Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Persiapan Pernikahan Supermewah
“Kak Benji, tolong periksa daftar tamu lagi,” suara Harrison terdengar tegas di ruang kerja kediaman Harper yang telah diubah menjadi pusat koordinasi acara. “Aku nggak mau ada celah sekecil apa pun. Pernikahan ini harus berjalan lancar.”
Benji, kakak Hawa yang dikenal tegas namun santai, mengangguk sambil memeriksa daftar di tangannya. “Santai, Harrison. Aku sudah dua kali mengecek semuanya. Kalau ada yang nggak diundang mencoba masuk, penjagaanku sendiri yang akan menanganinya.”
Ares, asisten pribadi Harrison yang terkenal cekatan dan setia, masuk ke ruangan dengan membawa beberapa dokumen. “Tuan Harrison, keamanan hotel sudah saya pastikan. Ada 20 petugas tambahan yang akan berjaga selama acara berlangsung. Semuanya sudah disesuaikan dengan standar tertinggi.”
Harrison mengangguk sambil membaca laporan yang diberikan Ares. “Bagus. Jangan lupa, kita juga harus memastikan keamanan di kediaman Harper selama prosesi akad. Aku nggak mau kejadian seperti ancaman dari Ella atau Samuel terjadi lagi.”
Benji mendengus. “Kalau mereka masih berani muncul, aku sendiri yang akan membereskan mereka.”
Harrison melirik Benji, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu kamu bisa diandalkan, Benji.”
***
Di sisi lain rumah, Hawa sedang mencoba gaun pernikahannya bersama Dylan dan Tamara. Keduanya adalah sahabat terdekat Hawa yang selalu mendukungnya, terutama di tengah ancaman yang terus menghantui.
“Gaun ini benar-benar sempurna untukmu, Hawa,” ujar Tamara sambil membantu merapikan kerah gaun.
Hawa tersenyum gugup sambil melihat bayangannya di cermin. “Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi. Rasanya seperti mimpi.”
Dylan, yang biasanya lebih serius, menepuk bahu Hawa. “Percayalah, Hawa. Harrison adalah pria yang tepat untukmu. Dia tidak hanya mencintai kamu, tapi juga melindungi kamu dan Emma dengan segenap hati. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan ini.”
Tamara mengangguk setuju. “Dan jangan pernah takut, Hawa. Ingat, kebenaran selalu menang atas kejahatan. Kalau ada yang mencoba mengganggu hidupmu, mereka pasti akan kalah.”
Hawa menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Terima kasih, kalian. Aku merasa lebih kuat karena kalian ada di sini.”
***
Malam itu, Harrison dan Ares kembali berdiskusi di ruang kerja. Benji bergabung untuk memastikan semua rencana berjalan mulus.
“Kita sudah mengunci semua akses ke area resepsi. Tidak ada tamu yang bisa masuk tanpa undangan yang terverifikasi,” lapor Ares.
Harrison mengangguk. “Bagus. Tapi aku ingin kita juga menyiapkan rencana cadangan. Kalau ada yang mencoba membuat keributan, kita harus bertindak cepat.”
Benji menyela, matanya serius. “Apa kamu yakin Samuel nggak akan mencoba sesuatu? Dia masih dendam karena gagal menjatuhkanmu sebelumnya.”
Harrison tersenyum tipis, tapi matanya menunjukkan ketegasan. “Aku sudah menangani Samuel. Dia nggak akan punya kesempatan lagi.”
***
Di gudang tua yang gelap dan penuh bau logam, Samuel duduk di kursi kayu reyot, dikelilingi oleh anak buahnya. Wajahnya memerah karena amarah, dan segelas whisky di tangannya tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia masih tidak percaya bagaimana Harrison Noah, yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya, selalu berhasil keluar sebagai pemenang dalam setiap pertempuran, baik di dunia bisnis maupun kehidupan pribadi.
“Kalian semua dengar aku,” katanya dengan nada tinggi, memecah keheningan di ruangan itu. “Aku nggak akan diam begitu saja melihat Harrison Noah terus menang. Ini waktunya dia jatuh, dan aku yang akan memastikan itu terjadi!”
Seorang pria bertubuh besar dengan tato di lengan, salah satu orang kepercayaan Samuel, mengangguk setuju. “Kami sudah siap, bos. Orang-orang kita sudah menyusup ke beberapa titik di lokasi resepsi. Tinggal tunggu aba-aba dari Anda.”
Samuel tersenyum licik, menggenggam gelasnya dengan kuat. “Bagus. Pastikan kalian membuat keributan yang cukup besar untuk menarik perhatian. Aku sendiri yang akan menangani Harrison. Aku ingin melihat wajahnya saat dia tahu dunia sempurnanya hancur.”
“Bagaimana dengan keluarganya, bos?” tanya pria lain dengan nada ragu. “Harrison pasti akan melakukan apa pun untuk melindungi mereka.”
Samuel mendengus kesal. “Itulah poinnya! Dia terlalu peduli pada keluarga kecilnya itu. Kalau kita mengancam orang-orang yang dia cintai, dia akan kehilangan fokus. Itulah saatnya kita menyerang.”
Pria bertato itu mendekati Samuel, menyerahkan sebuah peta lokasi lengkap dengan titik-titik strategis yang telah mereka tandai. “Ini rencana kita, bos. Mereka akan mengadakan akad di kediaman Harper, dan resepsi di hotel ternama. Pengamanan mereka ketat, tapi kita punya orang dalam yang bisa membantu.”
Samuel memandangi peta itu dengan penuh konsentrasi, matanya menyipit seperti elang yang mengincar mangsanya. “Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Aku nggak peduli berapa banyak uang yang harus kita keluarkan. Aku ingin acara itu berakhir dengan kekacauan.”
Namun, di balik keyakinannya, ada rasa gelisah yang perlahan-lahan merayap di pikirannya. Samuel tahu betul siapa Harrison Noah. Pria itu bukan sekadar pebisnis cerdas, tapi juga seseorang yang selalu selangkah lebih maju. Namun, amarah dan rasa dendam membutakan penilaiannya.
***
Di saat yang sama, Harrison sudah memprediksi setiap langkah Samuel. Dengan bantuan Ares dan jaringan keamanannya, ia berhasil mengawasi setiap gerak-gerik musuhnya.
“Samuel akan mencoba sesuatu di acara itu,” ujar Ares sambil menunjukkan laporan intelijen terbaru. “Orang-orangnya sudah bergerak ke lokasi, tapi kita sudah tandai mereka semua.”
Harrison membaca laporan itu dengan seksama, matanya tajam penuh perhitungan. “Kita nggak bisa menunggu sampai mereka menyerang. Kita harus bertindak lebih dulu.”
“Rencana apa yang akan kita gunakan, Tuan?” tanya Ares.
Harrison tersenyum kecil, sebuah senyum yang lebih dingin daripada malam itu. “Pastikan Samuel merasa dia yang mengendalikan permainan. Tapi saat dia berpikir dia sudah menang, kita buat dia jatuh lebih keras dari yang pernah dia bayangkan.”
Ares mengangguk. “Baik, Tuan. Saya akan menyiapkan tim kita. Semua titik strategis akan diawasi, dan orang-orang Samuel akan dijatuhkan sebelum mereka sempat bergerak.”
***
Malam itu, ketika Samuel akhirnya memutuskan untuk memulai aksinya, ia dan anak buahnya tiba di lokasi yang mereka yakini adalah titik aman untuk menyerang. Namun, semuanya berubah menjadi mimpi buruk.
Saat mereka mendekati pintu belakang hotel yang seharusnya tidak dijaga, tiba-tiba lampu sorot menyala terang, menyilaukan mata mereka. Dari berbagai arah, pasukan keamanan yang dipimpin langsung oleh Ares muncul dengan senjata lengkap.
“Apa-apaan ini?!” Samuel berteriak panik.
Ares melangkah maju, senyumnya penuh kemenangan. “Selamat datang di akhir permainanmu, Samuel. Tuan Harrison sudah tahu rencanamu dari awal.”
Samuel mencoba melawan, tapi semua anak buahnya sudah dilumpuhkan dalam hitungan detik. Tidak ada celah untuk melarikan diri.
Harrison muncul dari balik kerumunan dengan langkah tenang, wajahnya dingin tanpa emosi. “Aku sudah bilang, Samuel. Jangan pernah coba menyentuh keluargaku lagi.”
Samuel yang biasanya licik dan penuh percaya diri, kini hanya bisa berdiri terpaku. Ia tahu, ini adalah akhir dari permainannya.
“Aku nggak akan berhenti, Noah,” gumam Samuel dengan suara bergetar. “Aku akan kembali.”
Harrison mendekat, matanya penuh ketegasan. “Kalau kau kembali, pastikan kau siap untuk kehilangan semuanya.”
Malam itu, Samuel ditangkap dan dibawa oleh pihak berwenang. Rencana terakhirnya untuk menghancurkan Harrison hancur lebur, bahkan sebelum ia sempat memulai.
***
Dengan Samuel yang telah dilumpuhkan, Harrison kembali ke rumah dan menemukan Hawa sedang berbincang dengan Dylan dan Tamara. Hawa langsung berdiri saat telp dari Harrison masuk.
“Apa semuanya sudah selesai?” tanya Hawa cemas di telp.
“Sudah. Tidak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan.” jawabnya.
Hawa merasa lega. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu selalu melindungi aku dan Emma.”
Harrison tersenyum sendiri dan senang. “Kamu dan Emma adalah hidupku, Hawa. Tidak ada yang bisa menyentuh kalian.”
Namun, ketika mereka mulai merasa lega, sebuah pesan misterius masuk ke ponsel Harrison. Pesan itu berisi satu kalimat:
“Samuel bukan satu-satunya musuhmu.”
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.