cerita tentang perubahan para remaja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
"Aku harap seperti itu" ucap rangga mendoakan yang terbaik untuk saudara angkatnya.
"Apa itu bintang kejora?" Ucap zidan saat melihat ke arah langit. Rangga mencoba memastikan apa yang dilihat saudaranya, ternyata benar adanya. Kemudian mereka bergegas membangunkan jihan yang sudah terlelap sejak tadi.
"Jihan bangun ada bintang meteor, bintang kejora atau bintang jatuhnya sudah terlihat" ucap keduanya sambil menepuk pipi adiknya, agar terbangun dari mimpinya.
"Ayo cepat bangun" mereka kemudian memaksa agar jihan duduk.
Dalam posisi duduk mata Jihan masih terpejam, perlahan ia membuka matanya.
Sementara kedua kakaknya sangat terpesona melihat keindahan alam ciptaan Allah yang satu ini.
"Subhanallah, bintang kejora, bintang jatuh, ini pertama kalinya aku melihatnya" ucap jihan langsung beranjak berdiri setelah membuka matanya.
Sementara zidan terlihat menangkup kedua tangannya selayaknya orang yang sedang berdoa.
"Apa yang sedang kamu panjatkan" tanya rangga.
"Apa maksudmu, ini hanyalah fenomena alam, aku tidak berharap apapun, bahkan jika aku berdoa, belum tentu terkabul dan bisa menjadi kenyataan" ucap zidan sambil berucap dalam hatinya.
"Subhanallah, indah sekali ciptaan Tuhan" ucap jihan kegirangan merasa senang melihat bintang kejora, seperti anak kecil.
"Ibu, aku disini!, Bisakah kamu melihatku, aku sangat merindukanmu!" Batin zidan memanjat doa dan harapan pada sang pencipta melalui fenomena alam yang dilihatnya.
Pagi harinya cuaca terlihat cerah.
"Ayo pergi" ajak bu Titin sambil menggandeng tangan putrinya sepulang dari sekolah.
"Aku tidak mau pergi, aku tidak mau ke rumah jihan" ucap bocah kecil itu memberontak.
"Kita tidak akan ke rumah jihan, kita akan pergi ke warung ayahnya, disana kita akan melihat kakakmu" ucap bu Titin menjelaskan.
"Ibu bohong, aku tidak mau percaya dengan ibu lagi!" Teriak bocah kecil itu.
Bu Titin kemudian melepaskan genggaman tangannya dan duduk setengah berjongkok agar sejajar dengan gadis itu.
"Astaga, siapa yang membohongimu!, Bagaimana bisa ibu membohongi putrinya sendiri?" Tegur bu Titin tegas.
"Ibu bilang kakakku sangat merindukanku, dan dia juga sangat menyayangiku, tapi apa buktinya, dia bahkan tidak menganggap aku sebagai adiknya, dia justru menganggap jihan adalah adiknya" pekik gadis itu merasa kecewa dengan ibunya.
"Begini sayang, bukan dia tidak merindukanmu, hanya saja kedatangan kita ini terlalu tiba-tiba mungkin dia perlu beradaptasi" ucap bu Titin menjelaskan.
"Aku tidak mau tinggal di sini, aku mau kembali ke Surabaya saja, aku tidak kenal satupun teman sekelas disini" pinta gadis itu
Bu Titin menghela nafas pelan mengerti maksud gadis itu kemudian beranjak berdiri.
"Kita tidak tinggal disini selamanya, disamping itu kamu sudah memberitahu teman sekelasmu kalau kamu punya kakak, jika kamu kembali dan tidak punya bukti foto bersama, bukankah temanmu berfikir kamu bohong pada mereka?" Ucap bu Titin menjelaskan.
Gadis itu nampak berfikir sejenak kemudian mengangguk paham akan maksud sang mama.
"Sekarang ayo pergi, sebentar lagi hujan" ucap bu Titin sambil menggandeng putrinya dan melanjutkan perjalanan menuju warung Lian.
Tak lama berselang, hujan turun dengan derasnya, kini bu Titin dan putrinya sudah berada di warung Lian.
Bu Titin duduk di salah satu kursi sambil mengawasi putrinya yang belajar bersama dengan rangga kakaknya.
Azizah nampak kesulitan menjawab soal pelajarannya ia melirik ke arah rangga yang hanya diam dan fokus mengerjakan tugasnya.
"Kenapa" tanya rangga setelah melihat gadis itu nampak kebingungan.
"Aku tidak cara menyelesaikan tugas, ini sangat sulit" ucap azizah pelan.
"Sini biar aku lihat" ucap rangga menggambil buku pelajaran gadis itu dan melihatnya.
Gadis itu beranjak berdiri dan duduk disamping kakaknya.
Bu Titin sangat senang dan terharu melihat keakraban mereka, karena tujuannya adalah menyatukan kedua anak kandungnya meskipun berbeda ayah.
"Sebidang tanah persegi panjang berukuran panjang enam meter dan lebar tiga meter, itu dipagari di semua sisi, berapa panjang pagar dalam meter?, Yang mana panjang dan yang mana lebar?, Yang ini panjang dan yang ini lebar, berapa panjang dan berapa lebar?" Tanya rangga setelah membaca soal tersebut.
"Yang panjang enam meter dan yang lebar tiga meter" jawab gadis itu memperhatikan dengan serius.
"Jadi ada panjang dan dua lebar berapa banyak semuanya ditambah bersama?" tanya rangga lagi.
Gadis itu mengambil buku lain dan mulai menghitung jumlah yang dimaksud.
"Delapan belas meter" jawab gadis itu setelah menghitung dan mendapatkan hasilnya.
"Benar"
"Jika satu sisi bersandar pada dinding, berapa panjang sekarang?" Tanya rangga melanjutkan membaca soal berikutnya.
"Aku mengerti sekarang" jawab gadis itu.
Azizah mulai memahami soal yang dimaksud kemudian mengambil kembali bukunya dan belajar bersama kakaknya dengan lebih teliti.
Bu Titin merasa bahagia melihat kedekatan keduanya, ia berjanji akan memperbaiki kesalahannya di masa lalunya dengan lebih peduli bersama kedua anaknya.
Rangga mencoba menerima kembali ibu dan adiknya meskipun hal tersebut tidak mudah. Bersamaan dengan itu, hujan dan petir saling bersahutan. Rangga menoleh ke arah adiknya dengan tatapan menyejukkan, dari senyumnya, gadis itu mirip dengan balita kecil yang pernah bermain bersamanya diwaktu kecil. Pandangannya kemudian tertuju pada tanda lahir yang berada di bawah telinga sebuah tanda lahir yang sama persis dengan adiknya yang telah tiada.
"Hal yang tidak mungkin, memiliki tanda lahir di tempat yang sama bukan, hujan dan petir juga terjadi pada saat itu, kamu sudah melakukan yang terbaik, untuk meminta pertolongan, dan berusaha membuka pintu, tapi siapapun tidak ada yang mendengar, bertahun-tahun aku terus bermimpi tentang hujan dan petir, aku tidak pulang, aku tidak bisa menemukan jalan, seluruh tubuhku basah karena hujan, aku kedinginan dan menggigil, ketika aku melahirkan azizah, aku baik-baik saja, aku tidak pernah bermimpi seperti ini lagi" ucap bu Titin ketika tahu bahwa Rangga memperhatikan tanda lahir adiknya.
Azizah menghentikan belajarnya dan menoleh ke arah mamanya.
"Mengapa ada hujan dan petir di mimpi mama?" Tanyanya polos.
"Karena mama takut dihukum oleh hujan dan petir dari langit" jawab bu Titin sambil tersenyum.
Azizah kemudian melanjutkan belajar bersama dengan kakaknya.
Disalah satu sudut ruang dapur, terlihat jihan yang merasa kesal, melihat keakraban Rangga dan adiknya, selain itu jihan juga tidak menyukai kehadiran wanita yang duduk tidak jauh dari mereka.
"Betapa menyebalkan, mengapa mereka masih disini?" Ucap jihan merasa kesal sambil mengacak-acak sayuran yang ada di hadapannya.
"Sudah, biarkan saja, cepat selesaikan menyiapkan sayuran biar besok ayah tidak repot dan kita bisa cepat pulang, ayo!"ajak zidan.
Keesokan harinya, cuaca terlihat begitu cerah.
Disekolah Nusa Harapan, jihan tampak begitu tidak bersemangat dalam belajar, hingga tiba waktu istirahat, ia duduk disalah satu bangku dibawah pohon, yang ada di taman sekolah tersebut, jihan tertunduk lesu sambil memainkan tali sepatunya, melepas tali tersebut kemudian mengikat kembali.
"Hai jihan, kenapa, apa kamu sakit?". Tanya Mia menghampiri.
"Tidak, otakku yang sakit" jawab jihan lemas.
Ditunggu komentarnya.