Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berburu
Hutan Lepas, Tahun Pertama ...
Peti ungu jauh lebih bernilai daripada peti oranye, lebih gesit dan sulit ditangkap. Namun di hutan lepas nyaris tidak ada peti ungu, benar-benar tidak ada. Walau demikian bukan berarti tidak ada yang mau menangkap peti oranye dan menyisir hutan lepas. Oleh karena pada saat itu pengetahuanku terbatas, aku adalah dua dari dua orang yang mau buang-buang waktu di sana.
Tentu saja yang pertama adalah anak perempuan liar yang mengenalkan diri dengan nama Niken.
Dia bilang kita harus menunggu, untuk waktu yang rasanya seperti telah seharian, kami diam di balik batang pohon besar yang sudah tumbang. Akar pepohonan saling belit dan tumpang tindih di permukaan tanah yang lembab, membuat ceruk pengintaian kami nyaris sempurna.
Hutan lepas. Cahaya matahari sulit menembus kanopi lebatnya pepohonan. Hijau pekat, biru dan keunguan. Jamur tumbuh liar di dasar hutan yang berlumut, memendarkan cahaya emas dan perak.
Berlama-lama kami hanya menunggu, diam, dan tidak lupa bernapas. Masih tidak ada tanda-tanda buruan kami akan melewati jalur yang sudah dia pasangi jerat. Seekor kadal biru berbintil yang punya rambut-rambut halus merah muda lewat di depan hidung kami lalu terburu-buru pergi setelah mengedipkan matanya.
"Lucu yak, seperti permen kapas." komentarnya, dan aku tidak berniat menanggapi komentar dia.
Aku lebih ingin protes pada situasi apa yang tengah kuhadapi tapi kupikir dia lebih kenal hutan ini ketimbang diriku. Jadi aku memutuskan untuk mengikuti kehendaknya saat dia memergokiku menatapnya.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya. "Apa kau naksir padaku?"
Ada daun kering nyangkut di rambutnya.
"Gak ada," aku menggeleng dan memalingkan wajah. "Kira-kira berapa lama lagi?"
"Mana kutahu," jawabnya.
Ya, memang, mana kutahu adalah jawaban yang sangat praktis. Berburu itu untung-untungan.
***
Dengan telak fatal sesuatu mengenai pelipisku. Sial darimana datangnya?
Dikemudian hari Niken mengatakan dia sama sekali tidak melempariku buah roda, dan dihari itu hanya akulah satu-satunya yang terlihat berkeliaran di dekat sana.
Dia bilang, dia sudah mati, mungkin maksudnya nyaris lalu hidup kembali karena aku datang membantunya. Anak itu memang memiliki kata-kata berlebihan nan mengerikan. Tapi ada hal bagus yang juga dia katakan. Katanya pohon sama halnya dengan manusia yang memiliki siklus kehidupan, kematian dan kelahiran kembali.
Pohon kehidupan, dia menyimpulkan hari itu dia telah lahir kembali, terserah apa katanya namun kalau dipikir-pikir lagi akupun tergoda untuk menyatakan hal serupa sebab dari pohon itulah awal petualanganku ini dimulai.
Cahaya kehidupanku berdenyut kembali.
"Ah, iya, ya di sini."
Sambil mengusap-ngusap pelipisku yang pedih, aku menyipit mengenali arah sumber suara.
Saat kudekati, dia pasti melihatku memandanginya dengan heran. "Ya?"
"Kakak yang baik bisakah kau menolongku? Namaku Niken, 14 tahun."
Aku sepertinya paham kenapa dia nekat memperkenalkan diri saat dirinya masih tergantung seutas tali dengan kaki terbalik. Itu pasti untuk mengambil kepercayaanku. Tapi haruskah dia memperkenalkan diri sedemikian lengkap begitu? Haruskah kusebutkan nama dan umurku juga?
"Kakak, kenapa kau bengong saja, penampilanmu sungguh keren, jadi sangat tidak cocok kalau pura-pura berlagak bodoh."
"Kenapa kau ada di sana?" akhirnya aku buka suara.
"Aku terperangkap, masa kau tidak lihat?"
"Aku lihat," kataku.
"Tentu saja kau lihat, aku bukan arwah."
"Siapa yang merundungmu?"
"Merundung?"
"Siapa yang menjebakmu, sampai kau bergelantungan disana seperti kelelawar."
"Oh, tidak ada." katanya.
Kemudian dia melanjutkan dengan tidak sabar. "Aku memasang jerat, tapi aku tidak sengaja menyenggol jebakanku sendiri dan disinilah nasibku. Nah, sekarang kau sudah tahu situasinya, maukah kau menolong Niken yang malang ini sebelum darahku mengalir semua ke otakku?"
"Ya."
Aku bergegas, mengamati bagaimana perangkap itu di buat, simpulnya dan...
"Kau sedang apa, lama sekali," dia berteriak dengan tidak sabar. "Putuskan saja talinya, kalau aku bisa sudah kuputuskan sendiri dari tadi, tapi lihat aku gak bisa pegang pergelangan kakiku."
"Kau ingin aku menggigiti tali seperti tikus?"
Sesuatu tiba-tiba mendarat di dekat kakiku. "Gunakan itu."
Kugenggam gagang belati miliknya, tanpa kepentingan kutimbang bobotnya. Ya, lumayan kalau sekedar memotong tali. Tapi ternyata tidak lumayan, bilah pisau ini tidak terlalu tajam. Aku butuh upaya lebih agar tali ini cepat putus.
"Aduh, aw! Kakak, tidak kah kau diajarkan bagaimana cara memperlakukan anak perempuan? Aih."
Anak itu mengomel tapi dia tidak buru-buru bangkit malah sengaja berguling dan berlama-lama telentang di sana.
"Kamu?" Aku masuk ke ruang pandangnya.
Dia menatapku dari bawah. "Yak, kenapa kau tidak menangkapku, kenapa kau membiarkanku jatuh?"
"Eh, ya, maaf." Aku sedikit bergeser dengan terhormat saat dia tiba-tiba bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya yang ketempelan daun dan tanah. Sebagian kecil rambutnya lepas dari cepolannya.
"Memangnya hewan apa yang mau kau tangkap?"
"Bukan hewan, tapi harta karun, kotak, masa kau tidak tahu?"
"Kotak?"
"Yak, kotak, peti terserah bagaimana kau menyebutnya."
"Maksudmu kotak aneh berwarna oranye, ada sayapnya?"
"Dan ada juga yang ungu."
"Begitu pentingkah si kotak, rasanya semua orang marah begitu kubawa lari satu punya mereka."
"Ah, kau punya?"
"Yak, tadinya, tapi kulepaskan saja seperti capung, lalu kotak itu mengepak entah kemana."
"Kenapa kau lepaskan? Sudah sangat kaya kah kau sampai tidak membutuhkan piti?"
Telingaku berdiri begitu mendengar satu lagi istilah baru. "Piti? Apa lagi itu?"
"Astaga aku tidak percaya kau tidak tahu apapun. Memangnya kau ini bayi yang baru lahir?"
Bayi yang baru lahir? Yah, itu cukup mendekati kebenaran tapi aku bukan bayi dan tidak pernah menjadi bayi.
"Jadi," kataku. "Mau beritahu tidak, apa itu piti?"
"Piti, koin perak."
"Kalau begitu ada koin emas?"
"Tentu aja. Ikuti aku biar kutunjukan."
Begitulah bagaimana akhirnya aku terjebak di tengah belantara, diantara nafas dan detak jantungnya.
***
"Dengar, dengar!" Dia menepuk-nepuk punggungku tanpa membuyarkan konsentrasinya. Aku mendengarnya. Ada dengung yang lebih besar dari dengung sekawanan lebah tapi sama sekali tidak seperti kepakan burung.
"Ini dia!" Anak ini berseru dengan antusiasme yang sengaja ia kendalikan. Matanya berbinar menanti penuh harap tangkapan besarnya.
Peti-peti itu berwarna oranye dan seukuran kelinci, terbang seperti kawanan burung bersayap putih yang sedang bermigrasi. Jenis perangkap yang ia buat punya mekanisme seperti jala ikan, dan rupanya hari ini dia memiliki perhitungan yang keliru. Peti-peti itu melewatkan beberapa inci dari jebakannya.
"Kok mereka pintar?" Raut kecewa tergambar jelas di wajahnya. "Ini nggak seperti biasanya lho."
Sesuatu di wajahnya menyentuh jiwaku. Aku memandangi antara kawanan peti dengan dirinya.
"Pinjamkan aku pisaumu," aku memutuskan. Masih dalam kekecewaan dia menyerahkan belatinya begitu saja. Untuk kedua kali, telapak tanganku mengenali gagang belati miliknya. Ini memang belati biasa, tidak dirancang khusus, mungkin hasilnya tidak akan efektif tapi aku akan mencoba.
Aku keluar dari ceruk persembunyian, dipacu adrenalin. Dia terdengar mengatakan sesuatu, namun jika aku menoleh, khawatirnya aku akan melewatkan sesuatu yang bagus, jadi aku terus melesat ke depan.
Kawanan peti dalam jangkau pandanganku, peti-peti terbang rendah dalam satu formasi di jalur setapak. Bidikan lurus akan langsung tepat sasaran. Amat disayangkan seandainya aku punya senjata yang memadai. Tapi untuk kali ini satu saja tidak mengapa.
Aku bersiap dan peti-peti tanpa diduga bermanuver, memecah formasi, berzig-zag diantara pohon-pohon. Satu. Aku hanya butuh satu untuk satu belati jadi aku mengunci satu target di depan. Sepasang sayap putih si peti tampak kepayahan membawa beban tubuhnya, memang makhluk yang sungguh aneh. Jadi titik itulah kelemahannya, aku mengincar sayapnya.
Pisau melesat dan terdengarlah bunyi jatuh dan kaok. Kena! Si peti menggeletar di tanah, tidak ada darah yang ditimbulkan dari luka di sayapnya. Namun sesuatu seperti debu bintang menguap ke udara.
"Begini kah?" tanyaku, begitu anak perempuan itu terengah di balik pundakku.
"Wow, kau berhasil." katanya. "Bagus!"
Dia jongkok di sampingku, tapi bukan untuk meratapi kotak yang telah kubunuh meski dia tampak mengelus-elusnya.
"Ah yak, memang begini, mereka tidak punya darah seperti hewan." Lalu dia mengurai sesuatu yang terlihat seperti kantung besar lalu menjejalkan si peti ke sana.
"Apa?" tanyanya.
"Piti?"
"Ada di dalamnya, persis kerang mutiara."
"Oh, oke."
"Sekarang bagaimana? Yang lainnya?" tanyaku. "Masih maukah kau berburu?"
Tentu saja, kami langsung menyisir lebih dalam menembus hutan. Kedua, ketiga dan berikutnya lemparanku sudah jauh lebih akurat bahkan berani menyombong bahwa aku bisa mengenainya sambil tutup mata.
"Seandainya kau bawa busur dan anak panah," kataku. "Kunai atau Shuriken juga boleh."
"Tidak usah rewel," katanya, sambil menjejalkan peti-peti ke dalam karung. "Terus kau sendiri tidak bawa apapun, memangnya kau pemuda pelajar yang sedang turun gunung?"
"Oh tentu saja kau kelihatan seperti itu, atau jangan jangan kau peri penunggu pohon, dewa penjaga hutan, atau iblis tersesat?" kubiarkan dia mengeluarkan semua pemikirannya. "Kau kemudaan untuk seorang pertapa. Pertapa itu orang tua biasanya."
Setelah memasukan peti yang terakhir, dia memilin ujung karung yang kini sudah jadi gundukan yang teramat besar. "Bagus, cukup deh buat hari ini," tuturnya sambil nyengir. "Kau memang berbakat."
"Terimakasih, tapi... "
"Aku jadi ingin tahu siapa yang mengajarimu." dia menyela.
Aku angkat bahu. "Aku terlahir dengan membawa bakat."
"Siapa yang percaya padamu?" katanya.
"Aku percaya pada diriku sendiri," aku tersenyum jahil. "Untuk pertamakalinya aku harus berterimakasih pada ayahku."
"Kenapa?"
"Jika ibu mewariskan pengetahuannya maka ayah mewariskan keahliannya." aku mengangkat alis.
"Memangnya siapa ayahmu?"
"Ayahku adalah dialah yang menikahi ibuku."
Anak perempuan itu nampak tidak puas dengan jawabanku.
"Ah, terserah kau lah."
"Aku sungguh-sungguh," kataku.
"Memangnya aku tidak?" pungkasnya dengan jengkel.
"Di dalam sana bisa saja berbahaya." Aku berkata begitu kami melangkah keluar dari mulut hutan. "Kenapa kamu bermain-main disini sendirian, di mana rumahmu?"
"Rumah? Maksudmu gilda?" Anak perempuan itu angkat bahu dengan tak acuh.
"Ada, tidak jauh dari sini. Berkunjunglah ke sana. Aku mengundangmu, oke? Dah sampai nanti dan terimakasih gege."
"Gege?"
"Yak, Gege."
Dia berlalu tanpa menungguku berkata-kata. Bersenandung dan teramat riang, mungkin karena buntalan besar di punggungnya itu. Tangkapanku, hartaku.
Aku memandangi dua peti oranye yang mengepak-ngepak di pangkuanku. Dua peti yang dia jejalkan atas nama tanda jasaku hari itu.
masih nyimak