraih handuk yang tergeletak di dekatnya, "Aku tak akan mundur."
Veltika menggigit bibir bawahnya, menahan rasa bersalah yang mulai menyelimuti hatinya. Ia merasa cemas akan perasaan Denis, namun jauh di dalam hatinya, dia juga tahu betul bahwa dia belum siap untuk melangkah lebih jauh ke dalam hubungan yang rumit ini.
"Denis, aku... aku butuh waktu," ucapnya dengan suara rendah, hampir tidak terdengar.
Denis mengangguk sekali lagi, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum membuka pintu, ia menoleh sekali lagi pada Veltika. "Aku akan tunggu waktu itu, Veltika. Aku tak akan ke mana-mana. Aku di sini, jika kamu siap."
Dengan itu, Denis keluar dari kamar mandi, meninggalkan Veltika yang masih terdiam dengan perasaan campur aduk. Veltika menatap dirinya di cermin, wajahnya yang masih kemerahan, dan hatinya yang terasa semakin berat. Apa yang telah dimulai di antara mereka? Dan apakah ia siap untuk menghadapi konsekuensi dari semua ini? Semua pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya, namun satu hal yang pasti, langkah yang diambil kali ini tidak akan mudah untuk diubah.
Veltika menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya di hadapan cermin kamar mandi yang kini terasa begitu asing. Kenangan masa lalu kembali menyeruak, mengingatkan dirinya pada saat-saat penuh luka yang pernah dia alami. Cinta, bagi Veltika, telah menjadi sebuah kata yang menyakitkan. Pengkhianatan yang pernah dia terima membuatnya membangun tembok kokoh di sekitar hatinya, menutup diri dari perasaan yang lebih dalam.
Dia teringat pada lelaki yang dulu pernah ada dalam hidupnya, seseorang yang berhasil menyusup ke dalam dunia pribadinya, membuatnya merasa dicintai, namun pada akhirnya mengkhianati kepercayaannya. Perasaan sakit itu kini masih membekas, dan meskipun Denis memperlakukan Veltika dengan lembut, hati Veltika masih dipenuhi keraguan. Cinta satu malam yang terjadi antara mereka terasa seperti sebuah pelarian, sesuatu yang tidak akan bertahan lama, dan Veltika tahu itu.
Satu malam bersama Denis tidak mengubah apa pun. Bagi Veltika, itu hanyalah sebuah pelarian dari kenyataan, sebuah cara untuk melupakan rasa sakit yang pernah dia rasakan. Dia merasa tak ada lagi tempat bagi cinta dalam hidupnya, terutama setelah apa yang terjadi pada dirinya dulu. Denis, meskipun baik dan penuh perhatian, tidak bisa mengisi kekosongan yang ada di dalam dirinya. Ia bukanlah pria yang akan dia percayai sepenuhnya.
Veltika menundukkan kepala, merasakan berat di dadanya. Di balik senyum yang dia tunjukkan kepada Denis, ada luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Cinta satu malam itu, baginya, sudah usai. Denis hanya sebuah kenangan sementara, yang akan terlupakan seiring berjalannya waktu.
Tapi meski begitu, perasaan itu tetap ada. Veltika sadar akan kebingungannya. Sebuah perasaan yang selalu datang dengan ketakutan, dengan bayang-bayang masa lalu yang tidak bisa begitu saja dilupakan. Namun, untuk saat ini, Veltika bertekad untuk menjaga jarak, karena dia tahu bahwa dirinya belum siap untuk membuka hatinya kembali.
Dengan langkah pasti, dia keluar dari kamar mandi, mencoba mengusir perasaan itu dari pikirannya. Veltika tahu, dia harus fokus pada hidupnya, pada karier yang telah dibangunnya sendiri. Cinta, jika memang ada, mungkin akan datang di waktu yang tepat. Tapi untuk sekarang, dia memilih untuk tidak lagi terjebak dalam perasaan yang tidak pasti.
Esok pagi, suasana rumah terasa berbeda. Caroline dan Andung Bramanta, kedua orang yang kini menjadi pasangan suami istri, tengah sibuk bersiap-siap untuk keberangkatan bulan madu mereka. Caroline terlihat cantik dengan gaun santai berwarna pastel, sedangkan Andung, meskipun lebih tua, tetap memancarkan aura kepercayaan diri yang khas. Mereka tampak bahagia, meskipun ada ketegangan yang tersembunyi di balik senyum mereka, terutama bagi Veltika.
Veltika yang sudah menyiapkan sarapan pagi, duduk diam di meja makan, memandang mereka berdua dengan tatapan kosong. Meskipun dia tidak menyuarakan perasaan hati, ada keraguan yang berputar-putar dalam pikirannya. Kehadiran Caroline di dalam rumahnya, meskipun dipenuhi dengan kebaikan dan perhatian, selalu menimbulkan perasaan tak nyaman. Veltika merasa seolah ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tak bisa ia kontrol.
"Veltika, kenapa diam saja? Bantu Ibu Caroline mengemas barang-barangnya," kata Andung sambil menyesap kopi. "Kamu pasti ingin mereka berdua menikmati bulan madu ini dengan tenang, kan?"
Veltika hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih bergejolak. Dia tahu, ini adalah saat-saat penting bagi orang tuanya, dan dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan mereka, meskipun di dalam dirinya ada perasaan cemas. Ada banyak hal yang belum dia hadapi dengan Caroline dan Denis, tetapi dia mencoba menahan perasaan itu.
Caroline, yang sudah siap dengan koper kecil di tangannya, tersenyum lembut saat melihat Veltika yang duduk di meja makan. "Veltika, kamu pasti merasa canggung, kan? Ini semua baru bagi kita. Tapi percayalah, kita akan baik-baik saja. Aku ingin kamu merasa nyaman di rumah ini."
Veltika tersenyum tipis, berusaha menjaga sikap. "Tentu saja, Ibu Caroline," jawabnya dengan suara yang lembut, meskipun dalam hati, dia merasa sedikit terasingkan. Ada sesuatu yang belum selesai dalam hubungan mereka, sesuatu yang belum dia ungkapkan.
Setelah sarapan selesai, Andung dan Caroline pun berangkat menuju bandara. Veltika memandangi mereka berdua yang pergi dengan rasa campur aduk. Sebagai seorang anak, dia ingin melihat orang tuanya bahagia, namun di sisi lain, dia juga merasa seperti ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan mereka. Dia hanya bisa berharap bahwa, suatu hari nanti, dia bisa memahami perasaannya dan menerima segala perubahan yang datang dalam hidupnya.
Veltika memulai harinya dengan langkah ringan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan banyak pikiran tentang keluarganya dan dinamika baru yang sedang berkembang. Pagi itu, setelah sarapan dan memastikan bahwa semuanya di rumah berjalan lancar, dia berangkat menuju kantor, tempat di mana dia merasa bisa fokus pada pekerjaannya.
Di kantor, suasana terasa sedikit berbeda. Veltika memasuki ruangannya dengan langkah tenang, tetapi matanya tertuju pada sosok yang sudah ada di sana—seorang pria tegap mengenakan setelan jas yang rapi. Dari belakang, pria itu tampak sangat profesional, dan aura percaya dirinya begitu kuat. Veltika berhenti sejenak di pintu, mencoba menebak siapa dia, meskipun pria itu sepertinya sudah menunggu kedatangannya dengan sengaja.
Tanpa menunggu lama, pria itu menoleh, dan tatapan mereka bertemu. Wajahnya tidak asing, meskipun Veltika agak terkejut melihatnya. Dia mengingatnya sebagai seorang kolega lama, tapi entah kenapa ada sesuatu yang berbeda kali ini.
"Veltika," pria itu menyapa dengan senyum tipis, matanya menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kamu pasti sedang sibuk, tapi aku harus bicara denganmu tentang sesuatu yang penting."
Veltika sedikit terkejut, namun ia berusaha tetap tenang. "Apa yang bisa saya bantu?" jawabnya, meskipun dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya.
Pria itu mendekat sedikit, mengangguk dengan serius. "Aku hanya ingin memberitahumu bahwa ada beberapa perubahan besar yang akan datang, dan aku ingin kamu menjadi bagian dari itu. Ada proyek besar yang sedang dalam tahap perencanaan, dan aku yakin kamu bisa membantu."
Veltika mengernyitkan dahi, penasaran dengan apa yang dimaksud pria itu. "Proyek besar? Apa hubungannya dengan saya?" tanyanya, mencoba mengingat setiap rincian yang mungkin bisa menjelaskan kehadirannya di sini.
Pria itu mengangguk pelan. "Ini bukan sekadar tentang pekerjaan, Veltika. Ini lebih dari itu. Tapi aku akan jelaskan lebih lanjut nanti," jawabnya dengan nada yang mengandung misteri. "Untuk sekarang, aku hanya ingin memastikan kamu tahu bahwa ini adalah kesempatan besar, dan aku percaya kamu bisa memanfaatkannya."
Veltika merasa sedikit bingung, tetapi rasa penasaran yang besar membuatnya merasa tertarik. "Baiklah, aku akan menunggu penjelasan lebih lanjut," jawabnya, meskipun dalam hati, ia mulai merasakan ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya. Sesuatu yang bisa mengubah arah hidupnya lagi.