SUN MATEK AJIKU SI JARAN GOYANG, TAK GOYANG ING TENGAH LATAR. UPET-UPETKU LAWE BENANG, PET SABETAKE GUNUNG GUGUR, PET SABETAKE LEMAH BANGKA, PET SABETAKE OMBAK GEDE SIREP, PET SABETAKE ATINE SI Wati BIN Sarno.... terdengar suara mantra dengan sangat sayup didalam sebuah rumah gubuk dikeheningan sebuah malam.
Adjie, seorang pemuda berusia 37 tahun yang terus melajang karena tidak menemukan satu wanita pun yang mau ia ajak menikah karena kemiskinannya merasa paling sial hidup di muka bumi.
Bahkan kerap kali ia mendapat bullyan dari teman sebaya bahkan para paruh baya karena ke jombloannya.
Dibalik itu semua, dalam diam ia menyimpan dendam pada setiap orang yang sudah merendahkannya dan akan membalaskannya pada suatu saat nanti.
Hingga suatu saat nasibnya berubah karena bertemu dengan seseorang yang memurunkan ajian Jaran Goyang dan membuat wanita mana saja yang ia kehendaki bertekuk lutut dan mengejarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah Adjie yang berpetualang dengan banyak wanita...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empat
Adjie melihat gunungan potongan batang singkong siap tanam yang tertumpuk didekat kebun. Ia bergegas menanamnya dan membuang fikirannya tentang kejadian barusan.
Tak berselang lama. Terlihat Wati keluar dari arah dapur dengan wajah sumringah, sebab baru saja selesai bercocok tanam dengan sang juragan pantas saja ia diceraikan, sebab prilakunya juga sangat sinkron dengan lidahnya yang tajam dalam berucap.
Adjie terlihat memalingkan wajahnya saat melihat sang janda yang tanpa sengaja menatapnya.
Seketika Wati memandang sinis. "Cuuuiih!" ia meludah kembali dengan pandangan penuh kebencian. "Miskin saja belagu!" ucapnya dengan nada yang sengaja ia keraskan karena menyindir sang pria, lalu bergegas masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu hingga terdengar berdentang.
Adjie menarik nafasnya dengan berat. Jujur saja ia merasakan sakit yang semakin bertambah. Ia merasa jika Wati sudah sangat keterlaluan terhadapnya.
Saat bersamaan, juragan Wahyu datang dari arah depan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Pria yang selama ini sangat ia hormati, ternyata masuk dam kategori kucing garong.
"Eh, Adjie. Kamu sejak kapan sudah dikebun?" tanyanya penuh selidik. Sepertinya ia tak ingin jika kelakuannya barusan diketahui olehnya.
"Baru saja, juragan," jawabnya berbohong. "Sore nanti saya mau ambil pinjaman, Juragan," Adjie mencoba mengalihkan inti pembicaraan.
Wahyu yang tadinya terlihat curiga perlahan teralihkan. "Baiklah, berapa kamu mau pinjam?" tanyanya dengan sangat mudah.
"Tiga ratus ribu saja, juragan," Adjie menjawab cepat.
Juragan Wahyu tanpa protes mengambil dompet disaku celananya dan memberikan tiga lembar uang ratusan ribu kepada Adjie. "Ambillah, jangan lupa catat berapa pinjamanmu," pesannya.
Adjie bergegas menerimanya. "Terima kasih, Juragan,"
Pria berkumis itu hanya menganggukkan kepalanya dan berpamitan pergi.
Sepeninggalan sang juragan, Adjie mempercepat pekerjaannya dan ia seolah tak sabar menunggu senja tiba dan ingin bertemu dengan Muji yang sudah menjanjikan sesuatu padanya.
*****
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, dan Adjie sudah berada dirumahnya dan tampak bersiap untuk menemui Muji dirumahnya.
Ia berjalan kaki sembari bersiul riang menuju rumah Muji yang berada tak begitu jauh dari kediamannya, sekitar lima ratus meter saja.
Langkah kakinya begitu ringan. Apalagi ia baru saja mendapatkan pinjaman uang, dan ia dapat membeli semangkuk bakso kesukaannya.
Ketika ia sedang asyik berjalan, dari arah yang berlawanan, tampak Rama sedang mengendarai sepeda motornya.
Sebenarnya ia sangat begitu malas jika berhadapan dengan bocah tersebut, sebab hanya akan ada ejekan yang ia dapatkan.
Bocah itu baru saja lulus sekolah menengah atas, akan tetapi sudah santer kabar akan segera menikah muda.
Ketika mereka berpapasan, Muji sengaja menggeber sepeda motornya dihadapan Adjie yang seolah ingin memperlihatkan calon istrinya yang akan ia nikahi sekitar sebulan lagi.
Semua itu tak lepas peran ayahnya yang rela menjual sebidang sawah demi untuk memberikan hantaran yang cukup besar pada calon istrinya, karena suatu gengsi yang sedang mereka sandang sebab ayahnya seorang kades.
"Nih, lihat Chyntia calon istriku.... Cantikkan? Tua bangka seperti kamu mana laku lagi, yang ada jadi lapuk digalangan ibaratkan sebuah kapal kayu (sebuah istilah dalam bahasa Melayu ," ejek Rama dengan bangganya.
Seketika Adjie refleks menoleh memandang ke arah Chyntia yang dipamerkan oleh Rama barusan.
Adjie berdecak kagum. Benar saja apa yang dikatakan oleh Rama barusan, jika Chyntia adalah gadis yang cantik, ditambah dengan dua tabung gas berukuran jumbo. Yang tergantung didadanya, membuat ia hampir sempurna dengan tubuh moleknya sebagai bonus.
Adjie berusaha mengingat nama sang gadis dan merekamnya dalam memory yang sengaja ia kosongkan.
Adjie tersenyum misterius, lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah Muji tanpa mengjiraukan perasaan sang bocah yang kecewa karena tak mendapatkan reaksi apapun dari Adjie.
Melihat dirinya ditinggal begitu saja, ia akhirnya memilih untuk pergi meskipun masih kesal terhadap pemuda jomblo tersebut.
Adjie tiba didepan rumah Muji yang masih tertutup rapat. "Dia memintaku datang sebelum maghrib, Tapi rumah masih dikunci!" pria itu tampak mengeluh sekaligus menggerutu.
Ketika ia akan memilih kembali pulang, tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka, dan tampak Muji yang sedang berdiri diambang pintu dengan wajah sumringah yang mana rambutnya terlihat basah, sepertinya baru saja keramas.
"Eh, Adjie. Semangat banget tampaknya," sindir pria tersebut, dan hal itu saja membuat Adjie tersipu malu.
"Kang Muji seperti tidak tahu saja," balas Adjie, lalu duduk dibangku teras.
"Kamu sudah siap ingin menjalani ritualnya?" tanya Muji meyakinkan.
Adjie menganggukkan kepalanya. "Siap,.Kang! Aku bosan men- jomblo," jawabnya jujur.
"Kalau begitu kamu harus menjalankan puasa mutih selama tiga hari. Kamu sahur dan berbuka dengan nasi putih dan juga air putih saja, tanpa lainnya, dan adapun rapalan mantra ajiannya sudah saya catat dikertas ini, dan kamu harus menghafalnya." Muji menyerahkan secarik kertas berwarna putih dengan tulisan tangan yang terlihat sangat acak-acakkan seperti cakar ayam, dan untungnya masih dapat terbaca meskipun harus dengan ketelitian tingkat dewa.
Adjie menerimanya. Lalu membacanya untuk memastikan apakah yang ia baca benar atau salah, sebab akan lain maknanya jika yang ia baca itu salah.
Setelah membaca mantra dan lolos koreksi, maka Adjie menyimpan catatan tersebut dalam saku pakaiannya dan memberikan uang lima puluh ribu rupiah sebagai penajamnya.
"Apakah ada pantangannya, Kang?" tanya Adjie sebelum meninggalkan kediaman guru sesatnya.
Muji menganggukkan kepalanya. "Ada, yaitu jangan sampai kamu melewati tali jemuran, karena dapat menyebabkan kelunturan dari ajian yang kamu miliki," pria itu mengingatkan.
Adjie mencoba mengingat pantangan dari ajian tersebut, dan tidak ingin celaka karena melanggar hal yang ditakutkan tersebut.
"Baiklah, saya akan mengingatnya! Terima kasih atas semua bantuannya, Kang." Adjie bangkit dari duduknya, lalu berpamitan pulang saat suara sayup-sayup adzan maghrib berkumandang dengan begitu sayu dan mendayu, akan tetapi tak dapat membuka hatinya meninggalkan hal yang fasik.
"Senang dapat membantumu, semoga kau berhasil," sahut Muji dengan merasa bangganya karena sudah menurunkan ilmu yang dimilikinya dan merasa seolah menjadi guru dalam hal ini tentunya.
Adjie tampak begitu sangat senang. Ia pulang dari kediaman Muji sang guru yang patut ia berikan apresiasi karena merupakan salah satu orang yang mendukung hidupnya terus berjalan melewati jalanan yang sepi dan tampak mulai gelap karena pergantian siang dan malam telah dimulai, sama sepertinya dirinya, balas dendam dimulai.
Ketika ia hampir tiba dirumahnya. Ia melihat Wati yang mengendarai motor dari arah yang berbeda dan belum sempat mereka berpapasan, sang janda sudah terlebih dahulu membuang pandangannya dari Adjie, seolah ia adalah najis yang sangat menjijikkan dalam pandangan mata wanita itu.
Adjie kembali mendenguskan nafasnya denh memandang Wati yang menambah laju sepeda motor bebeknya agar tak melihat wajah Adjie
pindah judul nya dg bab cerita yg nanggung dan gantung