Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11 Kesempatan
Pagi-pagi sekali, Abel dan Oma sudah berangkat ke luar kota menggunakan mobil. Di kursi belakang, beberapa gaun tradisional dengan detail bordir indah tertata rapi dalam kotak-kotak pelindung. Gaun-gaun itu adalah hasil karya butik Oma, yang akan digunakan untuk acara penting seorang pejabat daerah.
Sepanjang perjalanan, Oma tak berhenti berbicara. Mulai dari cerita tentang butik, anak-anaknya, hingga cucu-cucunya, termasuk Auriga dan kembarannya. Suaranya penuh semangat, membuat perjalanan terasa hidup. Abel hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum, berusaha menanggapi. Di tangannya, ponsel baru pemberian Auriga masih terasa asing.
Ini ponsel keluaran terbaru dengan desain modern, jenis yang sedang hype di kalangan anak muda. Dalam hati, Abel tak bisa menahan diri untuk tidak memuji, Ternyata Auriga tidak pelit. Tapi sikap dinginnya ya masih selalu membuat Abel takut.
Di tengah-tengah cerita Oma, tiba-tiba beliau bertanya, “Ana, kamu asalnya dari desa mana?”
Pertanyaan itu membuat Abel tegang seketika. Desa? Dari desa mana? Auriga tidak pernah mempersiapkan untuk pertanyaan ini, dia harus jawab apa takut jawabannya berbeda sama Auriga nanti, Oma bisa curiga.
“Hmm... Ana dari Medan, Oma. Dari sebuah desa kecil di sana. ” jawab Abel akhirnya. Ia mencoba tenang. Dalam ingatannya, ia memang pernah tinggal di Medan bersama ayahnya waktu SMP. Jadi, kalau Oma bertanya lebih jauh, ia masih bisa menjawab sedikit.
“Oh, dari Medan ya? Banyak teman Oma yang dari sana juga,” kata Oma, tersenyum ramah.
Abel hanya mengangguk kecil. Ia merasa lega karena jawabannya tidak memicu banyak pertanyaan lagi.
Tak lama, suara ponsel Oma berdering dari dalam tas yang Abel bawa. Dengan cepat, ia merogoh tas itu, mengambil ponsel, dan melihat nama yang tertera di layar. Mas Auriga.
“Oma, Mas Auriga telepon,” kata Abel, sedikit ragu.
“Angkat saja, Ana. Tanya kenapa,” ujar Oma tanpa berhenti melihat ke depan.
Dengan gugup, Abel menekan tombol jawab. “H-halo, Mas...”
“Mana Oma?” tanya suara berat di ujung sana, terdengar tegas.
“K-kata Oma kenapa, Mas?” Abel berusaha terdengar biasa saja.
“Mana Oma!” ulang Auriga, lebih tegas. Suaranya membuat Abel langsung menyerahkan ponsel itu kepada Oma.
Abel pun memaki dalam hati, kejam banget, lihat aja nanti suatu saat suara aku bakalan jadi sesuatu yang kamu rindukan... Uhuk! Bathin Abel percaya diri sekali namun sambil menahan senyumannya geli sendiri
“Oma, Mas Riga mau bicara,” katanya cepat.
Oma mengambil ponsel itu dengan santai. “Ya, Ga. Kenapa?”
“Kenapa Oma naik mobil? Perjalanannya jauh. Itu bisa 10 jam perjalanan darat!” suara Auriga terdengar seperti omelan yang sudah dipendam sejak lama.
“Kamu mulai deh bawel,” jawab Oma santai. “Oma nggak apa-apa. Lagian, ini bawaannya banyak. Kalau naik pesawat ribet.”
“Tapi kan Oma harus duduk terus di perjalanan cukup lama, apalagi sekarang lagi musim hujan!” lanjut Auriga dengan nada khawatir.
Abel diam di tempat, mendengarkan percakapan itu sambil menatap jalanan yang basah oleh gerimis. Dalam hati, Abel tahu, mungkin sebenarnya lelaki itu juga khawatir dirinya akan membuat kesalahan jika terlalu lama di perjalanan seperti ini.
Benar saja itu yang Auriga rasakan sebab semalam Auriga melihat Ana menangis takut Ana bertingkah aneh itu alasannya dia lebih banyak mengawasi sekarang.
Abel menghela napas pelan, berusaha fokus mendengarkan suara Oma yang tetap tenang.“Udah, nggak usah khawatir. Oma baik-baik saja,” jawab Oma, menutup pembicaraan dengan Riga, sambil berusaha menenangkannya walaupun sebenarnya Auriga masih tidak tenang dan merasa sedikit menyesal membuat orang asing berada di rumah sang oma.
Acara di tempat Oma dan Abel berada berlangsung malam hari, dan Oma tiba di kota tujuan tepat pukul 03.00 sore. Begitu sampai, suasana langsung menjadi sibuk. Oma dan Abel tidak hanya berdua ada sopir yang mengantar mereka, serta seorang karyawan dari butik yang ikut membantu membawa barang-barang. Namun, tidak lama setelah sampai, karyawan butik itu mendapat kabar bahwa anaknya sakit mendadak dan harus segera kembali ke Jakarta.
Mau tidak mau, Abel yang harus mengambil alih tugas sebagai asisten butik oma. Hal ini membuatnya panik, karena sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal seperti ini. Selama ini, Abel hanya tahu bagaimana menjadi si manja, gadis yang selalu dilayani. Dan sekarang, dia mendapati dirinya harus membantu klien Oma mengenakan gaun, mencocokkan aksesoris, bahkan menyesuaikan tatanan rambut.
“Aduh, ini bukan aku banget!” batin Abel, hampir menyerah di tengah kesibukan. Namun, Oma dengan sabar mengajarinya satu per satu.
“Dengar, Ana. Untuk pakaian seperti ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan,” ujar Oma sambil memasang sebuah kebaya bordir ke tubuh manekin yang terpasang gaun. “Pertama, pastikan gaun terlihat pas di badan nanti. Kalau terlalu longgar, kita bisa menggunakan tali serut atau peniti kecil di bagian dalam untuk membuatnya lebih ramping. Tapi jangan sampai kelihatan, ya.”
Abel mengangguk sambil mencoba mengingat setiap langkah yang diajarkan Oma.
“Kedua, padu padankan gaun dengan riasan dan tatanan rambut,” lanjut Oma sambil menunjukkan beberapa foto referensi. “Kalau bajunya ramai dengan detail seperti bordir dan payet, riasannya cukup natural aja, dan rambut jangan terlalu heboh. Tapi kalau gaunnya simpel, kamu bisa bermain lebih banyak dengan make-up dan aksesoris rambut.”
Oma kemudian menunjukkan cara memasang aksesori seperti bros atau selendang agar tidak mudah lepas. “Selendang ini, misalnya, harus dipasang dengan benar. Gunakan jarum pentul kecil di bagian bahu, dan tambahkan bros di dada supaya lebih elegan.”
Abel mencoba mempraktikkan semua yang diajarkan Oma. Tangan gemetar, tapi dia berhasil memasang bros di tempat yang tepat.
“Bagus! Kamu belajar cepat,” puji Oma.
Tidak berhenti di situ, Oma juga mengajarkan cara memperhatikan detail kecil, seperti memastikan lipatan kain tidak kusut, dan memilih alas kaki yang sesuai dengan tema acara. “Ingat, penampilan itu harus harmonis dari ujung kepala sampai ujung kaki.”
Meski awalnya Abel merasa kewalahan, perlahan-lahan dia mulai terbiasa dengan semuanya. Namun, tetap saja, tubuhnya terasa lelah luar biasa. Setelah beberapa jam membantu Oma mempersiapkan klien, Abel duduk di pojok ruangan sambil memijat kakinya yang pegal.
“Ana? Capek?” tanya Oma, tersenyum.
“Tidak terlalu, Oma. Tapi pastinya aku belajar banyak hari ini,” jawab Abel jujur. Dia tak pernah membayangkan akan melakukan hal-hal seperti ini, tapi dalam hati kecilnya, ada rasa bangga karena berhasil membantu.
Papa putrimu? Putrimu bisa di handal kan ternyata....
Oma tersenyum penuh arti. “Kadang kita perlu keluar dari zona nyaman untuk belajar sesuatu yang baru, Ana. Kamu hebat hari ini.”
Kata-kata itu membuat Abel tersenyum kecil. Mungkin, ini adalah pengalaman pertama Abel belajar tentang kerja keras dan meski sangat sulit, dia yakin dirinya bisa melakukannya. Apa yang tidak bisa? Sampai di sini berada di antara keluarga Auriga saja dia bisa.
Abel tertawa kecil pada dirinya sendiri sebenarnya, “Arabella Anais Mahendra Misi : Menaklukkan Hati Auriga bukan mencari pengalaman kerja.”
Saking capeknya, Abel bahkan tidak punya keinginan untuk makan atau minum. Dia langsung masuk ke mobil ketika Oma memberi tahu bahwa mereka harus segera menuju kota lain untuk mengantarkan barang. Baru setelah duduk, Abel teringat botol vitamin di dalam tasnya. Dengan malas, dia mengambil satu butir dan menenggaknya.
***
Keesokan harinya
Dalam keheningan, Abel merasakan tubuhnya digerak-gerakkan. Ada suara samar yang memanggil namanya. “Ana? Hey, Ana?”
Dia mendengar suara itu seperti dari kejauhan, semakin jelas, dan perlahan dia mulai sadar. “Ana, bangun!”
Ternyata itu suara Oma, terdengar panik. Di sampingnya, ada sosok Auriga yang memandangnya serius. “Oma nggak tahu, semuanya tiba-tiba aja! Setelah selesai acara, kamu masuk mobil dan tidur. Oma pikir kamu Cuma capek. Tapi ternyata... kamu nggak bangun-bangun sampai sekarang!” kata Oma, cemas.
“Ke rumah sakit aja!” suara Auriga terdengar tegas. Abel merasa tubuhnya diangkat, lalu diletakkan perlahan. Dia mencoba membuka matanya.
“Oma? Mas Riga?” katanya pelan.
“Abel!” seru Oma, jelas lega. Auriga perlahan menurunkan tubuh Abel.
“Kamu kenapa, sih? Kamu tidur dari pukul 10 malam, dan sekarang udah jam 11 siang! Oma hampir bawa kamu ke rumah sakit!” kata Oma dengan nada khawatir.
Abel mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba memahami situasi. “Oma, kita di mana?” tanyanya, bingung.
“Kita masih di sini, belum berangkat,” jawab Oma.
Auriga yang berdiri di samping mereka menyela. “Saya ada kerjaan di kota ini, jadi sekalian mampir untuk lihat Oma. Pas sampai, Oma panik karena kamu nggak bangun-bangun.”
Abel mengangguk pelan. Badannya terasa lemas, dan kepalanya sedikit pusing. Dia lalu mengingat kejadian semalam. Botol vitamin... Tunggu, itu bukan vitamin! Dia langsung teringat bahwa Ode mengambil vitamin miliknya beberapa hari lalu. Yang tersisa di tasnya ternyata adalah obat tidur!
“Oh, sial...” batinnya, merasa bodoh.
“Yakin kamu baik-baik aja?” tanya Auriga lagi, memandang Abel dengan tatapan menyelidik.
Abel mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Iya, mas. Aku nggak apa-apa,” jawabnya lemah.
Namun, Oma masih khawatir. “Ana, kalau sakit bilang. Kamu nggak usah maksa. Oma udah beli tiket pesawat, jadi Oma ke airport aja. Barang-barang nanti diurus sama anak-anak butik yang lain. Kamu pulang sama Pak Parmin aja, ya?”
Abel langsung menolak. “Tidak, Oma! Aku nggak papa.” Abel memijat kepalanya yang pusing karena kebanyakan tidur. Tidak, tidak dia tidak mau di tinggal sama supir.
Kalau sama Mas Riga sih nggak papa.
“Kamu sakit?” tanya Oma lagi, semakin panik. “Kepalamu sakit?”
Auriga memperhatikan wajah pucat Abel dengan serius. “Oma, biar Ana istirahat dulu. Kalau perlu, saya bawa dia ke dokter. Mukanya pucat sekali,” katanya, nadanya sedikit memaksa. “Pak Parmin anterin Oma ke airport aja, saya urus Ana.”
Abel memekik dalam hati. Astaga, ini drama apa? Aku Cuma salah minum obat tidur, kok jadi seribet ini!
Namun, dia tidak bisa melawan. Oma akhirnya setuju berangkat lebih dulu ke airport, sementara Abel tetap bersama Auriga.
Tatapan Auriga yang dingin membuat Abel merasa makin canggung. Setelah Oma pergi, Auriga menoleh padanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Cieee perhatian! Enggak, enggak boleh di sia-siain. Ayo manfaatkan keajaiban dunia ini Abel.
“Enggak tau, kepala aku pusing. Dari kemarin sakit.”
“Malam kemarin nangis di balkon? Karena itu?”
Abel menahan napasnya sesaat, dia tau? Dia sadar aku nangis? Omg...
“Jawab!”
Abel pun dengan perlahan-lahan menganggukkan kepalanya, “Pusing.”
“Ayo ke rumah sakit, Cecil akan menemani kamu.”
Cecil? Enggak deh kalau sama dia. Sama kamu mau mas, hahahahahah...
“Enggak Mas, aku istirahat aja.”
“Ana! Saya— baiklah! Kamu bisa ke hotel di mana saya dan Cecil stay, istirahatlah di sana, setelah pekerjaan saya selesai kita ke rumah sakit.”
Apa?
Apa,mas?
Ke penghulu. Ayo!
Enggak, enggak pa. Abel bercanda.
Abel nggak akan langkahin papa.
km ketauan....
akhirnya,, cita² mu tercapai ya bell,, bikin Auriga penasaran..
gk sabar nunggu part² selanjutnya..